my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Thursday, January 18, 2007

The Citizen Hospital

Dalam tataran ideal, maka rumah sakit atau pelayanan kesehatan itu adalah barang publik. Artinya siapapun ketika membutuhkan ia dapat memperolehnya tanpa dipilah-pilah apakah dia mampu membayar pelayanan itu atau tidak. Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Untuk berjalannya sebuah rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain membutuhkan biaya. Biaya itu bisa bersumber dari biaya penggantian obat, jasa medis dokter, perawat dan profesional medis lainnya atau mengganti barang habis pakai seperti reagen laboratorium dan demikian pula mengganti biaya investasi alat diagnostik beserta biaya penyusutan barang. Dengan memperhatikan banyak faktor itulah, maka rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang dalam tataran ideal harusnya menjadi barang publik menjadi barang privat, dalam tataran praktisnya. Artinya tidak semua orang yang membutuhkan bisa mengonsumsinya. Ada hambatan yang harus diatasi yaitu mengganti biaya plus margin pengganti opportunity cost investasi yang dikeluarkan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan. [1]

Dalam perkembangan selanjutnya, seretnya arus kas dari pemerintah pasca krisis moneter yang dampaknya masih terasa hingga saat ini, tidak serta merta boleh membiarkan rumah-rumah sakit milik pemerintah rugi dalam laporan keuangannya. Tidak boleh terlalu banyak pasien yang ngemplang dan mempunyai dampak pada terkurasnya “darah” yang “menghidupi” kegiatan operasional organisasi rumah sakit. Karena itu rumah sakit saat ini dituntut untuk lebih efisien, sehingga tidak menimbulkan banyak kerugian. Lebih dari itu, banyak rumah-rumah sakit daerah saat ini, mendapatkan tuntutan tidak boleh sekedar tidak rugi, tetapi harus untung besar. Karena diandalkan menjadi “sapi perah” pendapatan asli daerah. Bila tidak akan mempengaruhi kelancaran operasional pemerintah daerah.

Pada saat yang sama, di banyak daerah terutama di pulau Jawa, dengan diimbangi “melimpahnya” tenaga-tenaga profesional dokter dan tenaga profesional kesehatan lainnya, buah dari bertambahnya institusi penyelenggara pendidikan dokter dan profesional kesehatan, mulai bertumbuhan rumah-rumah sakit swasta dari kecil hingga yang merangkak besar. Rumah-rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan swasta, tentu tidak bisa diharapkan menjadi barang publik, dia adalah barang privat murni. Walaupun banyak diantara mereka berstatus hukum yayasan, tetap saja keuntungan dari biaya operasional menjadi prioritas dalam orientasi laporan keuangan mereka. Mengingat banyaknya konflik-konflik kepentingan berkenaan dengan keuntungan tersebut, maka yayasan-yayasan pemilik rumah sakit saat ini didorong untuk merubah badan hukumnya menjadi perseroan terbatas.

Motivasi utama pembentukan perseroan terbatas pada rumah sakit baik pemerintah maupun swasta, bermula untuk meningkatkan efisiensi, juga mempersempit ruang konflik kepentingan terutama yayasan swasta, tetapi dalam perjalanan selanjutnya bergeser menjadi profit oriented yang tidak dapat terhindarkan. Ini sangat wajar, karena dengan berubah status hukum menjadi perseroan terbatas berarti ada satu kepentingan stakeholder yang harus fokus diperhatikan yaitu pemegang saham. Kepentingan mereka adalah keuntungan atau profit dari nilai uang yang mereka investasikan. Bila pihak manajemen tidak serius memperhatikan hal ini, maka nasib kariernya akan berada diujung tanduk alias dipecat.

Bagaimana membuat rumah sakit menjadi barang publik kembali?

Karena peran rumah sakit yang seharusnya menjadi barang publik terhalangi oleh kendala keuangan entah apapun motivasi dan alasannya, maka harus ada usaha rumah sakit untuk membuat dirinya bisa hadir secara utuh sebagai warga negara yang baik. Secara sederhananya adalah bagaimana membuat rumah sakit bisa tegak tujuan finansialnya, tetapi kehadirannya bisa dirasakan kemanfaatannya secara maksimal dalam komunitas tempat rumah sakit itu hidup dan eksis. Rumah sakit sebagai bagian dari warga negara atau “the citizen hospital”, tidak saja diterima secara sosial, bagus rapor finansialnya, ramah lingkungan (limbah rumah sakit terkelola dengan baik), tetapi lebih dari itu memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan komunitasnya secara sempit hingga komunitas secara luas yaitu negara.

The citizen hospital tidak saja mengurangi produksi the disposable patient (pasien sekali pakai, setelah tidak mampu memberikan kontribusi keuangan pada rumah sakit, secara halus dipersilahkan keluar dengan berbagai alasan yang rasional), tetapi membuat bahkan the disposable citizen/patient menjadi powerable patient atau powerable citizen.

Caranya? Secara prinsip adalah mengurangi biaya produksi yang disumbangkan dari sektor kesehatan, sehingga warga negara mempunyai kemampuan lebih dalam bersaing dengan komunitas lain yang lebih luas terutama diera globalisasi saat ini.
Sebagai inspirasi, dapat kita lihat bagaimana praktik operasional Aravind Eye Centre demikian juga dengan Jaipur Foot dari India. [2]

Aravind Eye Centre

Adalah lembaga nonprofit yang mempunyai 1500 jaringan poliklinik mata, terpisah antara pasien membayar dengan gratis, dimana komposisi yang membayar 35 % sedangkan yang gratis 65%. Untuk yang membayar pun biaya 50 sampai 75 kali lebih murah dari biaya yang dikeluarkan di negara maju. Kampanye marketing diarahkan pada komunitas miskin justru memperbesar porsi pasien gratis. Visi utama organisasi yang menjadi penggerak organisasi adalah membebaskan masyarakat dari kebutaan yang dapat dihindari. Namun demikian, keuntungan yang diraup membuat cemburu rumah-rumah sakit profit di Amerika.
Pendirian organisasi ini didasarkan pemikiran pendirinya dr. V (sebutan untuk dr Venkataswamy) bahwa proses pembedahan mata layaknya operasi rumah makan cepat saji Mc Donald, input-input dapat dikelola dengan sempurna menghasilkan operasi yang efisien. Seorang dokter mata di sana, mampu melakukan 50 operasi pembedahan mata sehari dalam jam kerja. Masalah kualitas pembedahan terutama dilihat dari efek samping, komplikasi yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan rumah sakit ternama di Inggris.

Divisi farmasi mampu menghasilkan obat-obatan yang dipasar mahal dan langka menjadi barang yang murah tetapi berkualitas. Demikian juga unit IOL Aravind menghasilkan salah satu tingkat perolehan terbaik di dunia. IOL, suku cadang operasi katarak modern, dibuat di Manduarai, markas besar Aravind, dan diekspor ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.

Luar biasa!

Jaipur Foot

Masih dari negeri India, Jaipur Foot, organisasi nirlaba yang bekerja secara profesional. Walaupun sebagian besar pelanggannya adalah orang miskin dan gratis tetapi sama sekali tidak mengurangi profesionalitasnya. Mereka mengembangkan kaki palsu dengan kualitas yang dibutuhkan oleh orang-orang miskin pedesaan yang bisa digunakan untuk ke sawah, bersila dengan harga 1/300 jauh lebih murah ketimbang kaki palsu buatan Amerika. Usaha mereka tidak saja memproduksi kaki palsu, tetapi juga menyediakan layanan dua hari menginap secara gratis untuk orang-orang miskin, mulai dari mengukur dan memilih bahan yang sesuai dengan jenis, struktur dan tekstur kaki hingga kaki palsu tersebut siap dipakai untuk dibawa pulang dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka terus-menerus mengembangkan proposisi penawaran yang jauh lebih baik. Mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, seperti yang menonjol berat kaki palsu yang 850 gram, terlalu berat untuk kaki palsu, terlebih bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing dekatnya. Ke depan mereka juga terus menerus mencari jalan peningkatan efisiensi biaya dan menurunkan waktu produksi. Salah satu usaha yang profesional adalah bekerja sama dengan badan antariksa India, dengan harapan dapat merancang kaki palsu yang lebih ringan [350 gram], mendapatkan waktu pembuatan yang lebih pendek, dan biaya pembuatan yang lebih murah serta umur kaki palsu yang lebih lama. Sehingga pengorbanan yang diberikan pelanggan [yang kebanyakan orang miskin] semakin sedikit, tetapi nilai yang ditawarkan kepadanya semakin meningkat.

Penutup

Apapun bentuk badan hukum rumah-rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan yang ada, tuntutan menjadi the citizen hospital, bukan barang mewah lagi, tetapi sudah menjadi keharusan. Dua kasus dari negeri India di atas mudah-mudahan dapat menjadi inspirasi bagi praktisi perumahsakitan dan manajemen institusi layanan kesehatan di Indonesia. Ternyata mengurusi the disposable patient/citizen bukan pekerjaan yang mendatangkan kerugian tetapi justru mendatangkan keuntungan kalau kita pandai mengelolanya.
Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, peran the citizen hospital dapat dimaksimalkan dengan memanfaatkan perkembangan lembaga amil zakat, semacam Dompet Dhuafa, Rumah Zakat dan semacamnya. Mereka dapat dijadikan sebagai mitra pendanaan dalam program jaring pengaman kesehatan masyarakat miskin. Demikian juga dapat digali dari dana-dana corporate social responsibility ataupun public relations perusahaan-perusahaan besar, yang masih belum tergali potensinya secara maksimal. Sebagai contoh Yayasan Sampoerna mendirikan fasilitas pengobatan gratis di Nangroe Aceh Darussalam.

[1] Pengertian barang publik (public good) dan barang privat (private good) diambil dari Laksono Trisnantoro, 2005, Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit, Penerbit Andi Yogyakarta, 2005

[2] Kisah ini disarikan dari : Roy Goni, 2005; Market Driving; Majalah Prospektif, 2 – 8 Mei dan C.K. Prahalad, 2004; The Fortune at The Bottom of the Pyramid : Eradicating Poverty through Profits; edisi Indonesia; The Bottom of the Pyramid; Mengentaskan Kemiskinan sekaligus Memperoleh Laba, penerjemah; Ahmad Fauzi, SS, 2004, PT INDEKS Kelompok GRAMEDIA.

de-Epidemi Budaya Merokok

Merokok telah diakui secara luas akan bahayanya, tetapi pada saat yang sama semakin banyak saja penggunanya, dan terus semakin meningkat. Tidak terkecuali dokter yang sadar dan tahu betul resikonya juga merupakan pengguna beratnya. Saya yakin, hanya dokter ahli paru saja yang benar-benar tidak mengadopsi merokok sebagai bagian dari gaya hidupnya. Mengapa rokok bisa mencapai keadaan seperti sekarang ini. Kalau kita perhatikan sebenarnya merokok bukan merupakan bagian dari budaya asli bangsa Indonesia. Tanaman tembakau sebagai bahan baku rokok bukanlah merupakan tanaman asli orang Indonesia. Dia dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah rokok khas Indonesia, tentu saja merupakan buah dari kreativitas yang tinggi, menambahkan bahan-bahan cengkeh, lada, kayu manis dan semacamnya dalam komposisi tertentu menjadi saus penambah cita rasa dalam menikmati merokok. Saus inilah yang membesarkan perusahaan-perusahaan raksasa rokok seperti PT HM Sampoerna penghasil rokok Dji Sam Su, PT Gudang Garam maupun PT Djarum.

Kembali kepada pertanyaan dasar, mengapa semula orang Indonesia yang tidak merokok bahkan asing dengan tanaman tembakau, menjadi penggila rokok. Situs DepKes menyebutkan orang Indonesia membakar uang Rp. 500 juta hanya untuk merokok.[1] Mengapa merokok menjadi sebuah wabah atau epidemi yang permanen. Mengapa merokok menghasilkan “ras baru” dengan berbagai varian “suku” merokok dari sekian banyak orang Indonesia. “Ras merokok” dengan penyusunnya “suku-suku” merokok tertentu adalah hasil dari epidemi permanen tersebut. Kalau dirinci “suku-suku” merokok itu seperti “suku” yang suka konkow-konkow, berani tampil beda, jiwa pemberontakan, mengekspresikan yang membuat dirinya berbeda dan tampak cool dan cute abis akan dipersatukan oleh merek rokok seperti Mezzo, X-mild, Star-Mild atau A-Mild. Sedangkan “suku” yang menyukai sesuatu yang klasik, original, dan menjadi tradisi lama, pencinta kemapanan dipersatukan oleh merek rokok seperti Dji Sam Su, Gudang Garam filter dan Djarum Coklat. Ada juga “suku” anak muda yang lebih “ndeso” suka kepada kebersamaan, keguyuban, mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain yang sangat membutuhkan dan ke-“rame-rame”annya dipersatukan oleh warna hijau Sampurna Hijau atau warna merah Gudang Garam Merah. Di luar “suku-suku” yang telah terbentuk itu, ada budaya yang mendukung persatuan ras merokok baik di rural maupun di perkotaan. Kalau di rural, budaya tahlilan, kondangan, yasinan, belum lengkap kalau belum disajikan rokok yang ditaruh di dalam gelas dan diedarkan kepada khalayak yang hadir. Di perkotaan, sebagai wujud solidaritas kelompok atau pertemuan anak muda atau orang tua dibuktikan dengan saling tukar-menukar rokok satu sama lain. Jadi, rokok sudah menjadi semacam bagiau budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat, yang bermula dari epidemi yang menetap.

Jadi… mengapa “suku-suku” perokok itu banyak pengikutnya? Gosip?

Di awal-awal berdirinya rokok Dji Sam Su beredar gosip.. seorang haji di daerah Rembang yang menderita sakit batuk-batuk lama dan tidak sembuh-sembuh, walaupun sduah berobat kemana-mana. Mengejutkan, menurut gosip tersebut, setelah merokok Dji Sam Su batuknya langsung sembuh. Gosip ini tersebar meluas di daerah pesisir utara baik Jawa Tengah dan Jawa Timur.[2] Siapa yang diuntungkan dengan gosip itu? Tentu saja perusahaan rokoknya PT HM Sampoerna! Omzet penjualan Dji Sam Su meroket dan terus bertahan lama hingga sekarang. Konon berkembang pula gosip penyanyi pop Nugie yang membuat suaranya bisa mencrong adalah karena merokok Dji Sam Su. Keadaan ini, menurut Alex Wipperfürth dalam bukunya Brand Hijack[3], merek Dji Sam Su telah dibajak oleh komunitas konsumennya. Pemasaran tidak dilakukan perusahaannya sendiri tetapi diambil alih oleh konsumennya.

Alasan lain? “ritual suku”? Jadi keren? Hangat?

Cara merokok Dji Sam Su ada ritualnya, membuka dengan membelah bungkus dari tengah. Menyembulkan bungkus Marlboro dari saku bajunya agar orang bisa melihat. Dengan melakukan begitu “para anggota suku” Dji Sam Su atau Marlboro merasa keren. Atau para pengguna mobil VW combi yang kebetulan penggemar berat rokok Djarum Coklat akan merasa menjadi anggota piramida atas “suku” Djarum Coklat. Jadi dengan melakukan ritual-ritual merek rokok itu seolah-olah mereka menjadi anggota khusus yang eksklusif. Ritual-ritual lain seperti menggunakan bahasa prokem yang khas, yang menjadi perekat bersatunya komunitas “suku” itu. Bahasa ini bisa atas inisiatif komunitas itu baru ditegaskan lewat iklan secara besar-besaran atau sengaja sejak awal diciptakan oleh perusahaan rokok setelah menangkap adanya kelompok komunitas tertentu dengan karakter tertentu. Bahasa yang muncul dari inisiatif kelompok, seperti istilah-istilah jadul (orang kuno atau kepanjangan dari jaman dulu) untuk merujuk orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Demikian juga bahasa-bahasa rumit dalam SMS (short message service dalam bahasa arab risalah qirot) seperti CUL8R untuk mengakhiri sesi-sesi chatting lewat SMS. CUL8R dibaca dalam bahasa Inggris menjadi see you letter. Dengan ritual-ritual yang eksklusif akan memancarkan rasa bangga yang ditunjukkan keluar ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Semakin mereka menjadi pusat perhatian kelompok di luar mereka, mereka semakin memiliki kebanggaan tersendiri. Tetapi ini mempunyai efek menarik lebih banyak orang yang semula berada di luar komunitas menjadi orang dalam komunitas.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh Alex Wipperfürth dalam buku yang sama bahwa anggota atau orang luar yang mau masuk dalam komunitas “suku” itu pada awalnya bukan tertarik karena manfaat atau kegunaan merokok, melainkan karena komunitas itu seperti tim pelayanan “suku” yang ramah dan hangat – merupakan umpan yang menarik orang untuk masuk. Setelah beberapa saat barulah orang mulai terlibat dalam proses kreasi bersama membantu membentuk makna budaya dari “suku” itu. Karena itulah saya pernah menjumpai segerombolan remaja SMP yang “ndeso” sangat bersemangat bersorak-sorak “ijo…ijo…ijo” ketika truk Sampoerna Hijau sedang melaju dihadapan mereka.

Karena Itu Kampanye Tidak Merokok = de-Epidemi Budaya Merokok

Hasil akhir kampanye tidak merokok pada prinsipnya tidak hanya sekedar “meneriaki” orang yang merokok agar tidak merokok, melainkan mengurai atau membuyarkan epidemi budaya merokok yang sudah demikian mengakar. Upayanya harus sistematis, perlu perencanaan yang matang, penggunaan sumber daya yang memadai dan pemantauan yang terstruktur. Karena itu, (tidak mengecilkan usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan) tidak serta merta dengan membubuhi bungkus rokok dengan tulisan “PERINGATAN PEMERINTAH : MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”, serta membatasi jam tayang iklan, serta tidak boleh menampilkan wujud rokok dalam iklan di televisi, membuat orang jera untuk tidak merokok lagi. Yang perlu dipahami bagi pembuat kebijakan kampanye tidak merokok, bahwa merokok adalah perilaku yang tidak berdiri sendiri. Dalam melakukan kampanye tidak hanya sekedar iklan atau pendidikan dan ceramah kesehatan saja. Tetapi lebih dari itu, ada usaha de-Epidemi budaya merokok, dalam arti mengurai perluasan epidemi budaya merokok. Bila perlu ada usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok yang membuat budaya merokok itu menjadi kuno, tidak keren dan jadul.

Perlu pula mengidentifikasi para pembuat epidemi atau seperti yang dikatakan Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point, orang-orang yang berperan sebagai trend setter.[4] Martin Raymond, mencirikan orang-orang ini sebagai simpul budaya. Umumnya kita mampu berinteraksi tanpa beban dengan angka ajaib 150 orang, sedangkan para trend setter, mampu berinteraksi dengan nyaman tanpa hambatan dengan 500 orang.[5] Selain usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan, perlu kiranya secara sistematis membangun hubungan erat dengan para tokoh trend setter atau simpul budaya ini. Untuk kasus ini dapat kita lihat betapa besar pengaruh Oprah Winfrey dalam memengaruhi puluhan juta wanita di dunia tentang apa yang harus mereka konsumsi, buku yang harus mereka baca, serta gaya hidup mana yang harus diwujudkan oleh setiap wanita modern. Usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok berarti dia menebarkan suatu gagasan baru pada orang-orang yang sudah terlanjur nyaman dengan budaya lama yang telah dijalani. Bagaimana gagasan baru ini dapat berkembang? Seth Godin, penulis buku The Idea Viruses, menyarankan agar sebuah gagasan baru dapat menjadi virus yang menyebar seperti epidemi, maka usaha yang dilakukan adalah fokus pada penciptaan lingkungan dimana gagasan itu dapat berkembang biak dan menyebar. Virusnya yang bekerja, bukan pihak praktisi penyebar idenya.[6]

Dengan sumber daya yang ada, baik dokter maupun profesional kesehatan lainnya yang sadar melakukan usaha de-epidemi budaya merokok, maka prinsipnya tidak semua “suku-suku” yang ada dihantam begitu saja. Pilihlah mana yang paling dekat dengan diri Anda. Pilihlah trend setter yang dekat dengan Anda. Lakukan usaha bersama menciptakan budaya baru tidak merokok.

Wallahua’lam. Hanya sebuah skenario hipotetis.


[1] http://www.depkes.go.id/
[2] Hermawan Kartajaya, 4G marketing, MarkPlus&Co, 2005
[3] Alex Wipperfürth, Brand Hijack Pemasaran tanpa Pemasaran, Gramedia Pustaka Utama, 2006
[4] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
[5] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006
[6] Seth Godin, The Idea Viruses, alih bahasa : Aswita R Fitriani, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2006

Doctors, Market Yourselves Atau Praktik Anda Tidak Laku?


Doctors, Market Yourselves atau Praktik Anda Tidak Laku?

Doctors, Market Yourselves atau Praktik Anda Tidak Laku? / Yusuf Alam Romadhon; editor, Atik, Fida. – Cet.1. – Solo: Tiga Serangkai, 2006. – xvi, 180 P.: Tab., Ilus.; 21 Cm.Rp. 38.100,-


Kenalin nih... buku saya... berikut cuplikan isinya

Dokter sekaligus berperan sebagai marketer, sebuah gagasan yang aneh terdengar dan langka. Hal ini dikarenakan dalam tataran norma di masyarakat, dokter sangat diterima agar fokus pada aktivitas sosial, sedangkan marketer lebih merupakan bagian dari aktivitas bisnis, yang murni menghasilkan uang. Ada benturan nilai yang berlaku jika dipaksakan dokter sekaligus sebagai marketer. Terlepas dari keterikatan norma masih tetap menyisakan masalah tersendiri. Dokter sebuah profesi yang sarat dengan masalah teknis yang kompleks dan hanya dipahami sendiri oleh dokter di satu sisi. Di sisi lain adanya kesenjangan informasi dan pengetahuan apabila seorang pemasar yang tidak memiliki latar belakang medis memahami masalah-masalah teknis medis, kompleks dan sophisticated. Di samping itu, sebagian besar dokter saat ini masih berpikiran “tinggal pasang plakat saja, pasien sudah berdatangan. Ngapain harus dipasar-pasarkan segala”.

Keadaan telah berubah, sejak negara tidak mampu lagi menanggung beban biaya kesehatan. Hal ini terbukti semua dokter yang semula bisa diangkat menjadi pegawai negeri, kemudian sesuai dengan kebijakan dokter PTT (pegawai tidak tetap) dan masalah karier dokter semuanya diserahkan kepada dokter sendiri setelah lulus. Ini akibat jumlah dokter yang dihasilkan oleh institusi penyelenggara pendidikan dokter makin lama makin bertambah banyak seiring bertambahnya jumlah institusi tersebut.

Secara kuantitas, proporsi jumlah dokter dibanding jumlah penduduk masih terhitung sangat kurang. Apalagi di daerah Indonesia timur tenaga medis dokter sangat langka. Namun, dengan terkonsentrasinya jumlah dokter di daerah perkotaan dan suburban serta sebagian besar penduduk terkonsentrasi di sana, persoalan menjadi lain. Banyak dokter tidak mendapatkan “jatah kue” secara memadai jika mengandalkan sebagian besar pendapatannya berasal dari praktik pribadi yang diselenggarakan. Ini dilihat dari satu sisi kepentingan kelangsungan hidup dokter.

Jika dilihat dari sudut kepentingan pasien, pasien masih tampak mendapatkan pelayanan kesehatan di bawah standar. Ketika Anda bertanya kepada orang yang berobat di puskesmas atau rumah sakit pemerintah “kalau pendapatan mereka naik dan mampu, apakah mereka tetap memilih puskesmas sebagai tempat utama untuk berobat?” Saya yakin sebagian besar akan menjawab, “tidak”.

Tayangan infotaintment yang memberitakan para selebritis berobat di rumah sakit terkenal di Singapura, Malaysia, dan Australia, membuat para dokter produk dalam negeri seperti tidak ada apa-apanya. Pesan yang disampaikan adalah “Kalau Anda punya uang banyak, berperilakulah seperti para selebritis itu, ke sanalah tempat paling ideal untuk check up kesehatan dan berobat!” Ironisnya, para penyampai pesan itu adalah para tren setter, biangnya mode perilaku tertentu, yaitu artis dan selebritis. Tanpa mereka suruh, masyarakat atau yang menjadi konstituen mereka akan melakukan seperti yang mereka kerjakan.

Lalu apa yang perlu dokter perbuat?

Jawabannya adalah pasarkan diri. Lalu apakah dengan kualitas yang rendah dokter mempromosikan besar-besaran kepada masyarakat pelayanannya bagus? Tidak! Masyarakat kita makin pandai, kaya informasi, tercerahkan, bahkan jauh lebih tahu ketimbang dokternya, tempat-tempat praktik kedokteran terbaik dunia. Mereka sudah terbiasa mengakses situs-situs semacam mayo clinic, rumah sakit Gleneagles, rumah sakit Rafles dan juga mengakses sumber-sumber informasi penyakit-penyakit yang mereka derita. Pernah ada pengalaman seorang dokter THT mendapatkan pasien anak-anak, ibunya meminta dokter tersebut membersihkan serumen yang ada di dalam lubang telinga anak. Setelah dokter THT itu selesai membersihkan serumen, ibu anak tadi mengeluarkan otoskop memeriksa sendiri lubang telinga anak. Lalu memberitahu dokter bahwa masih kurang bersih, terutama pada posisi tertentu dengan mengistilahkan “pada jam 5 dok, masih ada serumennya”. Ibu pasien, bukan dokter, perawat, dan orang yang sama sekali mengenyam pendidikan medis, tetapi mempunyai pengetahuan lebih mengenai otoskop dan penggunaannya. Inilah contoh betapa pasien sekarang lebih cerdas, tercerahkan dan lebih menuntut.

Kondisi lain yang membutuhkan pemikiran strategis adalah hadirnya pemain-pemain asing yang mulai merangsek masuk di lingkungan strategis praktik dokter-dokter dalam negeri. Di Solo sebuah kota yang berpenduduk asli setengah juta ditambah penduduk pekerja siang hari yang mencapai dua juta orang saat ini, menurut Walikota Solo Joko Widodo, sudah ada 3 rumah sakit internasional yang memproses izinnya untuk meramaikan industri rumah sakit di kota ini. Sebelumnya beberapa rumah sakit dari Singapura, Malaysia, dan rumah sakit internasional lainnya sudah menjalin kolaborasi dengan rumah sakit rumah sakit lokal dalam hal sistem rujukan dan kunjungan dokter-dokter spesialis asing di rumah-rumah sakit lokal. Produk-produk farmasi, alat-alat kedokteran hingga furnitur yang berkaitan dengan alat-alat kedokteran serta bahan-bahan habis pakai untuk laboratorium dapat dikatakan hampir semuanya adalah impor. Yang membuat keadaan lebih “genting” adalah masuknya asing di sektor pelayanan medis. Inilah yang merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dokter-dokter dalam negeri. Masuknya produk asing adalah sesuatu yang logis dan mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Dari data tahun 2004, diperkirakan ada 16 juta penduduk Indonesia yang kemampuan daya beli belanja kesehatannya sama dengan warga papan atas penduduk Singapura. Tidak heran jika kedua negara tetangga kita Singapura dan Malaysia terlihat sangat agresif dalam menjemput bola calon-calon pasien-pasien yang ada di tanah air. Kedua negara itu bekerja sama dengan departemen Pariwisata menggelar program medical tourism, siapa lagi yang dibidik kalau bukan 16 juta penduduk Indonesia tersebut. Kue yang sangat menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja.

Di negara yang agak jauh, misalnya, India keadaan lebih mengkhawatirkan posisi dokter-dokter atau penyedia layanan kesehatan yang ada di dalam negeri. Institusi-institusi layanan kesehatan seperti Aravind Eye Center, Jaipur Foot dan spesialisasi-spesialisasi lainnya telah berhasil menunjukkan kinerja yang efisien dengan kualitas yang tidak kalah dengan institusi-institusi layanan kesehatan di negara-negara maju seperti Inggris. Bahkan, produk-produk teknologi kesehatan canggihnya seperti lensa-lensa mata buatan unit dari Aravind Eye Center telah mampu menembus pasar Amerika dan Eropa. Demikian juga dengan Jaipur Foot yang bekerja sama dengan lembaga antariksa India hampir mendapatkan produk-produk kaki palsu yang mempunyai kualitas sama dengan produk negara maju dengan harga 1/300 lebih murah. Ada yang khusus dalam industri kesehatan India, lembaga-lembaga seperti Aravind Eye Center dan Jaipur foot berkembang menasional tidak digerakkan oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi digerakkan oleh misi yang benar-benar jauh dari materi. Mereka ini adalah lembaga nonprofit. Pasien-pasien yang berobat di Aravind Eye Center yang terdiri atas 60 persen gratis dan 40 persen bayar dapat menghasilkan inovasi-inovasi yang luar biasa. Tidak menuntut kemungkinan organisasi-organisasi dari India ini melebarkan sayapnya di Indonesia. Mereka kemungkinan akan mengisi di segmen lapis kedua atau bahkan bersaing dalam segmen pertama seperti Singapura dan Malaysia. Jika mereka mengembangkan sistem seperti yang dilakukan di India, tamatlah riwayat dokter-dokter di Indonesia untuk tegak berdiri sebagai tuan rumah di negeri sendiri walaupun dokter-dokter yang bekerja di institusi-institusi tersebut adalah dokter-dokter dalam negeri.

Lalu apa yang dapat kita perbuat?

Perlu pemikiran strategis. Buku ini mencoba memberikan alternatif pemikiran strategis tersebut. Melalui respons yang konstruktif dibangun di atas kekayaan jiwa dokter yang menyangga empat pilar, yaitu pemahaman rantai nilai, pemasaran strategis, dukungan network dan kekuatan nama baik. Ujung senjata dalam respons konstruktif adalah evaluasi kinerja. Repons konstruktif hanya dapat berjalan jika dilakukan oleh dokter-dokter yang berjiwa kaya. Dokter berjiwa kaya adalah dokter yang kaya akan alternatif cara untuk menciptakan kebahagiaan bagi diri dan keluarganya, pasien dan keluarganya, sesama kolega dan pandai mewujudkan kebahagiaan yang bisa dirasakan bersama-sama. Dokter berjiwa kaya ini akan menunjukkan akhlakul karimah yang tinggi kepada semua orang yang berinteraksi dengannya. Dalam penulisan ini diawali dengan pemahaman dasar moral, yaitu kekayaan jiwa dan akhlakul karimah. Jika penguasaan strategi yang canggih tanpa moral yang bagus, akan mempercanggih kejahatan yang dilakukan. Namun, jika didasari dengan akhlak yang baik, penguasaan strategi akan melipatgandakan dampak dari produk kesalehan amal yang dihasilkan.

Di bagian kedua, akan dibahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam milleu tempat dokter-dokter di Indonesia. Keadaan di Indonesia terjadi paradoks antara kemiskinan dan keterbatasan untuk mengakses layanan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi lain terdapat golongan masyarakat yang tidak sedikit potensi pasarnya untuk digarap secara serius agar dapat menghemat devisa negara. Mereka ini berjumlah 16 juta dengan kekuatan belanja kesehatan yang setara dengan kekuatan belanja papan atas penduduk Singapura. Inilah segmen yang menggiurkan bagi pemain-pemain asing untuk memperebutkan kue dari pasar kesehatan.

Pemahaman penting setelah dasar akhlak yang baik dan pemahaman perubahan serta pergeseran yang terjadi adalah pemahaman mengenai rantai nilai yang diterima pasien ketika melalui “ban berjalan” produk-produk jasa layanan kesehatan yang ditawarkan. Dengan memahami rantai nilai, akan membuat perhitungan strategis menjadi lebih terarah dan sistematis. Demikian pula ketika membandingkan rantai nilai serupa yang ditawarkan oleh pesaing. Jadi, memahami rantai nilai yang ditawarkan dengan baik, akan lebih mudah mengukur, menilai bagaimana pasien atau pelanggan mengapresiasikannya, dan dapat dijadikan sebagai keunggulan bersaing.

Respons konstruktif selanjutnya adalah pemahaman mengenai pemasaran. Pemahaman pemasaran akan lebih memerinci bauran pemasaran (marketing mix) yang digunakan untuk mengoptimalkan nilai yang ditawarkan dan relevan dengan yang dianggap pasien atau pelanggan sebagai sesuatu yang bernilai.

Kekuatan respons konstruktif yang tidak dapat diabaikan perannya adalah dukungan jaringan (network). Jaringan ini mempunyai kekuatan magnifikansi (memperbesar) penyebaran informasi, tren, serta perilaku baru yang menguntungkan, bagi institusi layanan kesehatan maupun suatu promosi perilaku sehat. Dalam hal ini, jaringan yang dimaksud adalah jaringan yang dimiliki oleh pelanggan. Jaringan lain yang tidak dapat diabaikan adalah jaringan “bisnis” rujukan vertikal (dokter umum – spesialis). Jaringan ini mempunyai peran meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang diberikan oleh suatu “tim jaringan” sehingga dapat menurunkan penanganan kasus yang buruk di tingkat pertama dan keterlambatan rujukan yang seharusnya dapat dihindari. Secara tidak langsung akan meningkatkan merek atau nama baik dokter spesialis yang menjadi “leader” dalam jaringan tersebut.

Di puncak usaha respons konstruktif adalah kekuatan nama baik. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dokter-dokter untuk mewujudkan suatu pelayanan yang bermutu secara kontinu (istiqomah) agar tertanam dalam benak konsumen, bahwa dokter atau institusi layanan kesehatan mempunyai jaminan atau nama baik dalam kualitas pelayanannya.

Di ujung pembahasan mengenai respons yang konstruktif adalah evaluasi kinerja yang telah dihasilkan selama ini. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai teknik-teknik evaluasi, penentuan bidang-bidang apa saja yang menjadi bahasan evaluasi kinerja, serta membuat relevansinya dengan nilai yang dibutuhkan oleh pelanggan atau konsumen.

Semoga buku ini memberikan inspirasi bagi teman sejawat dokter maupun profesional kesehatan lain dalam melihat dan merespons perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam lingkungan strategis industri kesehatan di dalam negeri. Penulis menyadari kata pepatah “tak ada gading yang tak retak” karena itu bagi pembaca yang ingin memberikan umpan balik terhadap buku ini dapat disampaikan di alamat e-mail penulis yusuf_pluss@yahoo.com atau ke alamat penerbit Tiga Serangkai Surakarta.


Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments