my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Saturday, November 17, 2007

Malpraktik atau Malpraktek

Pengertian Malpraktik

Makna harfiah = praktik buruk lawannya praktik baik.

Black’s Law Dictionary[1] :

Any professional misconduct or unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct

Pengelompokan malpraktik :

a. Gatra etikolegal malpraktik ; perilaku tidak etis/tidak bermoral atau perilaku menyimpang atau perilaku melanggar kewajiban hukum atau praktik jahat profesi dokter.

b. Gatra ilmiah (yang sering dikonotasikan “gatra profesi”) malpraktik kedokteran yakni kekurang-terampilan secara tak layak / tak pantas seorang dokter. Dalam hal ini secara teknis medis kemampuan dokter kurang memadai.

Wanprestasi (Ingkar Janji) [2],[3]

Sebetulnya wanprestasi atau ingkar janji dalam hubungan kontraktual antara dokter dan pasien dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Pasien dapat menggugat dokter jika ternyata dokter tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan sebaliknya dokter dapat menggugat pasien jika ternyata pasien tidak melaksanakan kewajibannya. Gugatan harus berdasarkan atas kerugian yang terjadi, baik materiil maupun immateriil sebagai akibat tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban oleh pihak lain.

Khusus gugatan kepada dokter yang melakukan wanprestasi atau lebih dikenal dengan malpraktik, maka gugatan itu dibenarkan jika memenuhi syarat 4 D: Penyatuan istilah Malpraktik dengan Kelalaian Medik

Kelalaian Medik terdapat 4 kriteria “4D” yang secara kumulatif semuanya harus terbukti untuk menjatuhkan sanksi dokter harus membayar ganti rugi kepada pasien/keluarganya dalam forum pengadilan. Ke 4 D tersebut adalah sebagai berikut :

1. Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) = D1, dokter yang digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.

2. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) = D2, adanya wanprestasi atau melalaikan kewajiban (dereliction of duty).

3. Damage (kompensasi kerugian) yang foreseeable (laik bayang sebelumnya) = D3, terjadi kerugian (damage atau compensable injury).

4. Direct cause (sebab langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian (D2 ------- D3) = D4, adanya hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct causation).

Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations)

Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient

Jenis Malpraktik dalam Hukum[4]

Criminal Malpractice

Masuk kategori ini, bila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan tersebut (baik positf maupun negatif) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); yaitu berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence).

1. Contoh kasus intensional

o Melakukan aborsi tanpa indikasi medik

o Melakukan euthanasia

o Membocorkan rahasia kedokteran

o Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan menolongnya (negative act).

o Menerbitkan surat keterangan yang tidak benar.

o Membuat visum et repertum yang tidak benar.

o Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli.

2. Contoh kasus recklessness

o Melakukan tindakan medis yang tidak sesuai prosedur (legeartis).

o Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.

3. Contoh kasus negligence

o Alpa atau kurang hari-hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut pasien.

o Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka (termasuk cacat) atau meninggal dunia.

Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual (bukan korporasi) dan personal (hanya pada yang melakukan). Oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit.

Civil Malpractice

Jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.

Cotohnya, seorang dokter ahli kandungan sepakat menolong sendiri persalinan seorang wanita sesuai keinginan wanita tersebut di suatu rumah sakit swasta. Mengingat pembukaan jalan lahir baru mencapai satu sentimeter, maka dokter meninggalkannya untuk suatu keperluan yang diperkirakan tidak lama. Ketika dokter itu kembali di tempat ternyata pasien telah melahirkan dalam keadaan selamat dengan dibantu oleh dokter lain. Dalam kasus seperti ini dokter dapat digugat atas dasar civil malpractice untuk membayar ganti rugi immaterial, yaitu perasaan cemas selama menunggu kedatangan dokter yang sangat dipercayainya.

Dikategorikan sebagai civil malpractice karena :

1. Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

2. Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat.

3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukannya.

Pada civil malpractice, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability (respondeat superior, borrowed servant). Dengan ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya (sub ordinatnya), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

Administrative Malpractice

Dikatakan Administrative Malpractice bila dokter melanggar hukum tata usaha negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police power (the power of state to protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan, seperti tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan serta kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapaat dipersalahkan.

Contoh yang dapat dikategorikan sebagai adminsitrative malpractice antara lain :

o Menjalankan praktik kedokteran tanpa lisensi atau izin.

o Menjalankan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi atau izin yang dimiliki.

o Melakukan praktik kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang sudah kedaluwarsa.

o Tidak membuat rekam medik.

Pembuktian Malpraktik[5]

Criminal Malpractice

Pembuktian berdasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur pidananya, sehingga tergantung dari jenis dari criminal malpractice yang dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati (kurang praduga).

Civil Malpractice

Pembuktiannya melalui dua cara :

1. Cara langsung

Yaitu membuktikan ke empat unsurnya (4D) secara langsung ; yang terdiri atas unsur kewajiban (duty), menelantarkan kewajiban (dereliction of duty), rusaknya kesehatan (damage) dan adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan dengan rusaknya kesehatan (direct causation).

Kewajiban dokter timbul jika secara afirmatif menerima suatu tanggung jawab untuk melakukan tindakan medik melalui hubungan kontraktual (a contract basis), baik yang dibuat atas beban atau dengan Cuma-Cuma (gratuitous service). Kedua, jika berdasarkan ketentuan yang ada wajib melakukan tindakan medis (a tort basis). Menelantarkan kewajiban terbukti jika dokter melakukan tindakan medik yang kualitasnya di bawah standar yaitu suatu tindakan yang mutunya tidak menggambarkan telah diterapkannya ilmu, keterampilan, perhatian dan pertimbangan yang layak sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan keahlian yang sama ketika menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk membuktikan ini diperlukan kesaksian ahli dari dokter yang sama keahliannya dengan dokter yang sedang diadili.

Rusaknya kesehatan terbukti jika pasien meninggal dunia, cacat, lumpuh, mengalami luka berat atau luka sedang. Jika pasien meninggal dunia perlu dilakukan otopsi dan bila masih hidup perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter lain yang akan bertindak sebagai saksi ahli.

Sedangkan hubungan langsung terbukti jika ada hubungan kausalitas antara rusaknya kesehatan dengan tindakan dokter yang kualitasnya di bawah standar. Untuk membuktikan ini juga diperlukan kesaksian ahli.

2. Cara tak langsung

Cara ini adalah yang paling mudah yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin Res Ipsa Loquitor ini sebetulnya merupakan varian dari ’doctrine of common knowledge” hanya saja di sini masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.

Perlu diketahui bahwa doktrin Res Ipsa Loquitor hanya dapat diterangkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria berikut :

o Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai.

o Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggung jawab dokter.

o Pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu atau dengan kata lain tidak ada contributory negligence.

Jika misalnya ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang menjalani operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dokter, mengingat :

o Gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tidak ada kelalaian.

o Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter.

o Pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin dapat memberikan andil terhadap tertinggalnya alat-alat tersebut.


[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005

[2] Budi Sampurna, Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007, Sistem Peradilan dan Pembuktian Malpraktik

[3] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37

[4] Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

[5] Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

5 comments:

Anonymous said...

Saya hanya ingin menambahkan konsep malpraktek dalam Islam. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibn Majah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mereka yang berpraktik dalam pengobatan, tetapi tidak berpengetahuan luas dalam profesi ini, maka mereka bertanggung jawab untuk tindakan mereka.” (Juga Al-Hakim meriwayatkan hadits ini). Selanjutnya Imam Ibn Al-Qaiyim Al Jauziah (penterjemah H.M.A. Saaridinata): Pengobatan Menurut Petunjuk Nabi. Gemagung Ikhitiati, 2002 hal 189-192 menulis bahwa menurut Hadits pula, sumber hukum Islam kedua sesudah Al Quran, dokter terbagi atas lima yaitu: (1) Dokter yang ahli yang memberikan hak yang seharusnya kepada profesinya dan yang bertindak dengan rasa tanggung jawab. Ketika orang yang seperti itu mengobati orang sakit, tindakan yang diizinkan baik oleh agama dan si sakit, dan kemudian membuat kesalahan, maka dia tidak bertanggung jawab untuk kesalahan ini; (2) Dalam hal dokter yang tidak ahli, bila si sakit mempunyai pengetahuan sebelumnya bahwa dokter ini tidak ahli, namun mengizinkannya untuk mengobati dirinya, maka tidak ada ganti rugi yang diperlukan. Jika si sakit tidak mengetahuinya, maka dokter tersebut harus memberi ganti rugi; (3) Bila dokter ahli yang diberi izin untuk mengobati, namun menyebabkan bahaya pada anggota tubuh yang tidak sakit, maka itu adalah tindakan yang tidak disengaja namun dituntut ganti rugi. Bila dilakukan oleh dokter muslim, ganti ruginya dibayar dari Baitul Maal, bila non-muslim masih diperdebatkan antara pihak pembayarnya apakah Baitul Maal Muslim atau dokter itu sendiri; (4) Dokter ahli yang memberikan pengobatan yang mengakibatkan kematian. Inipun masih diperdebatkan antara pihak pembayarnya apakah Baitul Maal Muslim atau dokter itu sendiri; dan (5) Dokter ahli yang mengoperasi seseorang tanpa izin. Inipun masih diperdebatkan antara niat dokter apakah bermaksud baik dan tidak bertanggung jawab untuk kerugian atau sebaliknya.
Kesimpulannya: Walapun kedua cara diatas memperlakukan ganti rugi, terlihat perbedaan pokok antara dasar hukumnya. Istilah kegagalan atau kelalaian dalam malapraktik ditandai oleh Nabi saw., dengan ketidaksengajaan dan niat baik. Standar pengobatan yang menjadi tolok ukur malapraktik ditandai dengan pengakuan negara atas keahlian dokter. Cacat dibagian tubuh yang lain ataupun kematian yang merupakan dasar tuntutan ganti rugi oleh hukum dan etik diakui sebagai sesuatu yang layak. Namun, bila menurut hukum dan etik penanggung jawabnya adalah dokter, maka dalam hal dokter ahli sebagian ulama sepakat mengatakan bahwa Nabi saw., membebankannya kepada negara yang memberikan wewenang keahlian.
Dalam hal kejahatan seperti melakukan pengobatan tanpa izin pasien dan penipuan yang dicampur adukkan dalam hukum dan etik, Nabi saw., memberikan aturan yang jelas. Menurut Nabi saw., kejahatan ada bila: (1) Tidak mendapat izin dari pasien kecuali dengan niat baik dan dilakukan oleh dokter yang ahli; dan (2) Dokter yang tidak ahli melakukan pengobatan dan hal itu tidak diketahui oleh pasien.
Sebaliknya berbeda dengan hukum dan etik, Nabi saw., menegaskan tidak ada kejahatan, bila dokter yang tidak ahli melakukan pengobatan dan hal itu diketahui oleh pasien.
Dengan cara Nabi saw., hal yang sulit, mahal dan melelahkan dalam pembuktian malapraktik, seperti hubungan sebab akibat antara musibah dan kegagalan ataupun kelalaian dokter dapat terselesaikan tanpa merugikan pasien.
Maka menurut saya di negara ini perlu ditarik garis antara transaksi terapeutik dan amanah.

Anonymous said...

Artikel- artikelnya oke buanget tur menarik , matur nuwun pak dokter, lebih oke kalau dapat contoh kasus-kasus tentang malpraktek yang ada hubungannya dengan penggunaan inform consent , biar masyarakat tahu pentingnya hal tersebut. Salam

Pengalaman di Adsense said...

Saya menginginkan agar pada setiap rumah sakit, tertulis apa yang sepatutnya kita lakukan bila telah terjadi malpraktek. Ditulis kemana kita berobat selanjutnya, ditulis kemana kita mau mbngadu bila mau mengadu ke pengadilan, ditulis apa persyaratan mengadu, semua tertulis secara jelar. Agar para dokter lebih berhati hati dan lebih bertanggung jawab, dan agar pashien lebih terjamin dan akan lebih percaya diri.

RumahSakit said...

trims, artikelnya...

Anonymous said...

Terima kasih pak Dokter, artikel anda sangat bermanfaat buat saya. Saat ini saya sedang menjalani proses hukum atas dugaan malpraktek yang kasusnya masih ditangani oleh pihak kepolisian.

Anak saya meninggal pada usia 3 hari karena gagal nafas akibat meconium aspiration syndrom (sebagaimana data pada rekam medik dokter anak).
Indikasi malprakteknya adalah dokter kandungan yang menangani anak saya (juga adalah dokter yang menangani selama masa kehamilan) tidak menangani proses kelahiran anak saya sesuai standard/ketentuan yang berlaku.

Kronologis singkat yang dapat saya informasikan adalah bahwa dokter tersebut tidak datang/hadir pada waktunya untuk mengetahui/memeriksa kondisi anak dan ibunya secara seksama pada saat proses kelahiran sehingga saat terjadi fetal distress (indikasinya air ketuban berwarna keruh/hijau, tercatat pada rekam medik) tidak ada penanganan yang memadai. Padahal yang bersangkutan telah mengetahui dan telah diinformasikan bahwa istri saya telah mengalami tanda-tanda persalinan dan telah datang ke rumah sakit tempat dokter tersebut berpraktek sejak 1 hari sebelumnya.

Yang menjadi kendala sebagai pembuktian apakah indikasi malprakek ini terbukti benar atau tidak adalah saksi ahli.

Pak dokter, apakah saya dapat meminta ke IDI untuk mendapatkan informasi mengenai saksi ahli?

Sekali lagi saya sangat berterima kasih atas artikel anda ini yang membuka wawasan saya dan jika ada pandangan lain mengenai hal yang terjadi pada anak saya tersebut (apakah ada indikasi malpraktek atau tidak) saya akan sangat berterima kasih jika pak dokter bersedia memberikan arahannya dan saya akan sangat terbuka jika memang ada pandangan lain.

Terima kasih,

hotmasimatupang@yahoo.co.id

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments