my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Thursday, October 15, 2009

Kiat Memasarkan Klinik Swasta bagian kedua

3. “Marketing” Plan & Action dari Layanan Kesehatan “Tak Sempurna”

Sangat ditekankan di sini, bahwa layanan kesehatan adalah suatu layanan yang “tak sempurna”. Pada prinsipnya kita tidak menjanjikan hasil, tetapi yang kita janjikan adalah proses yang kita lakukan adalah proses yang benar, sesuai dengan bukti-bukti ilmiah yang ada saat ini. Suatu contoh misalnya yang pernah saya derita, penyakit varicocele, suatu pelebaran pembuluh darah vena yang tidak normal yang keluar dari testis. Teknik operasi yang paling banyak dilakukan oleh urolog saat ini adalah prosedur Palomo. Angka keberhasilan adalah 60-an persen. Jadi urolog tidak menjanjikan hasilnya “pasti” sembuh, tetapi ikhtiar prosedur operasi Palomo itu telah dilakukan dengan benar kepada pasien. Jadi ketika pasien memilih menerima tindakan ini sudah bisa mengantisipasi potensi keberhasilan yang diperoleh. Akhirnya terbukti saya bisa mempunyai 2 orang anak. Salah satu outcome keberhasilan penanganan varicocele adalah kesuburan pria tidak terganggu.

Prosedur-prosedur rutin yang dilakukan oleh layanan kesehatan juga rawan terjadi kecelakaan. Saya pernah mempunyai pengalaman saat menjadi dokter di Usaha Kesehatan Pondok (UKP) di sebuah Pondok Pesantren. Staf saya seorang perawat ketika memeriksa pasien yang sakit flu, menuliskan “demacolin” untuk obat bagi santri yang sedang sakit ini, di kartu status periksa. Kemudian kartu diserahkan di bagian obat, untuk mendapatkan obat. Selesai mendapatkan obat, santri ini kembali ke kamarnya. Karena pagi itu kunjungan pasien saat itu sedang sepi, membuat sang perawat ada kesempatan “main” ke bagian penyediaan obat. Saat ngobrol, sang perawat “iseng” melihat-lihat catatan obat keluar dan melihat-lihat tanggalnya. Ketika melihat tanggal hari itu, ia tidak mendapati “demacolin” seperti yang dia resepkan, malah yang keluar adalah “dulcolax”. Kemudian sang perawat ini menjadi risau, menanyakan kepada sang petugas obat, “Mas, tadi ngasih dulcolax?” dan petugas itu mengiyakan. Perlu diketahui “demacolin” adalah obat flu, sedangkan “dulcolax” adalah obat pencahar atau urus-urus. Masih untung ternyata dalam kartu catatan medis ternyata ada alamat kamar santri tinggal, kemudian sang perawat segera meluncur ke kamar santri yang dituju, dan lebih beruntung lagi ternyata obat belum diminum santri tersebut. Coba bayangkan kalau seandainya diminum, bukannya mendapatkan kesembuhan sakit flu-nya, si santri malah mendapat “sakit” baru, yaitu perutnya jadi mules sekali akibat kerja obat pencahar ini.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa dari lebih dari 33.6 juta orang masuk rumah sakit per tahunnya di Amerika Serikat, terdapat sekitar 44.000 sampai 98.000 kematian yang sebenarnya dapat dihindari. Pada saat yang sama kematian akibat AIDS adalah 16.516 kematian per tahun, kematian akibat kanker payudara 42.297 kematian per tahun, dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebesar 43.458 kematian per tahun. Jadi dapat dikatakan lebih aman berkendara di jalan dari pada masuk rumah sakit.[1]

Itulah sebabnya yang kita bangun dalam layanan kesehatan adalah kepercayaan bahwa kita telah melakukan proses yang benar. Ke dalam kita sangat menekankan patient safety dan keluar, cara “pemasaran” klinik atau bentuk-bentuk layanan kesehatan lainnya tidak etis dilakukan secara vulgar, dan lebih menekankan aspek “marketing public relation”.

Demi menjamin terlaksananya “marketing public relation” harus ada “person in charge” untuk menjalankan misi ini. Siapa dia tidak harus orang kesehatan. Yang penting bagi kita peta kelompok-kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus sebagaimana yang tertera dalam tabel 2 – 4 sudah kita identifikasi dengan sebaik-baiknya. Dalam kelompok-kelompok itu yang lebih penting lagi adalah “tokoh-tokoh tipping point” harus dikenali karena berkaitan erat dengan strategi bagaimana bisa menjangkaunya, dan melakukan “edukasi” tentang klinik kita. Dalam bukunya Tipping Point[2], Malcolm Gladwell, menjelaskan kebanyakan kita bisa berinteraksi dengan familiar dengan 150-an orang, tetapi orang-orang spesial (tokoh) mampu berinteraksi lebih dari 500-an. Kabar baik atau kabar buruk atau orang yang bisa dipercaya atau apa pun bisa menyebar informasinya akan sangat mudah melalui orang-orang spesial ini.

Sedikit tentang tipping point person

Dalam buku al-Muntholaq karya Muhammad Ahmad ar-Rasyid[3], ketika menjelaskan pribadi dan karakter Fudhail bin Iyadh, beliau mengutip pernyataan Syarik al-Qadhi seorang yang menjadi teladan dalam keadilan, berkata, “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya, dan Fudhail bin Iyadh adalah hujjah bagi zamannya.” Yang menarik dalam pernyataan ini adalah “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya…”. Inilah yang menjadi inti pembicaraan dalam buku Malcolm Gladwell, tentang Tipping Point, yaitu sesuatu yang tiba-tiba menjadi trend dan semua orang membicarakan dan beramai-ramai menirunya, ternyata diperankan oleh sedikit orang yang berperan sebagai trend setter. Trend setter inilah yang dikatakan Malcolm Gladwell sebagai titik nyala api (tipping point), dimana tidak ada satupun unsur budaya yang dapat menghentikan pergerakan itu.

Orang-orang yang berperan menjadi tipping point dalam bahasa Malcolm Gladwell atau menjadi hujjah zamannya dalam bahasa ar-Rasyid, saat ini menjadi topik yang hangat dibicarakan. Hal ini sangat relevan dengan kenyataan adanya oversupply produsen, sehingga dalam merebut hati konsumen atau pelanggan perlu strategi khusus dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat memperoleh hasil yang optimum. Akibatnya pelanggan-pelanggan atau konsumen-konsumen yang mempunyai peran tipping point atau hujjah zaman atau trend setter, menjadi sasaran yang sangat dipertimbangkan. Betapa tidak, karena mereka bukan sembarang orang, tetapi orang yang mempunyai banyak simpul dengan banyak jaringan manusia. Seperti yang dikatakan Raymond Martin, dalam bukunya The Tomorrow People[4], mereka ini berada di dalam kawasan kunci budaya, yang menjadikan mereka sebagai penyalur gagasan baru, serta sebagai alat untuk mendengarkan gagasan baru yang muncul ke permukaan. Atau dikatakan di bagian lain buku tersebut; Orang-orang ini (sebagai trend setter dalam kasus suatu populasi di bagian kota London timur), karena pekerjaan atau pandangan mereka, akan memiliki sekitar 500 kontak yang berguna dibandingkan dengan jumlah angka ajaib 150 yang dimiliki oleh sebagian besar kita dalam hal perkenalan dengan orang-orang yang dapat kita ajak bicara dan berinteraksi dengan berbagai cara yang manusiawi, bersifat sosial, dan tidak menegangkan.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seorang ulama yang tawaduk, zuhud, penuh keteladanan, arif bijaksana dan kaya hikmah dan ilmu, Fudhail bin Iyadh, dimana beliau ini adalah sebagai hujjah pada zamannya berarti dapat dikatakan sebagai trend setter bagi orang-orang mukmin yang hidup di masanya. Ketinggian karakter yang ada pada beliau inilah yang menyebabkan semua orang mengarah kepada taujih (nasehat) dan keteladanan beliau. Arah perkembangan kota, pemikiran, gaya hidup yang ada semuanya “terwarnai” oleh ketinggian karakter yang beliau miliki.

Rhenald Kasali mengungkapkan istilah vocal minority, biasanya terkait dengan silent majority; merupakan tinjauan aktivitas publik dalam mengajukan complaint atau mendukung perusahaan atau institusi. Vokal bersifat aktif sedangkan yang silent bersifat pasif. Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tidak banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau pendapatnya.

Kembali pada pembahasan sebelumnya, person in charge yang menjamin terlaksananya “marketing public relation” mempunyai kewajiban mencari siapa-siapa yang menjadi tokoh rujukan atau tipping point person atau hujjah di komunitasnya. Person in charge “marketing public relation” juga mempunyai tugas membina hubungan jangka panjang dengan orang-orang spesial ini. Tujuan akhir adalah bahwa poliklinik kita lewat person in charge sebagai duta dapat dipercaya dan dapat dihandalkan oleh orang-orang spesial yang mewakili kelompoknya.

Pemilihan kelompok beserta orang spesialnya harus match dengan kapabilitas layanan yang disediakan oleh poliklinik kita. Atau bahkan yang lebih tepat lagi, kita mengenali dulu kelompok-kelompok kebutuhan yang ada, kemudian dihitung nilai kehandalan ekonomisnya, baru menyediakan layanan yang sesuai.

Beberapa keuntungan dalam membina hubungan baik dengan orang-orang spesial ini

a. Media komunikasi “marketing public relation” yang bisa dihandalkan karena layanan kesehatan tidak boleh mempromosikan diri secara vulgar

b. Dapat membina hubungan dengan komunitas / kelompok orang dengan kebutuhan khusus yang sesuai dengan layanan yang disediakan

c. Dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumber daya yang terbatas dalam menjangkau kelompok konsumen sasaran

d. Hubungan yang intensif dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam mengevaluasi layanan kesehatan yang diselenggarakan.

4. Kualitas, kualitas dan kualitas

Dalam layanan kesehatan, kualitas suatu jenis layanan bukanlah yang tertinggi yang pernah dicapai oleh karyawan, dokter, atau petugas medis lainnya. Tetapi merupakan suatu capaian yang bila di ukur maka hasilnya akan berkumpul dalam suatu rentang sempit (lihat gambar 2.B). Rentang sempit ini berarti suatu keajegan (konstannya) ukuran layanan yang dicapai dari para petugas yang memproduksi layanan tertentu tersebut. Bila rentang yang dicapai lebar (lihat gambar 2.A), misalnya kinerja yang diukur ini adalah keramahan, maka pasien atau pelanggan akan mendapati suatu ketika petugas sangat ramah sedangkan di saat yang lain pelanggan mendapati petugas tidak bersahabat (ketus). Bila kebetulan pelanggan yang mendapati keramahan yang rendah adalah mereka yang termasuk kelompok “vocal minority” maka akan mempunyai dampak buruk terhadap citra institusi karena mereka disamping vokal juga sangat dipercaya perkataannya dalam komunitasnya. Tentu ini sangat tidak diinginkan bukan.




[1] “To Err Is Human” Corrigan, Kohn And Donaldson US Academy Of Sciences / Institute Of Medicine, 2000; Hrri.Healthcare Risk Resources International

[2] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

[3] Ahmad ar-Rasyid, Muhammad, al-Muntholaq; Edisi Indonesia, Titik Tolak : Landasan Gerak para Aktivis Dakwah. Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi, Lc; Jakarta, Robbani Press, 2005.

[4] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006

Kiat Memasarkan Klinik Swasta bagian pertama

Kiat Memasarkan Klinik Swasta[1]

dr. Yusuf Alam Romadhon[2]

Sebuah poliklinik swasta “ndang Saras” didirikan dengan pembukaan yang lumayan meriah, dengan mendatangkan ustadz ternama untuk mengisi pengajian di acara tersebut. Undangan yang hadir lumayan banyak. Setengah tahun berselang, poliklinik itu sepi-sepi saja dari pengunjung. Setelah setahun kunjungannya mulai ramai sampai sepuluh pasien per hari, tetapi menginjak tahun kedua, poliklinik ini berubah keadaannya seperti serumput rumput yang hidup di tanah gersang, hidup segan mati tak mau. Begitulah tidak sedikit poliklinik yang didirikan bernasib sama dengan poliklinik swasta, yang bernasib sama seperti poliklinik “ndang Saras” dalam ilustrasi kasus ini, bahkan lebih parah akhirnya ditutup.

Lain halnya dengan poliklinik “Syifa”, sama dengan ndang Saras, pembukaan sama meriah, diisi pengajian mendatangkan ustadz ternama, hadirin yang hadir tidak kalah sama, setengah tahun masih sepi, tetapi menginjak satu tahun, jumlah kunjungan dipastikan per hari sudah sampai sepuluh pasien per hari, dan tahun kedua terus naik dan naik, dan pada tahun ke lima poliklinik ini mulai merubah wajahnya menjadi rumah sakit pelayanan dasar.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah apa yang menyebabkan suatu klinik sukses, sementara yang lain tidak mendapatkan keberuntungan seperti yang diharapkan? Dan yang lebih penting lagi adalah hal-hal dasar apa saja yang harus diperhatikan untuk menentukan kesuksesan pendirian klinik yang tidak saja bisa bertahan, tetapi bisa lestari peningkatannya (sustainable).

Saya mencoba menggali beberapa hal penting, terutama dari sudut pandang pemasaran yang tampaknya berkaitan dengan keberhasilan / sustainabilitas sebuah klinik yang diharapkan terus berkembang dari hari ke hari.

Berikut beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk sustainabilitas poliklinik :

1. Re-visi dan Re-definisi (pembaharuan cara pandang bisnis) Layanan Kesehatan

Mari kita simak bagan berikut:

Gambar 1. Perubahan Konsep Bisnis Kimia Farma dan Batasan Bisnis Kimia Farma[3]

Sebelum memulai, kita harus mampu mendefinisikan atau menentukan dan menjawab pertanyaan yang sangat mendasar untuk apa poliklinik yang kita dirikan itu keberadaannya.

Untuk menjawab itu, baiknya kita perhatikan dengan seksama pendapat Grossman, seorang pakar ekonomi kesehatan, tentang konsep bahwa setiap individu adalah produsen kesehatan. Menurut Grossman, pada dasarnya setiap individu adalah produsen kesehatan bagi dirinya sendiri. Kesehatan sebagai output mempunyai input meliputi perumahan yang sehat, pendidikan kesehatan yang memadai, status pekerjaan yang jelas serta nutrisi atau gizi yang berimbang dan bermutu, di samping layanan kesehatan yang dikunjungi saat sakit.[4] Diasumsikan bahwa individu berusaha untuk memaksimalkan utilitas fungsional waktu hidupnya, dalam arti memaksimalkan jumlah dan kualitas hari-hari sehatnya dari waktu ke waktu sepanjang hidupnya hingga individu tersebut meninggal. Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah bahwa layanan kesehatan hanyalah sebagian cara individu untuk mengembalikan kesehatannya ketika sakit.

Dengan memperhatikan konsep produksi kesehatan Grossman ini, jelas bahwa fokus melayani orang sakit sebenarnya hanyalah bagian kecil dari produksi kesehatan itu sendiri. Anda akan melihat lebih jelas lagi kalau melihat perjalanan penyakit beserta upaya-upaya pencegahannya seperti yang terlihat pada tabel 1 di halaman 3.

Sebagian besar yang dilakukan di rumah sakit atau dokter dan poliklinik kebanyakan adalah berfokus pada tindakan pencegahan sekunder dan tersier (secondary prevention and tertiary prevention), yang dapat dilihat pada gambar 1, yaitu konsep bisnis Kimia Farma saat ini. Sebaliknya “lahan garapan bisnis” yang lebih luas dan sebenarnya lebih menguntungkan memperluasnya hingga pada pencegahan primer (primary prevention) sampai pencegahan tersier serta perawatan paliatif. Secara bisnis, kegiatan ini, akhirnya akan mendukung usaha memperbesar cakupan layanan yang terbentang dari pencegahan primer, tersier hingga perawatan paliatif.

Pada tabel 1, dapat dilihat aktivitas pencegahan primer dalam hal promosi kesehatan meliputi; pendidikan kesehatan, standar nutrisi yang baik, perhatian pada perkembangan kepribadian seseorang, provisi pada perumahan yang sehat, rekreasi dan tempat kerja yang menyehatkan, konseling genetik, pemeriksaan terpilih secara periodik.

Tabel 1. Tingkatan Aplikasi Tindakan-tindakan Pencegahan[5]

Sedangkan dalam hal proteksi khusus meliputi; imunisasi secara khusus, memperhatikan higiene personal, memperhatikan sanitasi lingkungan, perlindungan terhadap bahaya resiko kerja, perlindungan dari kecelakaan, perlindungan dari karsinogen dan menghindari alergen.

Sehingga batasan bisnis poliklinik kesehatan tidak saja pada mengobati orang sakit, tetapi lebih luas pada usaha-usaha pencegahan yang lebih luas, sesuai kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan antara nilai sosial yang diberikan oleh poliklinik dan nilai finansial yang didapat. Pelayanan kesehatan adalah lebih menonjol aspek sosialnya di satu sisi, tetapi di sisi lain, poliklinik harus bisa bertahan menutup semua biaya dan mampu tumbuh di lingkungan strategisnya.

2. Audit “Marketing” Layanan Kesehatan

Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengevaluasi diri (organisasi poliklinik) kita, apakah sudah “match” dengan lingkungan strategisnya. Pada audit “Marketing” Layanan Kesehatan meliputi dua aspek :

a. Analisis Lingkungan Strategis

b. Analisis SWOT

Untuk lebih mempertajam analisis strategis baiknya lebih memerinci setiap aktivitas layanan berdasarkan tindakan pencegahan primer, sekunder dan tersier, kemudian dikaitkan dengan menghitung-hitung berapa care provider yang memberikan layanan serupa, serta seberapa agresif kah aktivitas pemasaran dan jangkauan layanan yang diberikan? Untuk memudahkan pemahaman, dapat dilihat tabel 2 sampai 4 berikut.

Kalau analisis strategis lebih bersifat pasif, artinya kita hanya mengamati apa yang terjadi di sekitar kita, sedangkan analisis SWOT, bersifat lebih aktif, karena menganalisis bagaimana kondisi kita, bagaimana kita melihat keunggulan relatif kita dibandingkan pesaing yang ada, melihat apa saja yang mengancam keberadaan kita dan mencari celah peluang yang membuat organisasi kita bisa tumbuh dalam lingkungan strategis tempat organisasi kita berada. Tentunya pembuatan analisis SWOT dilakukan setelah analisis lingkungan strategis layanan kesehatan di sekitar poliklinik kita telah dikerjakan.

Tabel 2. Analisa Lingkungan Strategis pada Tindakan Pencegahan primer

Tabel 3. Analisa Lingkungan Strategis Tindakan Pencegahan Sekunder

Tabel 4. Analisa Lingkungan Strategis Tindakan Pencegahan Tersier

Data lain yang perlu diperhatikan untuk melihat kejenuhan tingkat persaingan terutama untuk tindakan pencegahan sekunder adalah populasi penduduk dan penyedia layanan kesehatan secara umum. Probabilitas kesakitan populasi secara umum dalam satu bulan adalah 10 – 20 %. Diasumsikan dalam satu populasi kerja atau di sekolah, orang yang izin tidak masuk kerja karena sakit berkisar antara 10 – 20 % tersebut. Artinya, bila dalam suatu populasi (misalnya desa) berpenduduk 8.000 jiwa, berarti dalam satu bulan terdapat sekitar 800 – 1.600 orang yang sakit. Inilah yang dinamakan “pangsa pasar” layanan kesehatan, terutama untuk pencegahan sekunder. Bila diambil asumsi yang sakit 1.500 orang yang sakit, maka bila dibagi dalam 30 hari, per harinya terdapat 50 orang yang sakit. Ternyata ada 5 penyedia layanan kesehatan (misalnya 1 dokter, 1 poliklinik, 1 bidan, dan 2 perawat) maka logikanya terbagi merata, berarti masing-masing per hari dikunjungi 10 pasien. Dalam kenyataannya tidak demikian, pilihan konsumen berbeda-beda, distribusi pilihan pasien berbeda dengan logika tersebut. Dokter ternyata dikunjungi 5 pasien, poliklinik dikunjungi 20 pasien, bidan dikunjungi 15 pasien, masing-masing perawat dikunjungi 5 pasien. Dapat dikatakan poliklinik mempunyai “pangsa pasar” terbanyak, kemudian disusul bidan, dan secara bersama dokter dan perawat. Inilah salah satu contoh data yang diperoleh dari “marketing inteligence” yang digunakan untuk audit “marketing” dalam menganalisis lingkungan strategis dan analisis SWOT.


[1] Di sajikan dalam acara Dies Natalis Akademi Kebidanan Maba’ul Ulum Surakarta 14 Oktober 2009

[2] Staff pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta; penulis buku “Doctors Market Yourselves”

[3] INDONESIA CORP Edisi 16/III/April 2004 hal 31-32

[4] Clewer, A and Perkins, D ; 1998; Economics for Helath Care Management, Prentice Hall Europe 1998, p 7.

[5] Budioro B; Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, cetakan ke III 2001

Saturday, October 10, 2009

Care bangsa kita yang memprihatinkan

Care atau peduli sesama, tampaknya mulai luntur dalam budaya kontemporer kita dewasa ini. Beberapa yang lalu saat hari raya kemarin, kami sekeluarga istirahat di suatu rumah makan, pada saat jam makan siang dan jam sholat dzuhur. Kami memesan makanan, sembari menunggu, kami sekeluarga berbagi, ada yang menunggu dan ada yang sholat. Ketika saya menunggu bersama mas Rizqi, di meja makan kami sudah mulai penuh makanan yang kami pesan..... eee nylonong seorang ibu dengan santainya mengambil kursi di samping saya tanpa minta izin atau permisi... terus saya bilang ke dia "maaf bu ini kursi sudah dipesan dan orangnya masih sholat" kemudian saya menunjuk kursi kosong yang bisa beliau ambil... eee orangnya pergi tanpa sepatah kata apa pun. Kejadian ini berulang sampai tiga kali......

Saya jadi teringat kisah berikut:

Suatu ketika Ubaidah bin Shamit menerima hadiah, dan beliau memiliki keluarga sebanyak 12 orang. Kemudian sahabat Ubaidah berkata, pergilah kalian dengan hadiah ini kepada keluarga fulan, karena mereka lebih membutuhkan hadiah ini daripada saya. Kemudian Wahid bin Ubadah membawa hadiah ini kepada keluarga lain. Akan tetapi, ketika ia telah sampai pada keluarga tersebut, mereka mengatakan hal yang sama. Begitu seterusnya, akhirnya hadiah itu kembali pada keluarga Ubadah sebelum waktu subuh. Dalam riwayat lain, khalifah Umar ra, pernah mendapatkan hadiah dari gubernur di Azerbaijan, Utbah bin Farqad. Kemudian utusan itu ditanya oleh khalifah: ”Apakah semua masyarakat di sana menikmati makanan ini?” Utusan itu menjawab : ”Tidak wahai Amirul Mukminin, ini adalah makanan khusus”. Khalifah berkata: ”Bawalah hadiah ini, kembalikan kepada pemiliknya, dan katakan padanya, ’Bertakwalah kepada Allah, kenyangkanlah kaum Muslimin dengan makanan yang engkau makan hingga kenyang.”[1]

Itsar atau altruisme di jaman kita sekarang tampak menjadi suatu barang yang sangat mewah. Dasar dari care terhadap orang lain adalah ketika kita memulai memikirkan orang lain. Kita melepaskan pemenuhan ambisi pribadi, beralih memenuhi kebutuhan dasar orang-orang yang berada di sekitar kita.

Perkembangan sosial teknologi terakhir, menurut Daniel Goleman[2], telah menciptakan cangkang yang membuat seseorang terisolasi dengan lingkungan sosialnya. Headphone, iPod, juga telefon seluler, membuat kita hanya bisa hadir secara fisik di lingkungan sosial kita sendiri-sendiri. Tanpa kita sadari, kita asyik mendengarkan ribuan musik yang siap kita dengarkan lewat iPod atau headphone. Si pendengar iPod asyik dengan penyanyi yang berdengung di telinganya, sementara ia tidak tahu apa yang terjadi di sekitar kehidupan riilnya. Ketika kita bercengkerama secara fisik, tiba-tiba handphone berdering entah itu ada telefon atau SMS, saat itu juga mencabut ”kehadiran” kita di lingkungan fisik, perhatian terbelah ataupun bahkan terabaikan, konsentrasi pada apa yang ada di telinga....hadir yang tidak ”hadir”. Secara sosial kita mengalami korosi. Menjadi kurang care terhadap sesama.



[1] Diambil dari Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 1996, Al-Idaarah fil Al-Islam; Edisi Indonesia, Manajemen Syariah, 2006, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta

[2] Daniel Goleman, 2006, Social Intelligence, Edisi Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007

Perceraian yang memprihatinkan

Mega bintang, penyanyi, mega diva Kris Dayanti, bintang yang saya kagumi akhirnya mengakhiri keutuhan rumah tangganya bersama Anang. Berita yang sungguh memukul hati. Beberapa kali biografinya yang terbit, membuat saya salut akan usaha mereka berdua untuk menjaga keutuhan rumah tangga yang bertubi-tubi diguncang cobaan dan ujian. Bagaimana usaha mereka ketika puncak karier, puncak popularitas dan kecemerlangan, seperti pohon yang makin tumbuh sangat tinggi harus tegar melawan terpaan angin, badai, petir dan segala cuaca yang buruk, sungguh sesuatu yang luar biasa bagi saya. Bagaimana usaha mereka berdua, agar pohon rumah tangga itu tidak tercabut dari akarnya, akhirnya harus menyerah kalah oleh tornado dari luar yang membuat pohon rumah tangga mereka tercabik-cabik dan akhirnya tercabut dari dasarnya. Kesedihan, kemalangan dan luka yang luar biasa dalam dan perihnya. Hanya satu harapan saya buat kaum pemburu berita, agar mereka jangan seperti “burung pemakan bangkai” yang “mencabik-cabik” “hewan sekarat” sebelum musnah tercerai berai menjadi komoditas berita. Tidak ada lagi yang peduli lagi setelah semuanya habis jadi bahan berita. Ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang peduli bagaimana membalut dan merawat luka yang tersisa bagi pasangan selebritis, apalagi bagi anak-anak mereka. Saran saya, tidak semua statement salah satu pasangan selebriti yang sedang dilandai badai ini harus dijadikan berita utama. Saling balas statement, memancing permusuhan, dampaknya tidak baik bagi perkembangan anak-anak mereka yang tidak tahu sama sekali apa yang terjadi dengan orang tua mereka. Statement permusuhan yang di”blow up” akan semakin mempersulit akses anak-anak terhadap kedua orang tua biologis mereka, yang sangat mereka butuhkan untuk memantapkan proses tumbuh kembang yang mereka alami.

Acara infotainment tanpa berita retaknya rumah tangga artis, kayaknya hanya akan menjadi acara sambil lalu tanpa penonton yang signifikan. Ada dua kutub yang tampaknya menjadi ajang rasa ingin tahu masyarakat yang tersalurkan dengan bukti naiknya rating acara pemberitaan, yaitu pernikahan atau hubungan asmara di satu kutub dan perceraian di kutub yang lain. Ketika seorang selebritis, kepergok berduaan dengan kekasihnya, para paparazi, dengan rasa ingin tahunya akan mengejar dan mencari-cari info tentang keseriusan hubungan percintaan itu. Ketika para selebriti retak rumah tangganya sampai jatuh keputusan cerai, para paparazi, juga tak kalah seru dalam mengekspresikan rasa ingin tahunya karena berita perceraian itu, bila bisa diungkap hingga tuntas, tentu akan mampu meningkatkan rating pemberitaan bagi stasiun teve yang mampu meng”close-up”nya secara eksklusif.

Setelah era reformasi digulingkan dalam sepuluh tahun terakhir, berita infotaintment di setiap tahunnya selalu saja ada artis yang retak rumah tangganya dan berujung pada perceraian. Selalu saja ada yang bisa dipertontonkan drama perceraian di Pengadilan bagi pemirsa yang punya rasa ingin tahu yang tinggi. Sementara itu, di lapisan bawah seperti yang saya baca dari berbagai sumber juga terdapat kesejajaran antara apa yang terjadi di permukaan yang muncul lewat pengumbaran berita aib keluarga kepada khalayak dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para “rakyat jelata”. Mengapa bisa terjadi sinkronisasi antara lapisan atas dan bawah tersebut dalam tren perceraian, akan tetap menjadi misteri buat sebagian orang yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti ada alasan rasionalnya. Tapi jangan dipikirkan terlalu mendalam lho! Saya tidak ingin Anda jadi stress setelah membaca ini.

Di Indonesia angka perceraian mencapai 200.000 kasus per tahun

Kejadian perceraian meningkat 10 kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Menurut Menteri Agama, di tahun 1998 rata-rata angka perceraian mencapai 20.000 kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2008 ini, angka perceraian melonjak tajam menjadi 200.000 kasus dalam satu tahunnya. [1]Menurut Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar, saat ini, Indonesia berada diperingkat tertinggi memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Menurut beliau pula "setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga".[2]


[1] BBC News, update at 16:02 GMT, Wednesday, 4 February 2009http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7869813.stm

[2] Eramuslim.com Rabu, 15/08/2007 12:58 WIB www.eramuslim.com

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments