my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Wednesday, December 16, 2009

Dokter hanya sebagai “penunjuk jalan” saja

Bila dokter tidak bisa menjadi tauladan perilaku sehat

Perkembangan di masyarakat, sering kita jumpai hal-hal yang memrihatinkan secara kesehatan. Salah satu perilaku masyarakat yang menonjol dan tampaknya “pemberantasannya” seperti meruntuhkan batu kerang yang terjal, walaupun ombak sudah ribuan tahun mengikisnya, tetap saja batu karang terjal itu masih kokoh berdiri, walaupun sudah ada jejak-jejak pengikisannya. Gambaran ini sangat tepat untuk menggambarkan “pemberantasan” perilaku merokok. Dalam konteks Indonesia, “karang terjal” perilaku merokok semakin kokoh dan tegar seiring makin kencangnya aktivis anti merokok melancarkan kampanyenya. Semua event musik, olah raga dan event lain yang mengundang berkumpulnya anak-anak muda sudah habis tanpa sisa telah “diborong” oleh perusahaan rokok. Meskipun banyak orang yang makin sadar akan bahaya merokok, ternyata peringatan bahaya merokok seperti angin lalu yang makin menyejukkan suasana merokok bagi perokok berat. Anehnya, justru diantara perokok berat adalah dokter sendiri. Hanya dokter spesialis paru saja yang saya yakin tidak ada yang perokok apalagi perokok berat. Saya melihat di sini terdapat benang merahnya. Jadi dokter yang mengampanyekan perilaku sehat bebas merokok, malah dia sendiri yang memimpin merokok, bahkan menjadi perokok berat nomor wahid.

Senior saya adalah seorang dokter umum yang perokok berat. Dalam satu kali rapat yang memakan waktu sampai satu setengah jam, beliau bisa menghabiskan hampir satu bungkus. Karena merasa lebih yunior, saya dan teman hanya bisa membiarkan dan menjadi perokok pasif yang tidak kalah berat dengan senior yang perokok berat. Pernah suatu ketika, setelah melalui proses yang membuat kami menjadi lebih dekat, beliau saya lontarkan pertanyaan, “dok, dokter perokok berat itu ga takut dilihat pasien?” dia menjawab, “Lho, saya kan hanya berperan sebagai penunjuk jalan saja. Memberitahu orang agar tidak merokok. Menganjurkan orang agar berperilaku sehat. Yaa ....seperti penunjuk jalan ‘Semarang ke kanan 150 km’. Perkara orang mengikuti petunjuk jalan atau tidak... ya terserah kepada mereka”. Dalam hati saya berkata, “Oo...jadi nasehat dokter yang diberikan kepada pasien-pasiennya selama ini sama dengan ‘penunjuk jalan’ saja”. Apakah ini efektif mempengaruhi perilaku pasien agar mereka berubah dan berkomitmen terhadap perilaku sehat. Toh pasien dan keluarganya adalah manusia dewasa dan memiliki kebebasan memilih dan bertanggungjawab penuh terhadap pilihan-pilihan yang telah mereka tentukan.

Perilaku dokter lain yang bertentangan dengan nasehat yang umumnya diberikan dokter, misalnya perilaku makan yang berlebihan. Seorang teman renang saya yang pengusaha meubel, pernah bercerita, dia mempunyai customer dari Jakarta yang profesinya adalah dokter bedah. Customernya yang dokter bedah ini beberapa kali datang ke solo, entah ada acara pertemuan ilmiah atau ada acara lain. Setiap ke Solo, hampir pasti teman saya yang pengusaha meubel ini dihubungi untuk diajak makan-makan. Makanan favoritnya adalah tengkleng dan sate kambing. Porsinya tidak tanggung-tanggung dua piring. Si pengusaha meubel ini sebenarnya mengkhawatirkan mengenai pola makan sang dokter bedah ini. “Dok, ga takut dengan kolesterol dan penyakit semacamnya?” dokter bedah ini menjawab dengan enteng “don’t worry mas, saya sudah bawa obatnya kok”. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah orang awam itu lebih memperhatikan perilakunya ketimbang apa yang dinasehatkan dokter pada umumnya?

Menjawab dua pertanyaan ini saya teringat kisah yang diceritakan seorang teman yang kebetulan adalah ustadz dan seorang hafidz (hafal) Al-qur’an 30 juz. Guru tempat ustadz teman saya menimba ilmu dan memperbaiki bacaan dan hafalan Al-qur’an, juga seorang hafidz, seorang lembut, dan tawadhuk. Selalu menjaga hati dan perilakunya agar tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, seperti menggunjing kekurangan orang, marah, dan ngresulo (selalu mengeluh). Beliau meyakini, menghidupkan perasaan dan perilaku seperti itu akan mudah merontokkan hafalan Al-qur’an yang selama ini dijaga agar tidak lupa. Guru ustadz teman saya ini, saat dikisahkan berusia sudah lanjut, serta biasa dipanggil kiyai oleh masyarakat luas.

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang bersama ibunya dibawa ke tempat pak Kiyai guru ustadz teman saya ini. Yang menjadi kegelisahan ibu sang anak adalah, bahwa sang anak ini mempunyai kebiasaan aneh, yang mungkin dikenal oleh kalangan dokter dengan istilah obsesive kompulsif, yaitu suka memakan gula pasir. Dalam sehari menurut cerita si ibu, bisa menghabiskan gula pasir sebanyak 4 – 5 kg. Sudah dibawa kemana-mana dan sudah diperiksakan ke dokter termasuk ke dokter spesialis.

Saat di datangi anak 9 tahun yang didampingi si ibu ini, dalam benak pak Kiyai, langsung muncul memori surat Ash-shaf ayat 2 – 3, Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan sesuatu yang tidak pernah kalian kerjakan; Maka Allah sangat murka terhadap apa yang kalian katakan sedangkan kalian sendiri tidak pernah mengerjakan. Kemudian pak Kiyai berkata kepada ibu dan sang anak. “Seminggu lagi datang ke sini, mau saya kasih nasehat”. Ibu dan anak bergegas pamitan menuju daerah asalnya Ponorogo, sedangkan tempat pak Kiyai ini tinggal adalah Kudus.

Selama seminggu ini, yang dilakukan oleh pak Kiyai adalah mencoba untuk tidak menyenangi makanan yang manis [bergula]. Pak Kiyai meminta bu Nyai untuk tidak membuatkan teh manis. Dan meminta agar bu Nyai sesedikit mungkin menyajikan makanan yang manis/mengandung gula kepada beliau. Karena penasaran bu Nyai menanyakan perilaku yang diluar kebiasaan pak Kiyai tersebut. Pak Kiyai menjawab dengan dua ayat Al-qur’an dalam surat Shaff tersebut, dan menerangkan satu minggu lagi akan menasihati anak agar tidak suka memakan gula.

Satu minggu yang telah dijanjikan telah tiba. Ibu dan sang Anak datang jauh-jauh dari Ponorogo menuju Kudus, untuk mendapatkan pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh sang anak. Perjumpaan dengan pak Kiyai ini membuat sang ibu benar-benar terkejut dan tidak percaya bahwa pak Kiyai tidak mengasih apa-apa, seperti minuman air putih atau doa-doa. Pak Kiyai hanya bilang “Le [panggilan anak laki-laki dalam bahasa Jawa],..kamu jangan suka makan gula ya!” kemudian ibu dan anak tersebut disuruh pulang. Dengan perasaan yang sebenarnya tidak puas, hanya mendapatkan nasehat, akhirnya ibu dan sang anak pulang. Setelah sampai rumah, apa yang terjadi? Secara mengherankan anak tadi ketika ibunya mengingatkan “Le, gulanya udah ibu siapkan” sang anak menjawab ”Aku tidak suka gula lagi bu!” Si anak benar-benar sembuh tidak memakan gula dalam jumlah banyak lagi seperti sebelumnya.

Kembali ke pertanyaan semula, efektifkah dokter yang memberikan nasehat yang berperan hanya sebatas sebagai “penunjuk jalan”? Saya termasuk orang yang meyakini seperti apa yang diyakini pak Kiyai, kita dulu harus merubah perilaku kita, sebelum kita menasehati pasien.

Thursday, October 15, 2009

Kiat Memasarkan Klinik Swasta bagian kedua

3. “Marketing” Plan & Action dari Layanan Kesehatan “Tak Sempurna”

Sangat ditekankan di sini, bahwa layanan kesehatan adalah suatu layanan yang “tak sempurna”. Pada prinsipnya kita tidak menjanjikan hasil, tetapi yang kita janjikan adalah proses yang kita lakukan adalah proses yang benar, sesuai dengan bukti-bukti ilmiah yang ada saat ini. Suatu contoh misalnya yang pernah saya derita, penyakit varicocele, suatu pelebaran pembuluh darah vena yang tidak normal yang keluar dari testis. Teknik operasi yang paling banyak dilakukan oleh urolog saat ini adalah prosedur Palomo. Angka keberhasilan adalah 60-an persen. Jadi urolog tidak menjanjikan hasilnya “pasti” sembuh, tetapi ikhtiar prosedur operasi Palomo itu telah dilakukan dengan benar kepada pasien. Jadi ketika pasien memilih menerima tindakan ini sudah bisa mengantisipasi potensi keberhasilan yang diperoleh. Akhirnya terbukti saya bisa mempunyai 2 orang anak. Salah satu outcome keberhasilan penanganan varicocele adalah kesuburan pria tidak terganggu.

Prosedur-prosedur rutin yang dilakukan oleh layanan kesehatan juga rawan terjadi kecelakaan. Saya pernah mempunyai pengalaman saat menjadi dokter di Usaha Kesehatan Pondok (UKP) di sebuah Pondok Pesantren. Staf saya seorang perawat ketika memeriksa pasien yang sakit flu, menuliskan “demacolin” untuk obat bagi santri yang sedang sakit ini, di kartu status periksa. Kemudian kartu diserahkan di bagian obat, untuk mendapatkan obat. Selesai mendapatkan obat, santri ini kembali ke kamarnya. Karena pagi itu kunjungan pasien saat itu sedang sepi, membuat sang perawat ada kesempatan “main” ke bagian penyediaan obat. Saat ngobrol, sang perawat “iseng” melihat-lihat catatan obat keluar dan melihat-lihat tanggalnya. Ketika melihat tanggal hari itu, ia tidak mendapati “demacolin” seperti yang dia resepkan, malah yang keluar adalah “dulcolax”. Kemudian sang perawat ini menjadi risau, menanyakan kepada sang petugas obat, “Mas, tadi ngasih dulcolax?” dan petugas itu mengiyakan. Perlu diketahui “demacolin” adalah obat flu, sedangkan “dulcolax” adalah obat pencahar atau urus-urus. Masih untung ternyata dalam kartu catatan medis ternyata ada alamat kamar santri tinggal, kemudian sang perawat segera meluncur ke kamar santri yang dituju, dan lebih beruntung lagi ternyata obat belum diminum santri tersebut. Coba bayangkan kalau seandainya diminum, bukannya mendapatkan kesembuhan sakit flu-nya, si santri malah mendapat “sakit” baru, yaitu perutnya jadi mules sekali akibat kerja obat pencahar ini.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa dari lebih dari 33.6 juta orang masuk rumah sakit per tahunnya di Amerika Serikat, terdapat sekitar 44.000 sampai 98.000 kematian yang sebenarnya dapat dihindari. Pada saat yang sama kematian akibat AIDS adalah 16.516 kematian per tahun, kematian akibat kanker payudara 42.297 kematian per tahun, dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebesar 43.458 kematian per tahun. Jadi dapat dikatakan lebih aman berkendara di jalan dari pada masuk rumah sakit.[1]

Itulah sebabnya yang kita bangun dalam layanan kesehatan adalah kepercayaan bahwa kita telah melakukan proses yang benar. Ke dalam kita sangat menekankan patient safety dan keluar, cara “pemasaran” klinik atau bentuk-bentuk layanan kesehatan lainnya tidak etis dilakukan secara vulgar, dan lebih menekankan aspek “marketing public relation”.

Demi menjamin terlaksananya “marketing public relation” harus ada “person in charge” untuk menjalankan misi ini. Siapa dia tidak harus orang kesehatan. Yang penting bagi kita peta kelompok-kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus sebagaimana yang tertera dalam tabel 2 – 4 sudah kita identifikasi dengan sebaik-baiknya. Dalam kelompok-kelompok itu yang lebih penting lagi adalah “tokoh-tokoh tipping point” harus dikenali karena berkaitan erat dengan strategi bagaimana bisa menjangkaunya, dan melakukan “edukasi” tentang klinik kita. Dalam bukunya Tipping Point[2], Malcolm Gladwell, menjelaskan kebanyakan kita bisa berinteraksi dengan familiar dengan 150-an orang, tetapi orang-orang spesial (tokoh) mampu berinteraksi lebih dari 500-an. Kabar baik atau kabar buruk atau orang yang bisa dipercaya atau apa pun bisa menyebar informasinya akan sangat mudah melalui orang-orang spesial ini.

Sedikit tentang tipping point person

Dalam buku al-Muntholaq karya Muhammad Ahmad ar-Rasyid[3], ketika menjelaskan pribadi dan karakter Fudhail bin Iyadh, beliau mengutip pernyataan Syarik al-Qadhi seorang yang menjadi teladan dalam keadilan, berkata, “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya, dan Fudhail bin Iyadh adalah hujjah bagi zamannya.” Yang menarik dalam pernyataan ini adalah “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya…”. Inilah yang menjadi inti pembicaraan dalam buku Malcolm Gladwell, tentang Tipping Point, yaitu sesuatu yang tiba-tiba menjadi trend dan semua orang membicarakan dan beramai-ramai menirunya, ternyata diperankan oleh sedikit orang yang berperan sebagai trend setter. Trend setter inilah yang dikatakan Malcolm Gladwell sebagai titik nyala api (tipping point), dimana tidak ada satupun unsur budaya yang dapat menghentikan pergerakan itu.

Orang-orang yang berperan menjadi tipping point dalam bahasa Malcolm Gladwell atau menjadi hujjah zamannya dalam bahasa ar-Rasyid, saat ini menjadi topik yang hangat dibicarakan. Hal ini sangat relevan dengan kenyataan adanya oversupply produsen, sehingga dalam merebut hati konsumen atau pelanggan perlu strategi khusus dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat memperoleh hasil yang optimum. Akibatnya pelanggan-pelanggan atau konsumen-konsumen yang mempunyai peran tipping point atau hujjah zaman atau trend setter, menjadi sasaran yang sangat dipertimbangkan. Betapa tidak, karena mereka bukan sembarang orang, tetapi orang yang mempunyai banyak simpul dengan banyak jaringan manusia. Seperti yang dikatakan Raymond Martin, dalam bukunya The Tomorrow People[4], mereka ini berada di dalam kawasan kunci budaya, yang menjadikan mereka sebagai penyalur gagasan baru, serta sebagai alat untuk mendengarkan gagasan baru yang muncul ke permukaan. Atau dikatakan di bagian lain buku tersebut; Orang-orang ini (sebagai trend setter dalam kasus suatu populasi di bagian kota London timur), karena pekerjaan atau pandangan mereka, akan memiliki sekitar 500 kontak yang berguna dibandingkan dengan jumlah angka ajaib 150 yang dimiliki oleh sebagian besar kita dalam hal perkenalan dengan orang-orang yang dapat kita ajak bicara dan berinteraksi dengan berbagai cara yang manusiawi, bersifat sosial, dan tidak menegangkan.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seorang ulama yang tawaduk, zuhud, penuh keteladanan, arif bijaksana dan kaya hikmah dan ilmu, Fudhail bin Iyadh, dimana beliau ini adalah sebagai hujjah pada zamannya berarti dapat dikatakan sebagai trend setter bagi orang-orang mukmin yang hidup di masanya. Ketinggian karakter yang ada pada beliau inilah yang menyebabkan semua orang mengarah kepada taujih (nasehat) dan keteladanan beliau. Arah perkembangan kota, pemikiran, gaya hidup yang ada semuanya “terwarnai” oleh ketinggian karakter yang beliau miliki.

Rhenald Kasali mengungkapkan istilah vocal minority, biasanya terkait dengan silent majority; merupakan tinjauan aktivitas publik dalam mengajukan complaint atau mendukung perusahaan atau institusi. Vokal bersifat aktif sedangkan yang silent bersifat pasif. Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tidak banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau pendapatnya.

Kembali pada pembahasan sebelumnya, person in charge yang menjamin terlaksananya “marketing public relation” mempunyai kewajiban mencari siapa-siapa yang menjadi tokoh rujukan atau tipping point person atau hujjah di komunitasnya. Person in charge “marketing public relation” juga mempunyai tugas membina hubungan jangka panjang dengan orang-orang spesial ini. Tujuan akhir adalah bahwa poliklinik kita lewat person in charge sebagai duta dapat dipercaya dan dapat dihandalkan oleh orang-orang spesial yang mewakili kelompoknya.

Pemilihan kelompok beserta orang spesialnya harus match dengan kapabilitas layanan yang disediakan oleh poliklinik kita. Atau bahkan yang lebih tepat lagi, kita mengenali dulu kelompok-kelompok kebutuhan yang ada, kemudian dihitung nilai kehandalan ekonomisnya, baru menyediakan layanan yang sesuai.

Beberapa keuntungan dalam membina hubungan baik dengan orang-orang spesial ini

a. Media komunikasi “marketing public relation” yang bisa dihandalkan karena layanan kesehatan tidak boleh mempromosikan diri secara vulgar

b. Dapat membina hubungan dengan komunitas / kelompok orang dengan kebutuhan khusus yang sesuai dengan layanan yang disediakan

c. Dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumber daya yang terbatas dalam menjangkau kelompok konsumen sasaran

d. Hubungan yang intensif dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam mengevaluasi layanan kesehatan yang diselenggarakan.

4. Kualitas, kualitas dan kualitas

Dalam layanan kesehatan, kualitas suatu jenis layanan bukanlah yang tertinggi yang pernah dicapai oleh karyawan, dokter, atau petugas medis lainnya. Tetapi merupakan suatu capaian yang bila di ukur maka hasilnya akan berkumpul dalam suatu rentang sempit (lihat gambar 2.B). Rentang sempit ini berarti suatu keajegan (konstannya) ukuran layanan yang dicapai dari para petugas yang memproduksi layanan tertentu tersebut. Bila rentang yang dicapai lebar (lihat gambar 2.A), misalnya kinerja yang diukur ini adalah keramahan, maka pasien atau pelanggan akan mendapati suatu ketika petugas sangat ramah sedangkan di saat yang lain pelanggan mendapati petugas tidak bersahabat (ketus). Bila kebetulan pelanggan yang mendapati keramahan yang rendah adalah mereka yang termasuk kelompok “vocal minority” maka akan mempunyai dampak buruk terhadap citra institusi karena mereka disamping vokal juga sangat dipercaya perkataannya dalam komunitasnya. Tentu ini sangat tidak diinginkan bukan.




[1] “To Err Is Human” Corrigan, Kohn And Donaldson US Academy Of Sciences / Institute Of Medicine, 2000; Hrri.Healthcare Risk Resources International

[2] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

[3] Ahmad ar-Rasyid, Muhammad, al-Muntholaq; Edisi Indonesia, Titik Tolak : Landasan Gerak para Aktivis Dakwah. Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi, Lc; Jakarta, Robbani Press, 2005.

[4] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006

Kiat Memasarkan Klinik Swasta bagian pertama

Kiat Memasarkan Klinik Swasta[1]

dr. Yusuf Alam Romadhon[2]

Sebuah poliklinik swasta “ndang Saras” didirikan dengan pembukaan yang lumayan meriah, dengan mendatangkan ustadz ternama untuk mengisi pengajian di acara tersebut. Undangan yang hadir lumayan banyak. Setengah tahun berselang, poliklinik itu sepi-sepi saja dari pengunjung. Setelah setahun kunjungannya mulai ramai sampai sepuluh pasien per hari, tetapi menginjak tahun kedua, poliklinik ini berubah keadaannya seperti serumput rumput yang hidup di tanah gersang, hidup segan mati tak mau. Begitulah tidak sedikit poliklinik yang didirikan bernasib sama dengan poliklinik swasta, yang bernasib sama seperti poliklinik “ndang Saras” dalam ilustrasi kasus ini, bahkan lebih parah akhirnya ditutup.

Lain halnya dengan poliklinik “Syifa”, sama dengan ndang Saras, pembukaan sama meriah, diisi pengajian mendatangkan ustadz ternama, hadirin yang hadir tidak kalah sama, setengah tahun masih sepi, tetapi menginjak satu tahun, jumlah kunjungan dipastikan per hari sudah sampai sepuluh pasien per hari, dan tahun kedua terus naik dan naik, dan pada tahun ke lima poliklinik ini mulai merubah wajahnya menjadi rumah sakit pelayanan dasar.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah apa yang menyebabkan suatu klinik sukses, sementara yang lain tidak mendapatkan keberuntungan seperti yang diharapkan? Dan yang lebih penting lagi adalah hal-hal dasar apa saja yang harus diperhatikan untuk menentukan kesuksesan pendirian klinik yang tidak saja bisa bertahan, tetapi bisa lestari peningkatannya (sustainable).

Saya mencoba menggali beberapa hal penting, terutama dari sudut pandang pemasaran yang tampaknya berkaitan dengan keberhasilan / sustainabilitas sebuah klinik yang diharapkan terus berkembang dari hari ke hari.

Berikut beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk sustainabilitas poliklinik :

1. Re-visi dan Re-definisi (pembaharuan cara pandang bisnis) Layanan Kesehatan

Mari kita simak bagan berikut:

Gambar 1. Perubahan Konsep Bisnis Kimia Farma dan Batasan Bisnis Kimia Farma[3]

Sebelum memulai, kita harus mampu mendefinisikan atau menentukan dan menjawab pertanyaan yang sangat mendasar untuk apa poliklinik yang kita dirikan itu keberadaannya.

Untuk menjawab itu, baiknya kita perhatikan dengan seksama pendapat Grossman, seorang pakar ekonomi kesehatan, tentang konsep bahwa setiap individu adalah produsen kesehatan. Menurut Grossman, pada dasarnya setiap individu adalah produsen kesehatan bagi dirinya sendiri. Kesehatan sebagai output mempunyai input meliputi perumahan yang sehat, pendidikan kesehatan yang memadai, status pekerjaan yang jelas serta nutrisi atau gizi yang berimbang dan bermutu, di samping layanan kesehatan yang dikunjungi saat sakit.[4] Diasumsikan bahwa individu berusaha untuk memaksimalkan utilitas fungsional waktu hidupnya, dalam arti memaksimalkan jumlah dan kualitas hari-hari sehatnya dari waktu ke waktu sepanjang hidupnya hingga individu tersebut meninggal. Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah bahwa layanan kesehatan hanyalah sebagian cara individu untuk mengembalikan kesehatannya ketika sakit.

Dengan memperhatikan konsep produksi kesehatan Grossman ini, jelas bahwa fokus melayani orang sakit sebenarnya hanyalah bagian kecil dari produksi kesehatan itu sendiri. Anda akan melihat lebih jelas lagi kalau melihat perjalanan penyakit beserta upaya-upaya pencegahannya seperti yang terlihat pada tabel 1 di halaman 3.

Sebagian besar yang dilakukan di rumah sakit atau dokter dan poliklinik kebanyakan adalah berfokus pada tindakan pencegahan sekunder dan tersier (secondary prevention and tertiary prevention), yang dapat dilihat pada gambar 1, yaitu konsep bisnis Kimia Farma saat ini. Sebaliknya “lahan garapan bisnis” yang lebih luas dan sebenarnya lebih menguntungkan memperluasnya hingga pada pencegahan primer (primary prevention) sampai pencegahan tersier serta perawatan paliatif. Secara bisnis, kegiatan ini, akhirnya akan mendukung usaha memperbesar cakupan layanan yang terbentang dari pencegahan primer, tersier hingga perawatan paliatif.

Pada tabel 1, dapat dilihat aktivitas pencegahan primer dalam hal promosi kesehatan meliputi; pendidikan kesehatan, standar nutrisi yang baik, perhatian pada perkembangan kepribadian seseorang, provisi pada perumahan yang sehat, rekreasi dan tempat kerja yang menyehatkan, konseling genetik, pemeriksaan terpilih secara periodik.

Tabel 1. Tingkatan Aplikasi Tindakan-tindakan Pencegahan[5]

Sedangkan dalam hal proteksi khusus meliputi; imunisasi secara khusus, memperhatikan higiene personal, memperhatikan sanitasi lingkungan, perlindungan terhadap bahaya resiko kerja, perlindungan dari kecelakaan, perlindungan dari karsinogen dan menghindari alergen.

Sehingga batasan bisnis poliklinik kesehatan tidak saja pada mengobati orang sakit, tetapi lebih luas pada usaha-usaha pencegahan yang lebih luas, sesuai kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan antara nilai sosial yang diberikan oleh poliklinik dan nilai finansial yang didapat. Pelayanan kesehatan adalah lebih menonjol aspek sosialnya di satu sisi, tetapi di sisi lain, poliklinik harus bisa bertahan menutup semua biaya dan mampu tumbuh di lingkungan strategisnya.

2. Audit “Marketing” Layanan Kesehatan

Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengevaluasi diri (organisasi poliklinik) kita, apakah sudah “match” dengan lingkungan strategisnya. Pada audit “Marketing” Layanan Kesehatan meliputi dua aspek :

a. Analisis Lingkungan Strategis

b. Analisis SWOT

Untuk lebih mempertajam analisis strategis baiknya lebih memerinci setiap aktivitas layanan berdasarkan tindakan pencegahan primer, sekunder dan tersier, kemudian dikaitkan dengan menghitung-hitung berapa care provider yang memberikan layanan serupa, serta seberapa agresif kah aktivitas pemasaran dan jangkauan layanan yang diberikan? Untuk memudahkan pemahaman, dapat dilihat tabel 2 sampai 4 berikut.

Kalau analisis strategis lebih bersifat pasif, artinya kita hanya mengamati apa yang terjadi di sekitar kita, sedangkan analisis SWOT, bersifat lebih aktif, karena menganalisis bagaimana kondisi kita, bagaimana kita melihat keunggulan relatif kita dibandingkan pesaing yang ada, melihat apa saja yang mengancam keberadaan kita dan mencari celah peluang yang membuat organisasi kita bisa tumbuh dalam lingkungan strategis tempat organisasi kita berada. Tentunya pembuatan analisis SWOT dilakukan setelah analisis lingkungan strategis layanan kesehatan di sekitar poliklinik kita telah dikerjakan.

Tabel 2. Analisa Lingkungan Strategis pada Tindakan Pencegahan primer

Tabel 3. Analisa Lingkungan Strategis Tindakan Pencegahan Sekunder

Tabel 4. Analisa Lingkungan Strategis Tindakan Pencegahan Tersier

Data lain yang perlu diperhatikan untuk melihat kejenuhan tingkat persaingan terutama untuk tindakan pencegahan sekunder adalah populasi penduduk dan penyedia layanan kesehatan secara umum. Probabilitas kesakitan populasi secara umum dalam satu bulan adalah 10 – 20 %. Diasumsikan dalam satu populasi kerja atau di sekolah, orang yang izin tidak masuk kerja karena sakit berkisar antara 10 – 20 % tersebut. Artinya, bila dalam suatu populasi (misalnya desa) berpenduduk 8.000 jiwa, berarti dalam satu bulan terdapat sekitar 800 – 1.600 orang yang sakit. Inilah yang dinamakan “pangsa pasar” layanan kesehatan, terutama untuk pencegahan sekunder. Bila diambil asumsi yang sakit 1.500 orang yang sakit, maka bila dibagi dalam 30 hari, per harinya terdapat 50 orang yang sakit. Ternyata ada 5 penyedia layanan kesehatan (misalnya 1 dokter, 1 poliklinik, 1 bidan, dan 2 perawat) maka logikanya terbagi merata, berarti masing-masing per hari dikunjungi 10 pasien. Dalam kenyataannya tidak demikian, pilihan konsumen berbeda-beda, distribusi pilihan pasien berbeda dengan logika tersebut. Dokter ternyata dikunjungi 5 pasien, poliklinik dikunjungi 20 pasien, bidan dikunjungi 15 pasien, masing-masing perawat dikunjungi 5 pasien. Dapat dikatakan poliklinik mempunyai “pangsa pasar” terbanyak, kemudian disusul bidan, dan secara bersama dokter dan perawat. Inilah salah satu contoh data yang diperoleh dari “marketing inteligence” yang digunakan untuk audit “marketing” dalam menganalisis lingkungan strategis dan analisis SWOT.


[1] Di sajikan dalam acara Dies Natalis Akademi Kebidanan Maba’ul Ulum Surakarta 14 Oktober 2009

[2] Staff pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta; penulis buku “Doctors Market Yourselves”

[3] INDONESIA CORP Edisi 16/III/April 2004 hal 31-32

[4] Clewer, A and Perkins, D ; 1998; Economics for Helath Care Management, Prentice Hall Europe 1998, p 7.

[5] Budioro B; Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, cetakan ke III 2001

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments