my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Saturday, February 24, 2007

Pak, Saya ini mengantarkan cucu, kok ikut-ikutan disuntik?

Sebuah Puskesmas di daerah pinggiran di suatu kabupaten Bagaskara di propinsi Madhangkara, terkenal sangat laris. Cakupan pasien yang berkunjung di Puskesmas tersebut tidak hanya dalam wilayah kerjanya, tetapi sudah melintas ke luar wilayah kerja dan bahkan ke kecamatan kabupaten tetangganya. Salah satu rahasia yang membuat Puskesmas tersebut tersohor adalah karena menyediakan layanan suntikan, suatu tindakan yang mulai banyak ditinggalkan oleh Puskesmas lain. Bahkan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan bila tidak ada indikasi medis yang kuat, walaupun hanya sekedar memberikan suntikan vitamin.

Masyarakat pedesaan umumnya bila berobat tidak diberikan suntikan maka bagi mereka itu namanya belum berobat. Jadi yang dikatakan berobat itu harus disuntik. Apapun sakitnya.

Entah apa alasan Puskesmas ini, tetap memberikan tindakan suntikan sesuai permintaan pasien-pasiennya. Bisa jadi karena melihat ini adalah peluang pasar, atau karena mencoba berempati terhadap apa yang membuat kegelisahan pasien bila tidak disuntik. Yang jelas hanya kepala Puskesmas dan stafnya saja yang tahu.

“Era otonomi daerah bung!”

“Jangan coba-coba ikut campur urusan rumah tangga orang!”

Kira-kira demikianlah jawaban Kepala Puskesmas beserta stafnya ketika ditanya mengapa mereka tetap memberikan tindakan suntikan sementara Puskesmas yang lain mulai memberhentikannya.

“Wah mateni pasaran tenan mas! [wah membunuh pasaran orang lain]”

inilah kira-kira ungkapan kepala dan staf Puskesmas yang berada disekitarnya, terhadap apa yang dilakukan Puskesmas “penyuntik” itu.

Saking larisnya, pasien yang datang setiap hari bisa berjubel seperti pasar. Rata-rata kunjungan bisa 150 pasien setiap hari pada jam kerja jam 08.00 – 11.00. Hari senin atau hari pasaran [pahing, pon, wage, kliwon, legi; kebetulan disamping Puskesmas ada pasar yang buka hanya pada hari pasaran pahing, sehingga disebut pasar pahing], jumlah pasien bisa mencapai 250 pasien rawat jalan, sedangkan anak-anak yang mau imunisasi dan kunjungan KB serta ibu hamil tidak dihitung.

“Wow..luar biasa! Berapa banyak pasiennya bung? “Ratuusan!”

Dalam rentang waktu tiga jam, dan jumlah pasien yang ratusan pada hari senin dan hari pasaran, dapat anda bayangkan berapa menit yang dibutuhkan untuk pekerjaan : menanyai, memeriksa, melakukan tindakan suntikan.

Bila petugas polikliniknya dua orang, maka rata-rata satu pasien ditanyai, diperiksa dan disuntik dalam waktu 1 menit 44 detik. Tetapi bila petugas yang memeriksa berjumlah satu orang maka setiap pasien ditanyai, diperiksa dan disuntik dalam waktu 43,2 detik.

Sebenarnya yang beruntung adalah pasien yang diperiksa dalam waktu satu jam pertama. Karena apa? Karena dokter atau perawat yang memeriksa masih dalam fresh, jadi senyumnya kepada pasien masih original. Satu jam kedua, stamina pemeriksa mulai menurun. Dan satu jam terakhir (satu jam ketiga) sudah ala kadarnya. Ibarat komputer, sudah terlalu banyak memproses data, satu jam terakhir “pentium”-nya sudah panas (walopun dual processor), sehingga konsentrasi berkurang. Serta senyum yang ditampilkan tidak karuan bentuknya karena tidak original lagi.

Mbah Bejo, datang ke Puskesmas memeriksakan cucunya yang berumur 5 tahun sakitnya flu. Dasar anak-anak walaupun sakit flu, tetap menunjukkan keaktifan dan kelucuannya. Mbah Bejo dan cucunya mendapatkan keberuntungan mendapatkan jatah diperiksa dalam rentang satu jam terakhir. Jadi pas “pentium” pemeriksa mulai mendekati exhausted. Karena melihat cucu mbah Bejo “sehat” pemeriksa, mengira yang sakit mbah Bejo, dan langsung menyuruh mbah Bejo tengkurap

Monggo mbah Murep” [silakan tengkurap mbah]

Tanpa berpikir panjang mbah Bejo tengkurap, kemudian pemeriksa melorotkan celana mbah Bejo, sehingga kelihatan menyembul pantatnya, selanjutnya menusukkan jarum injeksi dengan spuit yang berisi vitamin.

Setelah membetulkan celananya, mbah Bejo dipersilakan duduk di depan pemeriksa. Dan ditanyain

Gimana mbah rasanya?

Kados pundi tho, pak mantri Dokter, ingkang sakit puniko wayah kulo, ingkang dipun suntik kok kulo?” [gimana sih pak Mantri yang sakit cucu, yang disuntik kok saya?”

Pak Mantri dokter : ?!#*?:<>

Mak GLODAK!!!

Dokter “Inova”

Profesi dokter dan profesi kesehatan pada umumnya adalah profesi yang sangat menekankan pada pelayanan. Pekerjaan pelayanan berarti menekankan orientasi pada orang lain. Pekerjaan pelayanan berarti memberikan pelayanan secara adil, tidak pandang bulu miskin, kaya, cakep, cantik, jelek, harum parfumnya atau berbau tidak sedap, datang dengan uang yang tebal atau tidak ada uang sama sekali.

Pernah suatu ketika saya mendapatkan pasien, datang dengan keluhan panas. Merasa badannya panas, dan sangat terganggu dengan demamnya, pasien berkali-kali menghirup dan menghembuskan nafas panjang. Namun sayangnya, ketika menghembuskan nafas panjang-panjang pasien tidak sadar dan peduli dengan lingkungan. Menghembuskannya ke segala arah termasuk ke dokternya. Masya Allah, nafasnya bau. Namun demikian, dokter harus dituntut tetap ramah, sambil membungkuk-bungkukkan badan untuk menghindari hembusan nafas, saya melakukan anamnesis dan pemeriksaan secara legeartis.

Di saat yang lain, pernah saya mendapati seorang pasien yang badannya, bau sekali. Beliau ini datang ke tempat praktek dengan frekuensi yang lumayan sering, hanya untuk sekedar meminta vitamin. Untuk menghilangkan rasa penasaran, saya menanyakan langsung kepadanya secara halus, mbah dek wau, sak dherengipun tindhak mriki sampun siram utawi dhereng, mbah?” (mbah, tadi sebelum berangkat ke sini, sudah mandi belum mbah?). Secara spontan, kakek tadi menjawab,nuwun sewu pak dokter, kulo kersanipun umure dhowo, rejekinipun lapang, sehat badanipun, kulo ngelampahi mandi setahun sepindah, pas wekdal sasi suro(mohon maaf pak dokter, biar saya umurnya panjang, lapang rizkinya, sehat badannya, saya menjalani mandi setahun sekali, yaitu pada saat bulan suro [bulan dalam budaya jawa yang mengadopsi bulan muharam dalam kalender Islam).

Atau bagi anda yang profesinya sebagai perawat, malam-malam mendapatkan keluhan, seorang pasien habis operasi, tubuhnya sulit bergerak, mau buang air besar. Apakah anda biarkan pasien menunda buang air besarnya besok pagi? Atau anda biarkan pasien tidur dengan tinjanya hingga esok pagi baru dibersihkan? Coba anda simak cuplikan berikut1:

Bukan cuma dokter yang tak profesional. Tonny juga mengeluhkan perawat yang galak. Ia menuturkan pengalaman sehabis operasi dan tak bisa bangun dari tempat tidur. Buang air kecil dan besar pun terpaksa dilakukan di tempat tidur.

Suatu malam ia buang air besar. Sesudahnya ia minta tolong kepada suster untuk membersihkan dirinya, tapi sang perawat malah marah-marah dan menjawab membersihkan besok pagi saja. “Bayangkan sejak malam, pasien yang tidak bisa apa-apa harus tidur dengan tinja,” katanya.

Kendati mengkritik pelayanan dokter dan perawat, Tonny memuji fasilitas rumah sakit di Indonesia yang sudah cukup baik. Seandainya pelayanan dokter dan perawatnya bisa diperbaiki mungkin pasien tak akan pergi jauh-jauh ke luar negeri.


Menjalani profesi dokter atau pelayan kesehatan lainnya pada umumnya dari sudut tanggung jawab, beban kerja dan wewenangnya sangatlah tidak menyenangkan. Namun orang sering lupa, yang dilihat hanya sisi enaknya atau hal-hal yang menyenangkan saja dari profesi kesehatan ini. Seringkali ketika banyak pasien yang berobat ke tempat praktek, dalam benaknya hanya muncul pertanyaan “berapa rupiah malam ini yang terkumpul?” “tinggal berapa rupiah lagi uang yang harus saya kumpulkan untuk menggenapi uang muka pembelian Inova?” “istri dan anak-anakku tadi berpesan, ‘pa, nanti ngumpulin uang yang banyak ya, biar segera bisa beli Inova’, aku harus sungguh-sungguh nih” dan sebagainya dan sebagainya. Begitu kuatnya pikiran-pikiran untuk beli Inova, maka ketika melakukan anamnesis pada pasien, pertanyaan yang muncul “Inova-nya sakit apa ya pak?” pasien menjawab dengan “?#?$?”

Ini Contoh lain dokter anestesi ndak konsent...

pasiennya melayang

Setelah itu, tersebar desas-desus dan kabar-kabar miring serta buah bibir yang membuat terkenalnya nama dokter “Inova.

Mak glodak!!!

1 Majalah Tempo, 22 Mei 2005; Kesehatan; Jika Pasien Lebih Nyaman di Rumah Orang; Pelayanan rumah sakit di Indonesia masih mengecewakan, dokter mestinya jadi mitra bicara pasien

Saturday, February 17, 2007

Pak, mbok “Parfumnya” Ganti-ganti tho!!

Pak Kromo, pemuda 40 tahun yang lalu, berarti sekarang usianya 60-an tahun. Itulah kenyataan yang banyak dihadapi petugas pelayanan kesehatan di daerah pedesaan. Para pemuda 40 – 50 tahun yang lalu dapat dikatakan hampir semuanya tidak tahu pasti berapa usia mereka. Hal ini dikarenakan persoalan mendasar dalam penghitungan usia, yaitu tidak adanya tanggal lahir. Jangankan tanggal lahir, tahun saja masih dikira-kira.

Biasanya untuk mengatasi masalah ini, seringkali para petugas kesehatan ini menanyakan “rabine pas jaman Jepang utawi jaman Gestok mbah?”[menikahnya ketika jaman Jepang atau jaman G30SPKI?] atau dengan semacam pertanyaan “rumiyen pas Jaman Mardhika sampun saget playon mbah? (dulu saat sudah merdeka sudah bisa lari belum mbah?) Susahnya ketika ditanya berapa usianya, jawaban mereka sangat sederhana, bahkan terkesan meremehkan “pun panjenengan kinten-kinten kemawon, nggih selangkung lah” (Anda kira-kira saja lah, ya dua puluh lima tahun lah) padahal mereka sudah kakek-kakek dan nenek-nenek. Puas…. Puas…. Puas!!!?

Mbah Kromo ini, karena produk generasi jaman “super lempung” artinya kurang tersentuh produk-produk industri modern seperti sabun mandi, shampoo, pasta gigi dan sikat gigi apalagi parfum biar mampu “menggaet” lawan jenis. Bagi mbah Kromo, yang dikatakan bersih, artinya terlihat mata bahwa ia itu bersih. Jadi cukup dengan dibasuh dengan air dan digosok-gosok saja, kalau sudah terlihat bersih,

“ngapain harus pakai sabun?”

pikirnya dalam hati.

Tetapi biar tidak dianggap “lain” dari kebanyakan orang, beliau pakai saja sabun mandi, walaupun hanya dipakai sore hari, habis kerja dari sawah biar keringatnya terbasuh bersih. Tetapi kalau pagi hari jangan ditanya

“pakai sabun ndak mbah mandi pagi ini?”

dipastikan jawabannya “mboten” (tidak).

Ini baru masalah sabun, shampoo hampir dikatakan tidak pernah, sikat gigi dengan pasta gigi juga hampir tidak pernah.

Akibatnya sangat terasa, karena kulit manusia kaya akan asam lemak yang mudah teroksidasi menjadi aldehid. Inilah yang diyakini menyebabkan ketengikan minyak. Keringat kaya akan amonia dan berbagai macam asam. Di daerah mulut apalagi sisa-sisa makanan plus pencernaan bakteri yang menguraikan asam-asam amino yang kaya unsur pembentuk amonia, dan sulfur pembentuk H2S. Kesemua senyawa ini plus unsur-unsur tembakau rokok tingwe (linting dewe [digulung sendiri]), membuat berbagai aroma yang bila dicium, akan bersatu padu, bersama-sama membentuk BAU. Hasil akhir inilah yang diserang oleh produk-produk industri modern yang terklasifikasi dalam satu kelompok industri toiletries. Karena hasil akhirnya jelas, maka produk-produk itu tidak perlu diiklankan dengan bahasa-bahasa yang rumit dan susah, seperti yang dikuliahkan para pakar di bidangnya. Cukup dengan penangkal bau, baik dari mulut maupun badan.

Karena kebiasaan itu, mbah Kromo menunjukkan TRIAS gejala tidak menggunakan produk toiletries modern.

Pertama, badan bau khas (bau badan khas ini, konon berguna dalam situasi peperangan terlebih di dalam hutan, bau ini menyatu dengan alam, sehingga tidak terdeteksi kehadirannya oleh musuh).

Kedua, gigi tampak seperti batu karang bersalut mentega. Karang berwarna coklat kehitaman, terlebih akibat pengecatan tembakau, serta mentega berwarna kuning, produk sisa makanan yang mengumpul tidak tersapu.

Ketiga, berbicara menjadi amat bau.

Karena setiap berobat di Puskesmas, mbah Kromo selalu menunjukkan TRIAS gejala tidak memakai produk toiletries modern, ditambah selalu menggunakan minyak kayu putih, maka seperti kata orang marketing membentuk “merek” bau mbah Kromo. Seperti kata pepatah, gayung bersambut, “ciri khas” mbah Kromo ini akhirnya menuai respons. Respons itu datangnya dari petugas yang melayani di Poliklinik Puskesmas. Mbak Warti namanya, biasa asertif, ada sesuatu yang tidak suka langsung dia katakan, tidak peduli dokter kepala puskesmas, kepala dinas atau kolega lain di Puskesmas, tetapi juga kepada pasien-pasien yang beliau tangani. Salah satu dari sekian banyak pasien yang mendapat umpan balik asertif dan lugas adalah mbah Kromo ini.

“Pak Kromo, kalau periksa ke sini, mbok “parfumnya” ganti-ganti tho pak!”

Dengan wajah merah padam, entah karena marah atau malu, yang jelas hanya beliau saja yang tahu, pak Kromo meninggalkan ruang pemeriksaan untuk menebus resep.

PERTANYAAN :

APA KIRA-KIRA JAWABAN MBAH KROMO?

Membalikkan telapak tangan bukan urusan yang mudah

Saat mengandung putera kami yang kedua… istri saya pernah terjatuh dari sepeda motor. Penyebab jatuhnya sangat sepele yaitu tabrakan dengan kambing…. ndak elite blas…!

Permasalahannya bukan pada elite atau tidak elite-nya penyebab jatuh… tetapi dampak dari jatuh dari sepeda motor… maklum istri saya termasuk seorang pembalap amatir yang profesional. Artinya bukan pembalap profesional alias amatir… tetapi setiap hari selalu ngebut seperti pembalap profesional yang latihan setiap hari…bahkan walaupun dalam keadaan hamil hingga enam bulan.

MAK DIAAR…

Seperti disambar petir di siang bolong.. kedua tangan istri saya mengalami patah tulang…di kedua pergelangan tangannya. Dan hasilnya dokter UGD di RS Ortopedi Surakarta, mempunyai opini harus dilakukan operasi. Tidak puas dengan pendapat dokter UGD tadi, kami mencoba mencari pendapat dokter ahli ortopedi masih di tempat yang sama.. dengan melihat argumentasi dan ketakutan akan nasib kehamilan dan anak yang dikandung akhirnya dokter tersebut memutuskan untuk cukup dilakukan reposisi tulang tanpa operasi.. cukup dilakukan gips luar tidak penuh.

Sebagai dokter yang sering melihat dan “memerkosa” pasien hingga kesakitan hebat… saya tidak tahan melihat penderitaan istri saya (yang juga dokter) saat dilakukan reposisi tulang. Bayangkan saja tangan dan lengan ditarik oleh dua orang perawat seperti orang yang melakukan perlombaan tarik tambang… menguras semua tenaga yang dimiliki… udah begitu… dokter ahli tulang tadi juga ikut menambahi dengan membelokkan pergelangan tangan, dengan kedua perawat masih dalam keadaan seperti orang yang lomba tarik tambang. Spontan istri saya mengerang kesakitan… padahal ketika melahirkan anak kami yang pertama.. kuat menahan rasa sakit tanpa mengerang kesakitan.. berarti sangat sakit.. sekali..

Perjalanan ternyata sangat panjang dan melelahkan…seperti tidak ada habisnya. Padahal dokter ahli tulang yang memimpin reposisi tulang tadi mengatakan “butuh waktu enam minggu”. Mengatakan “butuh waktu enam minggu” ternyata tidak semudah detail detik-detik yang harus dilewati. Detik-detik yang harus dilalui istri saya, sudah perut membuncit, masih mual-mual…harus dilengkapi penderitaannya dengan menikmati munculnya sensasi nyeri yang hilang timbul dari tulang dan jaringan lunak di sekitar patah tulang..

Saya pun dipaksa keadaan harus menemaninya dan merawatnya seperti seorang baby sitter yang merawat bayinya. Karena kedua tangan, pergelangan tangan hingga lengan sampai siku istri saya di-gips seperti “wayang orang”…jadi tidak bisa apa-apa selain semuanya harus saya bantu.

Ganti baju, memakai baju…ternyata mempunyai kesulitan tersendiri. Saya mengidentifikasi ada dua halangan… pertama, yaitu kedua tangan dan lengan yang terbelenggu oleh gips… dan kedua adalah perut yang membuncit..juga merupakan kesulitan tersendiri. Kalau menyuapin makanan merupakan acara seperti orang pacaran… tetapi kalau urusan membantu “pipis” “eek” hingga menyeboki-nya….lha itu butuh rasa kasih sayang dan cinta yang sangat luar biasa… sebuah ujian agar kami selalu bertambah mesra. Tahu sendiri kan kesulitan yang ini….orang hamil sebentar-sebentar kebles pipit… eh…keblet pipis.. bahkan dalam satu malam bisa dua sampai tiga kali…

Setelah detik-detik yang dilalui genap mencapai enam minggu… huaaah… lega rasanya… gips dibuka.. h…ha..aaah bisa tidur malam lebih nyenyak nih.. tanpa terganggu.. harus melakukan ritual “menurunkan” “menaikkan” “mendudukkan” “menyebok-i” “memberdirikan”… bayangan saya dalam hati… dan ternyata.. setelah gips dibuka.. tidak seperti yang dikira… membalikkan telapak tangan sangat susah dan selalu ada rasa nyeri yang menyelimuti… ternyata pepatah “ah itu urusan mudah cuman membalikkan telapak tangan saja” adalah SALAH BESAR. Bapak saya yang menderita stroke-pun tidak mampu membalikkan telapak tangan juga. Singkat cerita ada tambahan waktu atau injury time dua minggu hingga genap satu bulan hingga membuat “membalikkan telapak tangan” itu jadi mudah tanpa rasa sakit…

Alhamdulillah…. tinggal menunggu saat-saat melahirkan tiba.. perjalanan yang penuh dinamika..membelokkan arahnya tanpa disangka-sangka. Tekanan darah istri saya makin naik.. menginjak bulan kedelapan mendekati penuh..setiap minggu tensi naik 10 mmHg.. dan seminggu terakhir.. tensi 180/110 mmHg dan setiap pagi kelopak mata selalu bengkak seperti orang habis menangis… tidak tahan dengan kondisi istri yang penyakit kehamilannya didiagnosis pre-eklamsi mulai berat… saya berkonsultasi dengan dokter ahli kandungan yang merawatnya… dan akhirnya kami mau menerima keputusan untuk diakhiri kehamilannya dengan operasi Caesar.. saat dilakukan operasi Caesar.. tekanan darah masih terus menanjak hingga mencapai 210/120 mmHg.. saya sangat cemas dengan keadaan ini… akhir cerita keduanya selamat… sekarang anak kedua kami sudah berusia sebelas bulan dalam keadaan sehat…alhamdulillah..

MENGHINDARI OPERASI TULANG TIDAK DAPAT MENOLAK OPERASI CAESAR…

MEMANG SUSAH MENJADI PASIEN…


Tuesday, February 13, 2007

Dokter Matre & “Polisi Daun”


Membaca blog mbak Lita Purba…saat menceritakan anaknya… ada istilah yang menggelitik hati saya …..”polisi daun” (Saya sudah minta izin beliau menggunakan istilah “polisi daun” untuk tulisan ini). Dalam iklan A Mild, seorang polisi menyamar dengan menutupi tubuhnya dengan daun sehingga pengemudi yang melanggar tidak melihat adanya polisi…. Dan perangkap berhasil…. Kena loh…. Maaf pak atau bu Polisi… saya menyebut “polisi daun” ini dengan polisi matre…. Mengintai mencari mangsa mendapatkan fulusnya….he he he…matre kaleee…

Ada kesamaan antara “polisi daun” dengan dokter matre…. Saya batasi dokter matre dalam hal ini, karena ia pekerja lepas…. Berarti penghasilannya akan bertambah bila “jam tayangnya” bertambah….. sama dengan “polisi daun” bila “jam tayangnya” bertambah berarti “fulus”nya juga bertambah… cuman ada bedanya…

DOKTER YANG PUNYA “JAM TAYANG” SANGAT TINGGI……BERESIKO!!!

Atul Gawande dalam bukunya Complications, menyajikan cerita seorang dokter bedah tulang dengan reputasi baik, yang dalam perjalanan selanjutnya mengalami penurunan kualitas layanan sampai terjadi kesalahan fatal yang seharusnya dapat dihindari. Mulai terjadi banyak tuntutan malpraktik, hingga banyak teman sejawat yang mulai menghindari tidak merujuk atau memberikan pasien kepada dokter tadi. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata jumlah kasus yang dipegang melampaui kemampuan profesionalnya. Ia bekerja delapan puluh, sembilan puluh, bahkan seratus jam per minggu selama lebih dari sepuluh tahun. Ia beristri dan punya tiga anak – yang sudah besar-besar – tetapi ia jarang bersama mereka. Jadwalnya sangat ketat, dan ia harus sangat efisien untuk menyelesaikannya semua. Akhirnya ia berada dalam tahap kelelahan mental, sesuatu yang biasa terjadi bagi profesi dokter, dan memulai kehidupan kelam dalam karir profesionalnya. Diperkirakan, pada suatu masa, sekitar 3 sampai 5 persen dari dokter yang berpraktik sebenarnya tidak layak menerima pasien.

Banyak dokter yang kehidupan profesionalnya mirip-mirip seperti yang dikisahkan oleh Atul Gawande. Jumlah kasus yang ditangani dan rentang waktu bekerja melebihi kemampuan profesional manusiawinya. Praktik di lebih dari tiga tempat praktik, bahkan ada yang sampai enam tempat praktik dan jarak antar tempat praktik mencapai puluhan kilometer. Dalam keadaan seperti itu, tentu sangat rawan terjadi kelelahan fisik maupun mental dan mempermudah terjadinya kesalahan laten yang berujung pada kejadian malpraktik.

Sudah begitu, masih banyak dokter yang membatasi masuknya dokter baru, secara logika akan mengurangi beban kerjanya. Bahkan beberapa dokter spesialis tertentu sebagaimana yang diungkapkan Laksono Trisnantoro (dalam dua bukunya Aspek Manajemen Rumah Sakit dan Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit) membentuk kartel, sehingga membatasi rumah sakit dalam suatu wilayah agar menggunakan dokter spesialis dalam jaringan kartelnya. Hasil akhirnya adalah beban kerja dokter yang ada tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah, karena penduduk juga terus berkembang dan bertambah. Bhisma Murti bahkan menambahkan, mereka dengan sengaja mempertahankan kelangkaan, mempertahankan tarif dalam rentang yang tinggi, untuk mempertahankan keuntungan pribadi. Sebuah pertimbangan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi, ketimbang kepentingan banyak orang, apalagi kepentingan pasien yang menjadi pertimbangan utamanya ketika memilih profesi sebagai dokter.

Lalu BAGAIMANA DENGAN PASIENNYA???

Saturday, February 3, 2007

Dokter "Peternak Ayam Jago"

Tahun 1991 adalah tahun pertama saya kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat yang bersamaan dengan lulusnya kakak kandung saya dan suaminya. Pada tahun itu, adalah tahun-tahun pertama kebijakan pengangkatan dokter PTT yang sebelumnya setiap dokter lulus otomatis menjadi pegawai negeri sipil [PNS] dengan kedudukan dokter kepala Puskesmas. Alasan utama waktu itu adalah mulai terbatasnya anggaran pemerintah untuk pengangkatan dokter sebagai pegawai negeri sipil dan sudah dirasakan jumlah dokter PNS yang ada sudah mencukupi kebutuhan akan tenaga dokter di jajaran pegawai pemerintah. Di samping itu dengan kontrak selama tiga tahun, maka akan tersedia dokter yang bertugas di daerah terpencil semacam propinsi Irian Jaya atau pelosok-pelosok propinsi di luar jawa atau Indonesia timur. Toh, mereka para dokter itu cuman bertugas selama tiga tahun dengan imbalan gaji yang lebih besar sehingga akan membuat tersedianya tenaga dokter di daerah terpencil. Bahkan konon dengan pengalaman pernah bertugas di daerah terpencil dijanjikan bahwa karier untuk melanjutkan sekolah spesialis akan terbuka lebih besar daripada dokter yang tidak bertugas di daerah terpencil. Dijanjikan pula kalau gaji terlambat atau tidak sampai di tempat dalam waktu yang telah ditentukan, para pejabat akan bertindak langsung dan tegas pada aparat yang menyebabkan keterlambatan penerimaan gaji dokter PTT tersebut.

Atas iming-iming gaji yang tinggi, serta janji kemudahan mengambil spesialis, serta keterjaminan ketepatan penerimaan gaji di daerah terpencil itulah kedua kakak saya bertekad untuk mengikuti program penempatan dokter PTT di daerah terpencil propinsi Bengkulu. Walaupun mereka berdua tidak tahu bagaimana sih daerah terpencil yang nantinya mereka hadapi.

Ternyata daerah terpencil, memang sesuai dengan namanya yang terpencil, berarti jauh dari fasilitas-fasilitas yang memudahkan seperti halnya yang terdapat di pulau Jawa atau daerah perkotaan. Untuk belanja harus naik mobil dinas menuju "kota" sejauh 150-an kilometer. Air bersih tidak seperti yang dibayangkan, harus "ngangsu" [mengambil air dengan ember yang ditali]. Celakanya baru dua atau tiga ember yang diambil dari air sumur rumah dinas, air sudah bercampur lumpur, karena daerah tersebut dekat dengan daerah rawa. Yang sangat menarik adalah, ternyata gaji dokter PTT yang dijanjikan bukannya tepat waktu, turunnya dirapel ENAM BULAN berikutnya. Ternyata rapelan enam bulanan itu menjadi agenda rutin penerimaan gaji. Karena sekalian dibarengkan dengan pengiriman barang-barang lain yang juga dirapel setiap enam bulan sekali. Otomatis selama menunggu gaji datang, mau tidak mau, suka
tidak suka, sukarela atau terpaksa, harus menggunakan uang pribadi dulu.

Yang menarik di sini, praktek dokter pribadi di rumah dinas berjalan lancar. Populasi penduduk lumayan jarang, kunjungan pasien yang datang ke tempat praktek dalam waktu seminggu hanya 5 sampai paling banter 10 orang. Menurut tradisi di sana, penghargaan tertinggi yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang berjasa bagi kehidupannya adalah memberikan ayam jago kepada seseorang yang berjasa tadi. Karena dokter adalah orang yang berjasa bagi kehidupan seseorang, maka bukan imbalan uang atas jasa dokter yang diberikan, masyarakat di sana memberikan penghormatan tertinggi dengan menyerahkan ayam jago tersebut. Di sana
tidak berlaku uang sebagai alat transaksi dengan dokter. Dapat disimpulkan, penghasilan kakak dari hasil praktek adalah seberapa banyak ayam jago yang terkumpul. Kalau ayam jago banyak, berarti prakteknya laris, tetapi kalau ayam jagonya sedikit berarti praktek lagi sepi. Padahal praktek disana menggunakan sistem dispensing, artinya sekalian menyediakan obat untuk pasien yang datang berobat. Sedangkan obat harus membeli sendiri. Jadi untuk menghitung surplus atau rugi bagaimana???

Yang lebih tragis adalah ketika mengambil pendidikan spesialis beberapa tahun berikutnya, ternyata janji hanya tinggal janji. Rekomendasi daerah terpencil tidak "ngefek" alias tidak ada bedanya dengan yang lain yang tidak "berdarah biru". Untuk praktik pribadi pun ternyata
untuk memperoleh izin praktik mendapat "barier of entry" dari senior sejawatnya, sehingga harus praktik tanpa izin praktik.

KESIMPULAN (NAKAL)NYA:

1. Kita hidup di alam nyata bukan hidup di alam kehidupan novel!
2. Kita harus sibuk ngurusin urusan kita sendiri

karena pemerintah sudah terlalu sibuk mengurusi urusannya sendiri. Jadi jangan gantungkan nasib Anda sedikit pun pada harapan yang dijanjikan pemerintah!!!


Hal yang dapat dipelajari (KESIMPULAN YANG NORMATIF)

Kalau anda sebagai dokter yang terpanggil jiwanya untuk misi kemanusiaan dan misi dakwah. Untuk merealisasikan misi tersebut anda harus datang dan bermukim di daerah terpencil dalam kurun waktu tertentu, agar keberadaan misi anda bisa dirasakan oleh masyarakat yang
menjadi misi dakwah Anda. Maka tahan dululah keinginan tersebut hingga dipastikan dulu beberapa hal :

1. Kesiapan mental, kedalaman maknawiyah anda harus sudah tergembleng
2. Kesiapan finansial, jangan andalkan gaji dari pemerintah.
Gaji itu sedikit, sering datang terlambat dan dirapel. Untuk mensukseskan kesiapan finansial ini, Alernatif pertama perlulah anda kalau menurut Robert T Kiyosaki berada dalam kuadran kanan, yaitu sebagai bisnis people atau investor. Artinya sudah mengalami kebebasan finansial; tidak bekerja lagi untuk mendapatkan uang, tetapi uang sudah bekerja dengan baik kepada anda; uang anda sudah menghasilkan uang lagi. Tentunya dengan cara-cara yang syar'i. Bisa jadi anda memiliki perusahaan yang disana sudah anda temukan orang-orang kepercayaan anda dalam mengelola bisnis anda. Sehingga seperti definisi bisnis Robert T Kiyosaki: suatu usaha atau bisnis yang anda miliki, tatkala anda tinggalkan bisnis itu selama satu tahun lebih, maka ketika anda kembali, anda mendapati bisnis anda minimal tetap seperti tatkala anda tinggal atau bahkan berkembang lebih pesat lagi. Alternatif kedua; temukanlah sumber-sumber donasi yang menjamin segala kebutuhan anda tatkala berada di daerah terpencil, entah dari lembaga nir laba atau lembaga-lembaga profit oriented. Alternatif ketiga; anda sudah siap segalanya untuk menjalani kehidupan persis seperti masyarakat di sana, mencari makan dan segala sesuatunya ala mereka.

3. Kesiapan profesional; banyak dari teman-teman yang pernah tinggal di daerah terpencil karena keterbatasan dan keterpaksaan mereka bisa melakukan operasi caesar, operasi usus buntu dan tindakan-tindakan invasif lainnya.

Marketing Rumah Sakit.....Pak Becak Bicara...

Seorang dokter spesialis senior, tidak seperti biasanya naik vespa kesayangan menuju rumah sakit tempat ia bekerja untuk melakukan visite malam pada pasien yang baru saja masuk malam jam 22.30 tadi. Saat itu jam dinding menunjukkan malam sudah larut jam 23.15, berarti ia harus bergegas pulang. Mengingat masih padatnya acara besok pagi, harus memanfaatkan waktu yang ada untuk istirahat. Vespa putih kesayangan yang sudah lama tidak beliau kendarai akhirnya meluncur dalam "lecutan" gas berpacu keluar menyusuri ruang parkir menuju keluar rumah sakit.

"Braak....ciiiit....buk" suara benturan, rem dan tubuh yang jatuh berurutan memecah ketenangan suasana. Vespa itu jatuh, dan dokter spesialis yang mengendari jatuh berlumuran darah di muka dan dadanya. Tabrakan bis menghantam Vespa putih itu baru keluar dari halaman rumah sakit YY hingga terpental menatap trotoar jalan.

Pak-pak becak dan orang-orang yang berkerumun segera menggotong tubuh dokter spesialis itu. "Bawa ke RS XX!" teriak salah seorang dari mereka. Kontan kerumunan dadakan itu membawa sang dokter spesialis ke Rumah Sakit XX yang letaknya 1 ½ kilometer dari Rumah Sakit YY tempat dokter spesialis itu bekerja.

Tepat di UGD RS XX, segera dokter jaga menghampiri, memeriksa dan menyimpulkan dokter spesialis itu sudah meninggal dunia.

Usut punya usut, yang mendorong seseorang dalam kerumunan untuk membawa dokter spesialis yang sedang sekarat ke rumah sakit XX adalah motivasi mendapatkan imbalan uang sebesar Rp. 30.000,- dari manajemen rumah sakit XX. Seandainya bila dirawat di rumah sakit YY keadaan mungkin masih bisa tertolong karena segera mendapatkan pertolongan, ketimbang
harus diangkut ke rumah sakit XX yang berjarak satu setengah kilometer dengan kendaraan ala kadarnya.

Sangat tragis.

Apakah begini kiat atau trik untuk meningkatkan jumlah pemakaian bed di rumah sakit?

Siapa yang salah?

Rumah sakit tidak berdiri di atas ruang hampa. Ia berdiri dalam sejarah dan budaya masyarakatnya. Kasus di atas adalah kisah nyata yang terjadi di kota Solo. Sebuah kota tempat jatuhnya pesawat Lion Air di bandara Adi Sumarmo. Ada kesamaan antara kisah di atas dengan kisah yang terjadi di seputar kecelakaan pesawat Lion Air di dekat bandara Adi Sumarmo. Ada yang menarik selama kecelakaan pesawat tersebut. Pesawat jatuh di luar bandara tepatnya di pemakaman umum agak jauh dari pemukiman penduduk dalam suasana hujan deras dan hari mulai memasuki malam. Beberapa saat setelah pesawat jatuh tidak ada pertolongan sama sekali dari instansi-instansi yang berwenang. Yang pertama datang di sana adalah warga setempat. Memang ada yang benar-benar menolong, tetapi banyak pula yang justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan penumpang yang kesakitan dan meregang nyawa. Melihat banyaknya barang berharga dan jumlah uang dalam jumlah besar....membuat banyak pemuda
kampung tidak lagi memperhatikan keselamatan jiwa para penumpang tersebut. Mereka berebut "rampasan perang" barang-barang berharga di tengah erangan orang-orang yang meregang nyawa...setelah itu berlarian menuju kampungnya masing-masing dengan memamerkan uang-uang bergepok-gepok tanpa sedikit pun tersirat rasa dosa........
Kisah Lion Air ini juga kisah nyata, seperti yang dituturkan orang-orang desa yang berada di sekitar lokasi kecelakaan....

Hubungannya..?

Cara beroperasi rumah sakit sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara, budaya, nilai-nilai dalam masyarakat itu bekerja. Pak Becak atau siapa saja yang berada di jalanan atau dalam kerumunan cenderung kehilangan rasa tanggung jawab kemanusiaan... akibatnya yang dipikirkan apa keuntungan saya...mereka bisa mengambil dari korban kecelakaan atau bisa saja meminta "paksa" pihak rumah sakit memberikan "upah" dari mengirim pasien... karena peristiwa itu terus berulang.... Maka jadilah ada semacam "daftar tarif terima kasih" yang diberikan rumah sakit dan tentu saja berbeda-beda antara rumah sakit yang satu dengan yang lain. Jadi mengapa kok bisa seperti ini?

Tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang

Terbang dengan "Sanbe Air" atau "Pfizer Air" dok?

Malam begitu larut dan hening, padahal jam di dinding baru 23.00 WIB. Saat itu aku berada di kota Gudheg, kota pendidikan dan kota Malioboro yaitu Jogjakarta. Pada kesempatan kali ini, aku menginap di sebuah hotel berbintang, hotel R. Memang ada acara dinas yang harus aku
hadiri. Biasanya jam segitu, aku sudah tidur, biar bisa bangun malam untuk sholat. Tetapi malam itu lain dari pada malam biasanya yang aku lalui. Kalau aku berada di Solo, kebetulan rumahku di pinggiran kota, perumahan mewah (mepet sawah), malam tidak hening sekali. Menyatu dengan alam, suara katak, jangkrik mendampingin kesunyian malam. Di hotel itu, di ruang lobi executive, suara juga tak kalah riuh dengan suara para lelaki non manusia. Diskusi yang tidak memberikan kesempatan pada mata untuk ngantuk walaupun barang sedetik, kecuali harus dengan melek. Karena yang didiskusikan berkaitan dengan perilaku moral sehari-hari semua yang melakukan halaqoh pada forum itu. Halaqoh itu dihadiri aku sendiri dan temanku seangkatan, dokter umum yang masih culun. Dokter ahli anak, dokter ahli bedah, dokter yang sudah PhD dan mereka semua petinggi perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dokter.

"Dokter-dokter kita itu mau kita kemanakan tho?" ungkap dokter Eric yang ahli anak memulai diskusi.

"Sebentar, sebelum kita mendidik mahasiswa kita, kita harus bercermin bagaimana diri kita itu!" potong dokter Herman, yang diberi amanah Allah sebagai dokter bedah.

"Coba kita lihat bagaimana kita, dan para senior-senior kita berperilaku!" lanjut dokter Herman.

"Mengkampanyekan agar orang tidak merokok, sebagian dari kita malah menjadi perokok berat, ya termasuk saya" kemudian diiringi gelak tawa seluruh yang hadir. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan sambil mengingatkan dokter Eric.

"dokter Eric saja, tadi beliau cerita dengan saya dari Surabaya ke sini, naik "Sanbe Air" atau "Pfizer Air" pak Eric?" meledak lagi tawa dari seluruh peserta halaqoh malam itu.

Sanbe dan Pfizer adalah salah satu dari dua ratus lima puluhan pabrikan farmasi yang ikut meramaikan kompetisi dalam industri farmasi. Kami semua sudah sama mafhum mengenai maksud Sanbe Air atau Pfizer Air. Artinya memang perjalanan naik pesawat dari Surabaya ke Jogjakarta bisa menggunakan maskapai penerbangan Garuda, Sempati Air, Silk Air, Air Asia, Lion Air, Sriwijaya Air dan maskapai-maskapai lain. Tetapi yang membayar ongkos tiket itulah bisa jadi dari perusahaan farmasi Sanbe, Kalbe, Pfizer, Merck, Dexa, Bristol-Myers-Squibb, Novartis, UCB Pharma atau Abbot dan perusahaan farmasi lainnya. Jadi kompetisi dalam
industri farmasi, selain berlomba menemukan obat atau inovasi pengobatan, juga yang utama mengejar sumber pendapatan terbesar dari obat-obat yang diresepkan dokter. Untuk itulah, salah satu cara termudah merebut perhatian agar "dilirik" para dokter adalah memberikan berbagai fasilitas dan berbagai macam pendanaan. Toh karena obat tidak diiklankan, sehingga kemana lagi budget anggaran iklan di arahkan, kalau tidak ke yang memberi pengaruh yaitu dokter. Saya membayangkan, Unilever saja untuk satu produk, menganggarkan iklan sampai sebesar puluhan miliar per tahun, berapa besar yang dianggarkan pabrik obat itu untuk men-support aktivitas dokter.

Saya jadi teringat cerita dari detailer atau medical representative [wanita cantik atau pria yang berpenampilan menarik yang mendatangi dokter-dokter sebagai wakil dari perusahaan farmasi untuk menawarkan produk]. Pernah suatu ketika temannya sesama medical representative
kelabakan dan kebingungan.

"Lho kok bisa kebingungan mbak" tanya saya

"Jelas bingung dok, disuruh sama seorang dokter untuk mencarikan wanita yang mau diajak tidur, dan kami diminta untuk membayari!"

"Padahal, teman saya kan mana tahu dari mana mencari wanita-wanitaitu" astaghfirullah, naudzubillahi mindzalik

Perdebatan seru terus berlanjut di ruang lobi hotel, namun sejalan dengan semakin larutnya malam, pembicaraan akhirnya mengerucut pada satu kesimpulan :

Untuk merubah budaya yang ada dalam perilaku dokter-dokter di Indonesia saat ini perlu contoh konkret kecil, dan akhirnya sepakat bahwa orang-orang dalam satu halaqoh ini, memulai dari diri sendiri, untuk tidak mengendarai "Sanbe Air", "Pfizer Air" atau "Farmasi Air" yang lain.

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments