my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Wednesday, March 28, 2007

The Ten Key Performance Indicator for a Good Doctor Moslem (diadaptasi dari Hasan Al Bana)


  1. Akidahnya harus lurus (tidak tercampur mistik, syirik apalagi menjadi dokter dukun)
  2. Ibadahnya harus shahih (setiap peribadatan mempunyai rujukan)
  3. Akhlaknya terpuji
  4. Mengusahakan bisa mandiri secara ekonomi
  5. Luas wawasan pengetahuannya
  6. Menjaga kebugaran dan kekuatan fisiknya
  7. Bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amal perbuatan
  8. Cermat dan rapi dalam bekerja
  9. Menjaga waktu, tidak lagi membiarkan ada waktu yang hilang tanpa target kerja yang jelas
  10. Selalu mengusahakan diri agar bermanfaat bagi orang lain

Lembaga Kesehatan yang Berteman tapi Mesra dengan Pasien

Aravind Eye Center

Di tetangga negara kita yang agak jauh yaitu India, di sana telah berkembang layanan kesehatan yang tidak digerakkan oleh pasar. Melainkan oleh misi yang jauh dari materi. Aravind Eye Center didirikan oleh dokter Venkatasawamy biasa dikenal dokter V, misinya adalah membebaskan sebanyak mungkin kebutaan yang bisa dihindari.

Dengan misi sosialnya, maka sebagian besar pasien yang dilayani (65%) gratis hanya sebagian kecil (35%) membayar dengan kualitas pelayanan yang sama baiknya. Seorang dokter di sana dengan sistem yang sangat efisien mampu melakukan 50 operasi pembedahan mata sehari, bahkan divisi farmasi dan lensanya mampu menghasilkan obat berkualitas dan lensa berkualitas dengan harga jauh lebih murah. Produk-produk mereka telah merambah Eropa dan Amerika.

Mereka memiliki 1500 klinik dengan kondisi sanitasi yang jauh lebih baik dari klinik pada umumnya di India. Yang menarik lagi kampanye pemasarannya sangat khusus pada penjaringan pasien-pasien tidak mampu yang tinggal di kawasan miskin. Masalah kualitas pembedahan terutama dilihat dari efek samping, komplikasi yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan rumah sakit ternama di Inggris.

Beberapa rahasia yang membuat mereka bisa berkarya sedemikian hebat, bukan digerakkan oleh naiknya harga saham ataupun royalti besar, karena bukan organisasi profit tetapi lebih karena hal-hal yang bersifat non materi.

Rahasia komitmen dokter;

Gaji yang diterima dokter adalah rata-rata kebanyakan bahkan sedikit di bawah rata-rata. Namun mereka mendapatkan pengalaman berharga selama bekerja di Aravind, mulai pendidikan yang bekerja sama dengan universitas ternama, kasus-kasus langka yang sering dijumpai, riset kolaboratif yang memuaskan, serta budaya yang sangat tinggi berkomitmen pada usaha mewujudkan penglihatan yang baik. Budaya lain yang dibangun adalah budaya yang didasarkan pada layanan. Semua dokter berbicara dengan lembut kepada pasien dan perawat. Di Aravind tidak ada teriakan.

Jika seorang dokter berperilaku secara tidak baik, berita akan segera menyebar ke segenap penjuru rumah sakit, dan dokter tersebut akan mendapatkan masalah. Rasa saling menghargai adalah nilai inti dari budaya Aravind.

Satu lagi yang ditawarkan Aravind kepada dokter-dokter adalah nama baik, serta status berdasarkan integritas yang kuat mengakar di masyarakat.

Rahasia komitmen perawat dan staf lain;

Asisten ophthalmik yang direkrut dari gadis-gadis keluarga besar, keluarga petani dan berperilaku baik, dalam empat bulan pertama dilatih ilmu-ilmu dasar dan detail tentang anantomi dan psikologi manusia. Akhir empat bulan pertama, para pelatih memilih asisten ophthalmik untuk tugas-tugas yang berbeda, seperti departemen rawat jalan, ruang operasi, konseling dan sebagainya. Delapan bulan berikutnya menerima pelatihan khusus untuk departemen di mana mereka ditempatkan. Enam bulan berikutnya dihabiskan dalam aktivitas magang dengan perawat pelatih yang bekerja di departemen yang sama. Terdapat pelatihan satu banding satu pada setiap tahap. Selama enam bulan terakhir mereka bekerja mandiri dengan sejumlah bimbingan dari perawat dan dokter

senior. Mereka juga diajari sejumlah terminologi medis dasar dalam bahasa Inggris dan dilatih bahasa Inggris percakapan dasar. Selama tiga tahun masa bakti mereka sebagai karyawan permanen, para asisten ophthalmolog juga diberikan pelatihan memasak, merawat rumah, menjahit dan sebagainya, untuk mempersiapkan mereka agar menjadi istri yang baik di masa mendatang.

Para perawat didorong untuk bersikap baik kepada pasien pada setiap saat dan mendekati mereka dengan rasa terima kasih karena memberi mereka kesempatan untuk melayani. Para perawat tersebut diminta menyimpan sebagian gaji mereka di rekening bank atas nama mereka, sehingga memiliki tabungan yang cukup untuk pernikahan.

Dr. Natchiar, kepala pelatihan paramedis Aravind menuturkan, “Lebih dari gaji, manfaat itu adalah pengakuan yang mereka dapatkan dalam masyarakat. Mereka mendapatkan

penghormatan besar. Kemudian mereka juga mendapatkan pelatihan dan pengalaman yang sangat bagus di sini. Peluang pergi ke luar negeri, bahkan untuk periode singkat, juga dipandang sebagai faktor positif.”

Seorang perawat senior memaparkan, “Saya bekerja lebih banyak ketimbang para perawat di rumah sakit pemerintah; saya dibayar lebih kecil atau sama dengan mereka, namun saya mendapatkan penghormatan jauh lebih besar dalam masyarakat. Ketika saya naik bus, seseorang mengenali bahwa saya bekerja di AEH (Aravind Eye Hospital) dan menawari saya tempat duduk dan bersikap ramah kepada saya. Saya sangat bahagia dengan hal itu.

Dr. Usha menuturkan, “Para asisten ophthalmik merupakan inti keberhasilan kami. Mereka menambahkan begitu banyak kepada Aravind Eye System.” Dr V (sebutan untuk dokter

Venkataswamy, sang pendiri Aravind) mengatakan, “Para perawat senior menghargai efisiensi atmosfer kedamaian dan ketenteraman dan memberikan contoh kepada para staf yunior.”

Jaipur Foot

Masih dari negeri India, Jaipur Foot, organisasi nirlaba yang bekerja secara profesional. Walaupun sebagian besar pelanggannya adalah orang miskin dan gratis tetapi sama sekali tidak mengurangi profesionalitasnya.

Mereka mengembangkan kaki palsu dengan kualitas yang dibutuhkan oleh orang-orang miskin pedesaan yang bisa digunakan untuk ke sawah, bersila dengan harga 1/300 jauh lebih murah ketimbang kaki palsu buatan Amerika.

Usaha mereka tidak saja memproduksi kaki palsu, tetapi juga menyediakan layanan dua hari menginap secara gratis untuk orang-orang miskin, mulai dari mengukur dan memilih bahan yang sesuai dengan jenis, struktur dan tekstur kaki hingga kaki palsu tersebut siap dipakai untuk dibawa pulang dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka terus-menerus mengembangkan proposisi penawaran yang jauh lebih baik. Mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, seperti yang menonjol berat kaki palsu yang 850 gram, terlalu berat untuk kaki palsu, terlebih bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing dekatnya.

Ke depan mereka juga terus menerus mencari jalan peningkatan efisiensi biaya dan

menurunkan waktu produksi.

Salah satu usaha yang profesional adalah bekerja sama dengan badan antariksa India, dengan harapan dapat merancang kaki palsu yang lebih ringan [350 gram], mendapatkan waktu pembuatan yang lebih pendek, dan biaya pembuatan yang lebih murah serta umur kaki palsu yang lebih lama. Sehingga pengorbanan yang diberikan pelanggan [yang kebanyakan orang miskin] semakin sedikit,

tetapi nilai yang ditawarkan kepadanya semakin meningkat.

Demikianlah beberapa contoh nyata, ternyata tanpa harus digerakkan oleh pasar sebuah bisnis layanan kesehatan dapat menunjukkan kinerjanya yang profesional, menghasilkan inovasi dan yang lebih penting membuat hubungan dokter dan pasien semakin mesra.

Mungkinkah di Indonesia bisa ada lembaga semacam mereka?

Friday, March 23, 2007

Dokter bergelar MM [Makelar Mobil]

Saya pernah menjalani tugas dinas sebagai dokter PTT di sebuah Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah. Bagi saya, suasana yang menyenangkan adalah ketika ada tugas dinas ke DKK [Dinas Kesehatan Kabupaten]. Kenapa suasana yang menyenangkan? Karena di situ, saya bisa bertemu dengan banyak orang di luar Puskesmas.

Berbagi pengalaman dalam memberikan pelayanan ketika di Puskesmasnya masing-masing. Kadang-kadang dapat kenalan baru, entah itu dokter PTT baru, dokter gigi PTT baru atau bidan PTT baru. Juga tidak ketinggalan teman-teman sejawat mana yang masa tugas PTT-nya berakhir.

Memang kata teman-teman, ada tiga fase yang dilalui oleh dokter atau bidan PTT [Pegawai Tiga Tahun; kepanjangan pelesetan, yang sebenarnya Pegawai Tidak Tetap; karena sesuai kenyataan, masa kontraknya tiga tahun]. Tiga fase tersebut adalah: tahun pertama masa orientasi, tahun kedua merasa “in dan tahun ketiga masa memikirkan nasib.

Jadi tugas dinas ke DKK memang membuat wawasan jadi luas, mengurangi kejenuhan dari rutinitas sehari-hari memeriksa pasien di Poliklinik, yang tidak ada henti-hentinya. Selalu saja ada orang sakit. Tugas dinas ke DKK benar-benar memperluas wawasan. Jadi tidak semata-mata ada tugas baru yang harus dikerjakan. Selalu ada ilmu baru, yang kebanyakan di luar dari apa yang diperoleh semasa saya waktu kuliah. Ini baru ilmu yang formal.

Tetapi banyak juga ilmu informal yang berseliweran dalam forum itu. Mulai dari kebiasaan senior korek-korek lubang telinga dengan kunci, kebiasaan dokter-dokter tertentu yang suka ngupil [mengeluarkan upil dari lubang hidung dengan jari telunjuk; karena itulah gorila berlubang hidung besar karena jari-jarinya juga besar] hingga isu-isu hangat seperti sinyal-sinyal selingkuh, sinyal-sinyal pisah ranjang, sinyal-sinyal perubahan penampilan seperti tambah “kempling”, tambah langsing, dan tambah putih. Atau penampilan baru lain seperti rambut di”ribonding”, dan bila ditanya “di-ribonding ya?” jawabnya “ndak koq cuman pakek sampo” ato yang heboh PASIEN DISUNTIK MALAH LARI...

Pokoknya persis sama seperti acara cek dan ricek, acara kabar-kabari dan semacamnya.

Dari infotaintment yang ada, saya tergelitik dengan cerita seorang teman yang menyebut seorang dokter yang lumayan senior :

Pencerita : “itu lho dr bla-bla-bla MM kemarin dia itu………dst”

Penanya : “sebentar-sebentar, Em Em, Magister Manajemen?! Kuliahnya dimana? Kapan kuliah? Kapan lulusnya? Terus beliau ambil konsentrasi apa? Pemasaran? Manajemen Strategi? Atau? ”

Pencerita : “ha.. ha.. ha..”

Penanya : “saya serius nich!! Kenapa sih koq diketawain?”

Pencerita : “kamu tahu nggak, Em Em itu = Makelar Mobil”

Penanya : “Ooo…Baddala…!?”

Kesimpulan : Dokter adalah profesinya; sambilannya adalah MM [makelar mobil] dan hasil terakhir lebih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang lebih besar seperti renovasi rumah, membeli “mobil baru” lagi sekalian barang dagangan.

Pelajaran yang bisa diambil : Kalau menjumpai dokter dalam waktu yang relatif singkat mudah berganti-ganti mobil berarti ???…… dapat anda simpulkan sendiri

Saya tidak berani menyimpulkan

Komentar

Profesi ganda asal seseorang bisa menempatkan pada tempat yang tepat, tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika melayani pasien, tiba-tiba teman “seprofesi MM” nongol masuk ruang periksa,

dengan suara keras berkata : “He..!! Blablabla..maksud kamu gimana sih? Seminggu lalu kau bilang mesin OK, semua OK, barusan aku kena damprat si Ujang yang barusan beli, katanya mobilnya ngadat!!!”

“Sialan lu!” umpat si dokter pada teman “seprofesi MM”-nya

“Kau tak lihat, aku sedang apa sekarang!” bentak si dokter lagi

Tak kalah sengit, teman “MM” itu membalas

“Itu urusanmu, aku datang kemari minta ganti rugi!”

………………

dan seterusnya

Padahal pada saat yang sama pasien berada diantara mereka. Pada saat yang sama pasien dalam kondisi yang payah dan harus segera mendapatkan obat yang diminum untuk mengurangi rasa sakitnya.

Saran : berhati-hati dan bisa mendisiplinkan teman “seprofesi MM” agar mempunyai kebiasaan untuk bisa menahan keinginannya dan mendukung penampilan prima kinerja profesinya yang lain sebagai dokter.

Boleh ndak Sih dokter nyambi MM?

Monday, March 19, 2007

Pasien sekali pakai (the disposable patient)

Sakit lever yang mendera mbah Kromo makin menyekik saja… muntah darah yang tiada henti membuatnya mau tidak mau harus dilarikan ke rumah sakit. Permasalahannya adalah masalah memilih di rumah sakit manakah yang tepat agar mbah Kromo segera mendapatkan pertolongan.

Memang kondisi penyakit mbah Kromo harus secepatnya mendapatkan pertolongan, tetapi memilih rumah sakit mana itu juga jauh lebih penting…. Apalagi ini menyangkut nyawa…jangan sampai salah memilih rumah sakit…

Semua anak mbah Kromo berkumpul dalam suasana tegang dan genting… Kebanyakan mereka adalah petani desa dan mewarisi tanah sawah dari mbah Kromo… jadi jumlah tanah yang mereka kerjakan semakin menyempit ketimbang mbah Kromo ketika muda.

“Di Rumah Sakit pemerintah saja!”

“Jangan!!! Di sana ada co-ass dan residen…aku tidak mau bapak untuk ajang percobaan…apalagi susternya galak-galak”

“Di rumah sakit Mukti Bea saja…pelayananya bagus dan cepat”

“Iya pelayanannya bagus…. Biayanya???”

“Masalah biaya…kita pikir nanti… yang penting bapak segera mendapatkan pertolongan”

“ Ya sudah… kita bawa ke rumah sakit Mukti Bea… Arjo kamu nyari mobil untuk membawa bapak ke sana”

“Iya mas… aku tak pinjam Pak Sumantri… beliau orangnya sangat longgar apalagi kalau dimintai bantuan dalam suasana genting seperti ini” Rapat Darurat keluarga akhirnya memutuskan mbah Kromo di bawa ke Rumah Sakit Mukti Bea..

Segera mbah Kromo dibawa ke Rumah Sakit Mukti Bea… untuk mendapatkan pertolongan. Dan benar…pelayanannya benar-benar OK. Mbah Kromo segera terpasang infus, mendapatkan obat, diinjeksi dan mendapatkan transfusi darah… semuanya berlangsung cepat… dan mbah Kromo segera segar kembali… dan yang istimewa lagi tagihan yang harus terbayar bisa ditanyakan setiap saat…

Pada hari kedua… Arjo anak bungsu mbah Kromo yang masih lajang… iseng-iseng menanyakan tagihan yang harus mereka bayar… petugas bagian billing dengan ramah menyapa Arjo…

“Ada yang bisa saya bantu mas?”

“Ini mbak… saya mau menanyakan berapa tagihan untuk pasien bapak Siswo Dikromo”

“Tunggu sebentar ya biar saya lihat dulu di komputer”

……………………………………

“Pasien bapak Siswo Dikromo…. Biaya sampai tadi malam…satu juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah…mas”

“Itu hari kemarin saja kan mbak?”

“Iya mas”

“Terima kasih mbak” dengan berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya Arjo…segera beranjak menuju kamar tempat dirawat ayahnya… dan segera mengajak semua saudaranya untuk rapat darurat.

………………………………………..

Singkat cerita akhirnya mbah Kromo dibawa pulang paksa… dan pindah rawat ke rumah sakit pemerintah.. yang kondisinya jauh berbeda dengan rumah sakit Mukti Bea…dan yang lebih membuat mbah Kromo heran, ternyata dokternya sama dengan yang merawatnya di Rumah Sakit Mukti Bea… dan tidak mengenali sama sekali beliau… dan kelihatan angkuh.. dan suka pamer…apalagi di depan Co-Ass dan Residen..

Kok baru dibawa disini tho mbah… sakit sudah berat kayak begini???” tanya dokter Hendro… yang sebelumnya “pamer” kelebihannya dibanding dokter penyakit dalam lainnya di depan Co-Ass dan Residen yang membuntutinya selama visite siang itu…

“Saya ini baru dirawat satu hari di rumah sakit swasta….habisnya sudah satu juta tujuh ratusan ribu dok…tapi belum ada kacéke

“Sebelumnya dirawat dimana tho? Pasti tidak kontrol di tempat saya..” lanjut dokter Hendro

“Dokter ini gimana tho...lha yang ngerawat sebelumnya ya… panjenengan sendiri!!!” ucap mbah Kromo agak dongkol…

“Masak kok lupa dengan pasiennya sendiri tho dok?”

“?!#$” dokter Hendro berdiri kaku…dan pura-pura memeriksa dan menulis resep… seperti halnya bila Anda menelefon seseorang, tetapi tidak ada yang menjawab… maka operator elektroniknya akan bilang

“Tidak ada respons” itulah yang dilakukan dokter Hendro…. Sementara Co-Ass dan Residen di belakangnya… saling memberi kode aneh.. senyum dalam ketegangan wajah…serba tidak enak….

PELAJARANNYA ADALAH

Banyak pasien yang masuk ke Rumah Sakit Pemerintah karena sudah di rawat di rumah sakit swasta beberapa waktu lamanya, kemudian kehabisan dana, baru pindah rawat di rumah sakit pemerintah, dengan harapan dapat meringankan biaya.

Atau mereka mengurus kartu sehat untuk mendapatkan perawatan gratis. Atau nekat ngemplang, tidak membayar tagihan karena pasien sudah mengalami handicap atau sudah meninggal.

Pasien-pasien seperti itu dan keluarga mereka, sudah mengorbankan banyak dari tabungan pribadi, sudah menjual barang-barang berharga bahkan hingga menjual rumah yang ditempati untuk menutup standar biaya yang harus ditanggung di rumah sakit swasta. Dan pengorbanan yang habis-habisan ini…ternyata tetap masih kurang!!!

Pasien-pasien seperti ini, dilihat dari sudut pandang ekonomis sebagai sumber pendapatan rumah sakit dapat dikategorikan sebagai pasien disposable. Sudah habis “manis”nya tinggal “pelepah yang sepah” dan “dibuang” atau dalam bahasa medis “sekali pakai”.

Sehingga di negera kita tidak usahlah meributkan bagaimana status hukum euthanasia, banyak kasus euthanasia terjadi karena telah berstatus the disposable patient tinggal menunggu detik-detik kematian yang tidak tentu kapan akan terjadi.

Penyebab menjadi the disposable patient yang lain adalah sebelumnya telah menjadi the disposable citizen. Pada kasus ini, masih ingat kasus Supriyono seorang gelandangan, pemulung yang malang, anaknya yang bungsu menderita sakit diare hingga meninggal dan harus pontang-panting membawa jenazah anaknya selama tiga hari hanya sekedar untuk mencari biaya untuk mengurus pemakamannya.

Karena gelandangan, tidak mempunyai identitas formal, seperti KTP atau KK, sehingga mana bisa mengurus kartu sehat.

Karena itu perlu dipikirkan sistem pembiayaan kesehatan… untuk mengurangi jumlah “the disposable patient”… dan saat ini pemerintah telah menelurkan program asuransi kesehatan untuk keluarga miskin… program ini sangat besar pengaruhnya dalam membantu mengurangi jumlah pasien sekali pakai….

Tetapi sistem ini masih perlu pembuktian keberhasilannya… mengingat masih banyaknya rumah sakit yang masih tombok untuk menutup biaya sebelum diganti oleh PT Askes… jumlahnya bisa puluhan miliar per satu rumah sakit daerah.. mudah-mudahan rumah sakit daerah masih kenyal daya tahan keuangannya….

Belum lagi masalah pendataan dan sosialisasi program.. yang belum sepenuhnya diketahui oleh target sasaran program… atau target sasaran enggan memakai jasa rumah sakit daerah karena buruknya mutu pelayanan yang ada….

Satu potensi besar yang belum digali dengan maksimal… adalah dana dari Corporate Social Responsibility… cuman kalo mengandalkan yang terakhir ini… harus siap Rumah Sakit penuh pesan-pesan iklan sponsor….. Atau dana yang dihimpun melalui Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh… bisa pula diarahkan untuk ini…

Thursday, March 15, 2007

Keteladanan Adalah Obat Paling Mujarab

Dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya
dokter adalah orang yang paling tahu mengenai kondisi fisik dan bagaimana menjaga agar kondisi fisik itu tetap berada dalam keadaan prima.

Di luar perkecualian karena takdir, maka adalah lucu dokternya adalah orang yang sakit-sakitan. Juga tidak pantas dokter yang dianggap sebagai panutan kesehatan mempunyai perilaku yang tidak sehat, seperti perokok berat, pecandu obat dan peminum berat. Tidak pantas kalau dokter adalah orang yang malas-malasan berolah raga.

Allah berfirman dalam surah Shaff ayat 2-3;

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan sesuatu yang tidak pernah kalian kerjakan; Maka Allah sangat murka terhadap apa yang kalian katakan sedangkan kalian sendiri tidak pernah mengerjakan”.

Ada kisah nyata berkaitan dengan ayat di atas, seorang anak umur 9 tahun dibawa ibunya ke seorang kiyai yang hafidz Qur’an [hafal Al-qur’an 30 Juz] karena kebiasaan makan gula pasir sehari hingga 4 – 5 kg. Ketika dihadapan pak Kiyai tadi, pak Kiyai hanya berkata

“Coba seminggu lagi datang ke sini, mau saya kasih nasihat”.

Selama satu minggu itu, yang dilakukan oleh pak Kiyai adalah mencoba untuk tidak menyenangi makanan yang manis [bergula]. Pak Kiyai meminta bu Nyai untuk tidak membuatkan teh manis.

“Bu.. kalo membuatkan teh jangan pakai gula ya bu, ato malah dibuatin air putih saja”

“Termasuk minta tolong jangan disediakan jajanan yang manis-manis ya bu”

Karena penasaran bu Nyai menanyakan perilaku yang diluar kebiasaan pak Kiyai tersebut.

“Kenapa tho pak… kok nyirik gula… apa habis periksa lab hasil gulanya tinggi?”

Panjenengan terkena diabetes tho Pak?”

Pak Kiyai menjawab dengan dua ayat Shaff tersebut, dan menerangkan satu minggu lagi akan menasihati anak agar tidak suka memakan gula.

“Gini lho bu… satu minggu lagi aku akan menasehati anak jangan suka makan gula… masak aku yang menasehati juga suka makan gula”

“Allah kan berfirman dalam surah Shaff ayat 2-3;

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan sesuatu yang tidak pernah kalian kerjakan; Maka Allah sangat murka terhadap apa yang kalian katakan sedangkan kalian sendiri tidak pernah mengerjakan

“Jadi Allah sangat murka kalo aku menasehati orang jangan melakukan ini tetapi aku setiap hari melakukan ini…”

“Oo begitu pak”

Setelah satu minggu berlangsung, ibu dan anak yang makan gula sehari 4 –5 kg tadi datang. Yang membuat ibu tadi terkejut adalah bahwa pak Kiyai tidak mengasih apa-apa, seperti minuman air putih atau doa-doa. Pak Kiyai hanya bilang

Le [panggilan anak laki-laki dalam bahasa Jawa],..kamu jangan suka makan gula ya!” kemudian ibu dan anak tersebut disuruh pulang. Setelah sampai rumah, apa yang terjadi? Secara mengherankan anak tadi ketika ibunya mengingatkan

Le, gulanya udah ibu siapkan” sang anak menjawab

”Aku tidak suka gula bu!”

(Coba kalo anak ini dibawa ke dokter ahli jiwa pasti didiagnosis menderita gangguan obsesif kompulsif dan menjalani pengobatan antidepresan hingga antipsikotik sampai berbulan-bulan)

Kisah nyata ini dituturkan oleh sahabat saya yang saya hormati ustadz Ahmad Yani yang beliau ini seorang hafidz Qur’an….dan selalu menjaga hafalannya tersebut dengan selalu mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu minggu. Untuk mengejar target itu, sholat rowatib beliau selalu mengusahakan bisa membaca surat setelah alfatihah sampai 2 juz panjangnya. Dan beliau ini selalu menjaga akhlaqnya…walaupun hanya ngerasani orang ato dongkol… ternyata mempengaruhi hafalannya… luar biasa….

Untuk tambahan cerita mengenai pak Kiyai di atas… saat beliau wafat…. Luar biasa… 8 ribuan orang jamaahnya dari berbagai kota di Jawa, yang mengantarkan jenazah pak Kiyai ini ke pemakamannya.

Pelajaran bagi dokter adalah,

kalau dokter menginginkan pasien-pasien mengikuti nasehatnya agar berperilaku sehat, maka dokternya dulu harus berperilaku sehat

Monday, March 12, 2007

Bu…kalau “panas”, mbok berteduh disana saja..!!

Di pagi yang sejuk, jam 8.00 pagi Puskesmas telah buka. Petugas atau staf telah memenuhi kuorum yaitu separoh lebih satu dari staf sudah datang. Biasanya dokternya datang belakangan. Sehingga tidak hanya pasien, staf puskesmas harus rela dengan perasaan suka maupun tidak suka, meski sebenarnya banyak yang tidak suka.

Pasien-pasien itu berdatangan. Mula-mula satu dua orang, lalu bergerombol dan jadilah suasana Puskesmas menjadi riuh bagaikan pasar. Namun “pasar” disini bukan pasar pada umumnya. Suasana pasar memang ramai, tetapi suasana hati, tidak diselimuti dengan perasaan khawatir, suasana serba gembira terutama bagi penjual yang dagangannya laris. Walaupun ada perkecualian bagi penjual yang pembelinya datang senin-kamis alias jarang atau sepi dan tidak laku.

Namun “pasar” di Puskesmas ini suasana bertolak belakang seratus delapan puluh derajat perbedaannya, semua diliputi suasana gundah, khawatir, dilanda perasaan tidak nyaman, kenikmatan tercerabut baik sementara maupun ada yang permanen, dan mungkin sebagian besar dilingkupi perasaan harap-harap cemas menunggu “vonis” dari dokter atau perawat, yang mempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya. Karenanya pasien dalam bahasa Inggris Patient artinya sabar.

Pepatah mengatakan “lain ladang lain belalang” artinya setiap orang, setiap tempat mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda-beda. Tampaknya pepatah ini bersifat universal dan berlaku pula untuk keadaan dalam “pasar” di Puskesmas. Orang-orang yang berada di sana, datang dengan masalah yang berbeda-beda. Ada yang sakitnya pusing, ada yang sakitnya “kesel-kesel” [bahasa jawa artinya capek atau pegel linu] dan masuk angin. Konon karena kebanyakan orang yang datang sakitnya PUSing, KESel dan MASuk angin inilah singkatan puskesmas diambil. Walaupun kenyataannya sakitnya beragam, ada yang sakit gigi, ada yang sakit bisulan [abses], congekan [otitis media akut supuratif maupun serosa], ada yang sakit biduran, ada yang sakit psikosis atau schizophren alias tidak normal daya nilai terhadap realitas yang dihadapi, ada yang sakit panuan, ada yang sakit tenggorokan dan ada pula yang sakitnya tidak bisa tidur semalaman.

Daya tahan dan daya banting orang terhadap sakit yang diderita dan suasana menunggu pun beragam antara satu pasien dengan pasien yang lain. ada yang sangat sabar, hingga bersedia didahului dua atau tiga orang sakit sesudahnya, ada yang sabarnya dalam batas normal; yaitu karena terpaksa harus antri dan terpaksa harus sabar menanti, namun demikian ada juga yang tidak sabaran mintanya didahulukan. Kata orang, namanya juga anaknya orang banyak, banyak karakter yang tak terduga.

Salah satu jenis pasien yang tipenya tidak sabaran, yaitu bernama bu Sutarmi [bukan nama sesungguhnya]. Dan memang karena sakitnya membuat ia jadi tak tahan dengan ketidaknyamanan yang sangat, apalagi kalau dilihat pasien-pasien yang datang sebelumnya relatif lebih sehat dibandingkan dirinya. Karena yang ia derita adalah sakit panas atau demam tinggi, maka di sela-sela petugas yang tergopoh-gopoh mencari kartu catatan medis pasien yang datang, bu Sutarmi berteriak dengan agak lantang,

bu badan kulo panas, kulo nyuwun dipun dhisikaken [bu, berhubung badan saya terasa panas, saya ingin antrean saya di dahulukan].”

Petugas atau staf catatan medis pun menimpali dengan kata-kata yang tidak kalah sengit

“bu..kalau panjenengan [anda] panas, berteduh di sana saja bu”

sambil menuding ke arah teras Puskesmas berkata dengan nada suara yang agak tinggi pula.

Karena kata-kata itu terdengar lucu, maka banyak staf yang ikut tertawa, walaupun sebagian sambil ditahan-tahan ketawanya biar tidak menyinggung perasaan pasien. Namun isyarat-isyarat dari wajah itu tidak dapat disembunyikan, bu Sutarmi bisa menangkapnya. Hatinya tambah dongkol dan tidak habis pikir.

“Saya ini kan orang sakit, badan tidak enak begini, demam, kepala pusing pula, malah diketawain dan dikerjain”

pikirnya dalam hati dengan jengkel dan marah. Karena kesabarannya juga ada batasnya maka meluncurlah kata-kata yang deras dan bernada tinggi,

“Bu, Mbak, Mas dan Pak,…Pasien juga manusia, punya rasa punya hati dan punya harga diri!”

“Hargai dong perasaan saya!!”

Seluruh staf yang melihat dan mendengar: ??!!..!?

Friday, March 9, 2007

VIRUS MERAH JAMBU MENGANCAM DOKTER

Dokter Hendro (bukan nama sebenarnya), 34 tahun, yang hobinya karate, renang dan body contest…mempunyai body aduhai… tegap berisi. Ditunjang tinggi badannya 176 cm, semakin melengkapi reputasinya sebagai sosok yang lelaki banget. Siapa yang tidak mampu menahan rasa simpati dan kekaguman atas kelebihan fisik, ketampanan, kelebihan intelektualnya, sifat “care”nya pada pasien.

Kalo ada majalah pria yang mencari siapa sosok lelaki yang lelaki banget… dokter Hendro-lah adalah orang pertama yang jadi nominasi untuk mendapatkan gelar lelaki yang lelaki banget tersebut.

Intelek, seksi, dan banyak keunggulannya.

Selain karakter-karakter kuat ke lelaki-annya, dokter Hendro.. mempunyai keluarga idaman setiap orang.. istrinya yang cantik jelita. Melihat istrinya yang tinggi semampai, kulit seputih batu pualam…mengingatkan orang akan bintang sinetron dan film Tamara Bleszynski.

Dari luar orang memandang benar-benar pasangan yang sangat ideal…. Membuat cemburu setiap orang yang mengenalnya..

Dokter Hendro termasuk orang yang sangat memegang teguh prinsip, apalagi prinsip agama Islam yang dianutnya. Sehingga dia selalu tetap menjaga “jarak” terutama terhadap pasien yang berjenis kelamin berbeda.

Dia sangat menyadari dan mengakui gejolak perasaan terhadap pasien-pasiennya yang cantik….apalagi yang masih muda dan mempunyai postur tubuh yang aduhai… Kata orang berdesir lima detik…..ketika melakukan pemeriksaan fisik yang mendekati daerah-daerah tertentu… magnet yang sangat bertegangan tinggi..

………………………………………..

Datanglah Evi seorang pasien cantik, berambut panjang lurus, hitam berkilau bak iklan shampoo Sunsilk…menebarkan semerbak harum wangi tubuh dan pesona kecantikan luar biasa dari dirinya… pengetahuannya yang luas membuatnya menjadi sosok yang enak diajak ngobrol….sebuah gelombang yang setala dengan gelombang yang dimiliki oleh dokter Hendro… Jadi selalu nyambung dalam bahasa verbal maupun bahasa non verbal… sebuah tanda kesamaan gelombang..

Walopun datang dengan sakit flu, namanya orang cantik…ya tetap orang cantik…plus intelek…enak diajak ngobrol… dan nyambung…membuat dokter Hendro merasa nyaman dengan suasana konsultasi… pasien nyaman dan dokternya nyaman… ada hiburan kaleee…

……………………………………………

Malam jam 22.00 WIB… penyeranta handfone dokter Hendro berbunyi menandakan ada pesan yang masuk….dan dibuka..

mas Hendro…boleh saya curhat mengenai masalah keluarga saya… mas

ternyata pesan dari Evi… pasien yang kemarin konsultasi di meja praktiknya.. wajah cantik itu masih jelas tergambar dalam benak pikiran apalagi perasaannya apalagi masih tersimpan dalam memorinya harum dari tubuh dan rambutnya…

Boleh mbak Evi… ada masalah apa?

Kok pakek mbak sih..kayak saya ini lebih tua.. kan lebih tua mas… pakek dik saja ya mas

Ya dik.. ada masalah apa?"

Gitu dong mas"

dst…hingga

tanpa terasa sudah lebih dari 20 SMS melesat meluncur ke udara keluar dari handfon dokter Hendro menyasar masuk ke handfon Evi..

(Telkomsel dan Indosat mendapatkan lebih 40 transaksi jasa SMS malam itu..)

…..dan terus berlanjut dalam hari-hari sesudahnya.. hingga istri dokter Hendro menangkap adanya sinyal perubahan-perubahan perilaku dokter Hendro…

………………………………………

Selingkuh… ngeri…virus merah jambu…mengganggu keharmonisan keluarga..

Profesi dokter yang sangat terbuka terhadap publik… dalam arti berbagai macam karakter manusia yang sangat acak mempunyai kesempatan yang sama mengakses dirinya…. Sebuah keadaan yang sangat rentan untuk terserang virus merah jambu ini…

Termasuk pula para dokter yang sedang mengikuti pendidikan lanjut…pendidikan spesialis….

dimana interaksi sesama teman sejawat sangat intens siang dan malam…. hampir 24 jam… rawan terjadi cinta lokasi… tidak hanya dominasi artis bintang film atau sinetron.. sangat perlu diantisipasi dan disikapi dengan arif, bijaksana dan sangat berdisiplin tinggi…untuk mencegah terjadinya…

Menurut Anda…..apakah para aktivis Blogger juga rawan terserang virus merah jambu itu..?

Friday, March 2, 2007

TIDAK ADA ISTIMEWANYA MENJADI DOKTER

Kata orang menjalani profesi dokter itu…enak, kaya, harta melimpah, selalu dihormati dimana pun, menjanjikan masa depan yang baik……jodohnya mudah……

Pernah suatu ketika saya mengantarkan istri yang mengantri giliran untuk dilayani, saya duduk-duduk dekat kursi customer service. Ketika duduk tersebut saya didekati seorang pegawai dari sebuah perusahaan asuransi yang menawarkan produk-produk asuransi. Kemudian saya menjawab

“mbak lha wong saya masih kredit rumah kok ditawarin asuransi”…

petugas tersebut tersenyum dan temannya yang duduk di dekatnya yang ternyata bagian pelayanan kredit, setelah berbicara panjang lebar dan mengetahui saya dokter dan tahu bagaimana kondisi keuangan saya, akhirnya dia berkata..

“Saat ini kalau ada kredit macet mesti kebanyakan dokter…! Anggota IDI1! Padahal penampilannya kan tahu sendiri…mentereng…meyakinkan…orang kaya. Tetapi kalau IBI2 itu…bagus dalam melunasi utangnya… sehingga pihak bank kami lebih senang memberikan penawaran pinjaman kepada anggota IBI.”

“Kok bisa ya mbak?”

“Iya… mereka para dokter itu…mengambil kredit banyak sekali… mungkin untuk menopang prestige penampilannya...mengambil kredit untuk rumah mewah…mengambil kredit mobil yang patut untuk style dokter…itu pun masih menambah kartu kredit… jadi seringkali tidak diperhatikan bahwa semua itu adalah beban keuangan yang sudah melebihi ambang psikologis… dan jadilah kredit macet.”

“Dengan beban keuangan seperti itu…bagaimana para dokter memerlakukan pasiennya…terutama yang berkaitan dengan keuangan yang masuk ke kantong dokter?” kata saya dalam hati.…………..

Yang tampak di permukaan saat ini, dokter selalu dipersepsi kaya atau full-fulus. Kalau tidak kaya maka dalam masyarakat kita tampaknya ini adalah hal yang tabu. Pengalaman saya juga membuktikan hal-hal yang demikian. Hingga saat ini saya belum mempunyai mobil, walaupun second. Rumah masih kredit. Hingga tulisan ini dibuat, rumah saya lunas dua belas tahun lagi… saat itu saya sudah berusia 45 tahun. Anda heran?

Jangan khawatir! Kalau Anda heran berarti Anda tidak sendiri. Banyak pasien saya yang berkomentar demikian.

“Dokter, panjenengan bersahaja ya… “

“Kenapa pak?”

“Biasanya dokter itu bermobil…., tetapi panjenengan tidak… kendaraan sepeda motor Honda Prima tahun 90-an.. dan helmnya itu… nyuwun sewu butut..”

Memang saya pakai sepeda motor Honda Prima tahun 90-an, sedangkan istri saya memakai Honda Supra tahun 2003. Saya, hingga tulisan ini disusun adalah menginjak tahun ke-7 praktik pribadi. Demikianlah keadaan saya. Helm yang saya pakai berwarna kuning sudah retak-retak…. Sehingga pantaslah seorang pasien dari percakapan nyata di atas tampaknya kasihan dengan kondisi saya…

Sekarang anak saya dua, yang pertama duduk di kelas dua SD sedangkan yang kecil masih berusia 9 bulan. Tapi mengapa kondisi saya masih sedemikian rupa? Maksudnya tidak menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda saya ini seorang dokter yang sukses, mempunyai mobil, rumahnya megah dsb.……………………..

Saya yakin gambaran sebagian besar dokter saat ini…. sangat mirip-mirip dengan kondisi saya… sebagian besar mereka adalah anak orang biasa….bukan anak seorang Guru Besar Kedokteran Ternama….pengusaha… sehingga bisa memuluskan kariernya di jenjang yang lebih tinggi…. Bapak ibu saya untuk menyekolahkan ketiga putra putrinya menjadi dokter dan dua putranya menjadi insinyur harus menjual rumah yang ditempati….dan saat ini mereka berdua mengontrak rumah…………….

Beberapa waktu yang lalu ketika menghadiri acara pertemuan ilmiah…..sempat ngobrol-ngobrol dengan teman sejawat yang dulu adik kelas.. dia bercerita tentang… biaya-biaya mengambil program spesialis…..

tarifnya adalah sebagai berikut spesialis Obgyn harus mengeluarkan uang minimum 150 jutaan bahkan ada yang berani membayar sampai 500 juta untuk sekedar “uang gedung”. spesialis kulit karena nilai pasarnya sedang naik daun terutama kosmetik… juga mengikuti Obgyn….. Spesialis lainnya rata-rata uang yang dikeluarkan untuk “uang gedung” adalah 50-an juta. SPP per semester…5 – 8 juta…belum lagi biaya “perploncoan” sebagai yunior…membayari club golf, tennis, makan-makan di restoran mewah… semuanya ditanggung oleh yunior. Itu pendidikan dokter tingkat lanjut…

untuk yang dokter umum saja…terutama PTN jalur khusus dan swasta… sama 150-an juta sampai ada yang berani membayar 500 juta…………………

Sementara itu.... banyak kenyataan Lain...

Seorang teman sejawat pernah bercerita pada saya harus berjalan menyusuri hutan dan sepatu dilepas berbecek-becek jalan di atas genangan air dan sungai, untuk mencapai rumah seorang penderita yang tidak mampu berjalan. Keadaan rumah dan sosial ekonomi pasien sangat memrihatinkan….sehingga mana tega menarik jasa dan obat-obatan yang diberikan kepada pasien.

Kakak saya sendiri yang menjadi dokter PTT di Bengkulu mendapatkan daerah yang susah mendapatkan air bersih. Air sumur di rumah dinas,

baru diambil 2 – 3 ember sudah keruh dan tidak bening lagi. Belum lagi,

tidak banyak mendapatkan uang cash, pasien yang berobat mengganti

ongkos obat dengan memberikan seekor ayam jago (lihat Dokter

Peternak Ayam Jago).…………

Profesi Dokter di Indonesia saat ini Ber-Resiko Tinggi mengalami FULUSTRASI…………….

Harus pintar-pintar dalam memasarkan dirinya...
Mak... gelloo...daaaak..


1 IDI = Ikatan Dokter Indonesia

2 IBI = Ikatan Bidan Indonesia

“Jualan” Dokter di Sekolah

Saya harus belajar dari istri saya dalam hal kemampuan dan keuletannya dalam negosiasi. Kompetensi negosiasi yang diperlihatkan oleh istri saya mulai dari negosiasi harga ketika berbelanja di pasar hingga negosiasi untuk urusan-urusan yang lebih rumit. Negosiasi yang menonjol bagi saya adalah negosiasi untuk menjadi dokter di sekolahan.

Istri saya melihat bahwa sekolah dengan jumlah siswa lebih dari 400 siswa membutuhkan dokter.

Walaupun kehadiran dokter tidak harus setiap hari diperlukan, setidaknya dengan adanya dokter dapat ditingkatkan status kesehatan siswa, guru dan karyawannya. Dengan pemikiran dan perhitungan yang matang, akhirnya jadilah proposal sederhana untuk memperkirakan anggaran keuangan yang dibutuhkan oleh sekolah untuk mengadakan dokter sekolah beserta sistem kesehatan yang ditawarkan. Istri saya menghitung-hitung kebutuhan obat dasar, tanpa ada antibiotik, mulai dari obat turun panas, obat mules, obat pilek hingga obat maag. Jadwal kunjungan dokter dirancang seminggu sekali hingga ada yang sebulan dua kali atau sebulan sekali tergantung kemampuan anggaran yang dikeluarkan sekolah untuk sistem pemeliharaan kesehatan yang ditawarkan istri saya.

Setelah proposal selesai dibuat dengan berbagai alternatif biaya yang ditawarkan, maka tugas selanjutnya adalah “berburu” mencari sekolah sasaran. Pada saat inilah baru terlihat kompetensi, kesabaran, ketekunan, daya tahan banting dalam bernegosiasi istri saya. Saking bersemangatnya pernah suatu hari melakukan presentasi di empat sekolahan. Semua ini dilakukan SENDIRI tanpa saya antar.

“Wow luar biasa!”

Pernah ketika memasuki suatu sekolah menengah atas, ada seorang guru yang berkomentar

“Wah… jadi dokter sekarang sulit ya nyari kerja…”

“Iya pak! Harus berjuang, dan disitulah seninya, saya menyukainya” kata istri saya dalam hati, sambil mengurai senyum kepada pak Guru yang berkata tadi.

“Harus ‘menjual’ dokter di sekolah segala, seperti yang saya lakukan sekarang pak!” kata istri saya dalam hati, dengan agak dongkol.

Hal yang dapat dipelajari

Dokter lulusan jaman sekarang harus kreatif. Pintar melihat peluang. Energik dalam mengaktualisasikan apa yang menurutnya adalah suatu peluang. Pintar “mengutak-atik” puzzle yang terpencar-pencar yang berada di sekitarnya sehingga menjadi suatu jawaban yang memberikan banyak kemanfaatan bagi lebih banyak pihak, dan memberikan keuntungan bagi dokter sendiri.

Apa yang dilakukan istri saya adalah meminjam istilah W. Chan Kim dan Renée Mauborgne penulis buku best seller Blue Ocean Strategy1 upaya strategi blue ocean marketing, menghindari strategi red ocean marketing. Red ocean marketing diwarnai dengan perang harga, saling menjatuhkan satu sama lain untuk memperebutkan pasar. Sedangkan blue ocean marketing adalah bagaimana menciptakan peluang baru, pasar baru dan menghindari perang terbuka.

Umumnya dokter begitu lulus, yang mereka pikir pertama adalah mencari peluang kerja di poliklinik-poliklinik atau rumah sakit yang ramai dan menjanjikan. Padahal yang berpikir seperti itu adalah banyak. Seperti pepatah mengatakan “ada gula ada semut”.

Ketika ada sebuah poliklinik yang laris atau rumah sakit yang ramai kunjungan pasiennya, maka akan memberikan “manisnya” kesejahteraan setiap orang yang berada di dalamnya. Karena “manisnya” kesejahteraan itu maka akan mengundang banyak “semut-semut” yang datang. Dokter-dokter, perawat-perawat, fisioterapis, ahli gizi yang dalam jumlah banyak memperebutkan posisi yang terbatas.

Terkadang ada sebagian dari mereka yang menghalalkan segala cara.

“Yang penting masuk dulu, berapapun uang yang dikeluarkan, toh nanti uang akan kembali”

begitulah kira-kira perkataan orang yang ambisinya sangat kuat melebihi kenyataan yang dihadapi. Atau:

“Siapa yang punya otoritas policy maker untuk penerimaan SDM disini?”

“Dimana rumahnya?”

“Cara ngasih uangnya gimana?”

“Masuk rekening atau langsung dalam amplop?”

“kita bisa pinjam uang dulu di bank, untuk bisa masuk!”

adalah pertanyaan-pertanyaan untuk menindaklanjuti ambisi yang menghalalkan segala cara.

Saya dan istri sama-sama berprinsip, cara-cara tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang kami pegang teguh.

Kalau kita berpikiran “selalu ada jalan” maka hati kita akan “kaya”.

Tidak sempit, tidak akan berkata

“Ini satu-satunya jalan”

“Saya harus!”

“Tidak ada cara lain”.

Sebaliknya akan mengatakan

“masih banyak cara”

“Allah maha kaya, banyak pintu Rizqi yang harus kita eksplorasi” dan sebagainya.

Inilah pemikiran dari blue ocean, laut yang tenang, damai, penuh keselamatan, memperkaya dengan nilai-nilai kemanusiaan, laut yang mempertautkan hati-hati dalam persaudaraan.

Menjadi dokter sekolahan bagi kebanyakan dokter adalah kurang “keren”. Lagi pula setiap orang yang mengetahui profesi dokter, selalu menanyakan,

“praktik di rumah sakit mana dokter?” atau

“dinasnya dimana dokter?” atau bahkan

“dokter praktik di berapa rumah sakit?”.

Karena orang selalu bertanya demikian maka banyak dari teman sejawat pasca PTT, “terpaksa” mengajar di berbagai lembaga pendidikan kesehatan, ketika saya tanya seperti kebanyakan orang sering menjawab

“ini koq, ngajar di AKPER atau AKBID… blablabla…” terus dilanjutkan pernyataan :

“yang penting sudah punya status koq, walaupun ngajar di…” atau “yaa…biar dapat status” “soalnya kalau ditanya orang, biar bisa menjawab!”

Lha kalau istri saya ditanya seperti itu, jawabnya gimana?

“’Jualan’ dokter di sekolah”

?!?;^#- Mak Ge..llloo...daaaaak

1 W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School Publishing Corporation, Boston; Edisi terjemahan Indonesia, Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru), Penerjemah Satrio Wahono, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, Januari 2006

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments