my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Monday, February 15, 2010

Kalau ingin bahagia jangan menjadi dokter

Profesi dokter bukan pilihan yang tepat untuk mencari kebahagiaan

Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan jumlah fakultas kedokteran begitu cepat melebihi beberapa dekade sebelumnya. Di tahun 2004 saja, baru ada 45-an fakultas kedokteran negeri maupun swasta. Di tahun 2010 ini, jumlahnya bertambah hingga mencapai 72 fakultas kedokteran. Alasan rasional pertambahan jumlah fakultas kedokteran adalah jumlah dokter umum di Indonesia masih kurang untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Kebutuhan dokter yang ideal adalah setiap 2500 penduduk butuh satu dokter umum. Dari kebutuhan dokter umum 80.000 orang, saat ini baru terpenuhi 50.000 orang dokter umum. Kita masih membutuhkan tambahan 30.000 dokter umum. Lulusan dokter per tahun hanya 5.000 orang. Jadi dapat dikatakan profesi dokter masih menjanjikan secara finansial di masa depan.

Ternyata antara alasan normatif dengan alasan realitas berbeda. Alasan normatif sudah disebutkan di atas, memang kenyataannya jumlah dokter masih kurang. Walaupun ada masalah yang jauh lebih besar ketimbang sekedar masih kurang, yaitu distribusi dokter yang tidak merata di seluruh tanah air. Dapat dikatakan lebih dari saparoh dokter di Indonesia tinggal di pulau Jawa dan daerah perkotaan. Alasan yang lebih realistis dan berada di benak lulusan SMA dan orang tua calon mahasiswa berbiara lain.

Kenyataannya motivasi sebagian besar lulusan SMA dan tentu saja orang tua mereka, adalah masa depan dokter tetap menjanjikan di masa depan. Seandainya ngelamar kerja tidak diterima di mana-mana pun, tetap masih bisa mandiri dengan membuka praktik. Banyak dokter yang mereka lihat secara ekonomi mapan, mobil mewah, rumah megah, uang berlimpah, dan mempunyai status sosial yang jauh lebih baik ketimbang kebanyakan orang. Walaupun ada sebagian orang tua yang mengatakan “Kan dokter peluang ibadahnya lebih banyak. Menolong banyak orang dan bisa kaya”.

Saya pun bertanya dalam hati, apakah tidak ada cara lain yang peluang ibadanya lebih banyak, menolong banyak orang dan bisa kaya? Apakah hanya menjadi dokter yang bisa mengantarkan seseorang bisa menjadi seperti itu? Kan tidak. Banyak ustadz yang bisa menolong banyak orang, peluang ibadah lebih banyak dan banyak di antara mereka yang kaya. Banyak pengusaha yang bisa menolong banyak orang dengan memberikan pekerjaan, peluang ibadah lebih banyak karena mereka bisa mengatur waktu secara mandiri dan tentu saja mereka kaya. Kenapa ga rame-rame pengen jadi pengusaha aja? Nah kena lho....

Yah semuanya dikembalikan kepada selera. Saya tahu itu, ada orang yang suka makan makanan yang pedas, ada orang yang suka makan durian, ada juga yang suka makan pete atau jengkol, namun ada pula yang membenci semua makanan itu malah dia sangat menyukai makanan laut.

Tetapi yang harus diperhatikan dan diingat, tidak ada keputusan di dunia ini yang bebas dari risiko dan konsekuensi. Orang yang suka makan pedas punya risiko sakit maag dan sakit perut. Orang yang suka makan durian beresiko bisa naik kadar kolesterol darahnya. Orang yang suka makan pete dan jengkol punya risiko dibenci banyak orang ketika buang air kecil, karena baunya sangat menyengat. Orang yang suka makan makanan laut punya risiko alergi. Demikian juga ketika kita memilih suatu profesi tempat kita mencari penghidupan semuanya tidak bebas dengan risiko. Jadi pengusaha... OK mempunyai peluang semua yang kita inginkan bisa terbeli karena harta berlimpah, tetapi juga punya risiko bangkrut dan meninggalkan bahkan mewarisi hutang yang bisa ditanggung tujuh turunan. Woow ngeriii..

Jadi ustadz, punya peluang beribadah yang banyak, bisa menolong banyak orang, dan bisa kaya... juga punya risiko “tidak bebas” karena semua perbuatan yang dilakukan akan “dimonitor terus” setiap saat dan setiap waktu oleh jamaah, media dan tentu saja Sang Maha Pencipta. Bila sedikit saja tergelincir akan mudah dicaci dan dicemooh serta dicampakkan begitu saja oleh konstituennya. Wah wah...berat juga ya..

Memilih profesi dokter apalagi... hiii ngeriiii... kayaknya risiko yang dihadapi dokter adalah gabungan antara risiko pengusaha dan risiko ustadz. Risiko pertama seperti pengusaha bisa meninggalkan utang tujuh turunan... lantaran dituntut malpraktik oleh pasien dan dituntut mengganti rugi atas kerugian material, kehilangan nyawa dan kehilangan penghidupan klien. Kalau tidak mampu membayar ya... masuk penjara. Risiko kedua, konsekuensi dari risiko pertama yaitu akan mudah dicaci dan dicemooh serta dicampakkan begitu saja oleh konstituen yang sebelumnya sangat memujinya. Inilah mungkin yang dialami oleh RS Omni Internasional tempat kasus terjadinya Prita. Setelah meledaknya kasus Prita, mendadak RS itu sepi, di facebook jadi barang cemoohan dan umpatan-umpatan liar, dan sudah melupakan jasa-jasa baik yang telah dipersembahkan kepada masyarakat selama bertahun-tahun sejak berdirinya. Menjadi dokter harus bersiap-siap mempunyai banyak atasan mulai atasan dalam arti yang sesungguhnya, atasan anggota dewan (karena kalo pas anggota dewan ini tidak puas dengan layanan kita bisa mengungkapkannya kepada kepala dinas atau media), atasan kolegium dokter sendiri, atasan departemen kesehatan, dan atasan masyarakat yang bebas mengutarakan pendapatnya kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Semuanya menyuruh dokter harus seperti itu, harus seperti ini, jangan begitu, jangan begini, kalau tidak begini kamu akan begitu, kalau tidak begitu kamu akan begini yang sering kali satu sama lain saling bertentangan, dan semuanya berakibat memojokkan posisi sang dokter....

Waduh ribet banget ya. Capek deh

Kalo begitu ga usah ada orang yang mau jadi dokter yah. Apa kata dunia?

Sebenarnya saya tidak tega untuk mengutarakan pikiran picik seperti di atas. Kalau berpikiran seperti itu, setiap orang punya risiko karena telah hidup di dunia ini. Membaca berita kecelakaan mulai dari pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara sepeda motor, dan pengendara serta penumpang mobil, berarti semua orang punya risiko. Berarti ga usah keluar dari rumah ya. Tetapi kalau lihat berita di media, orang yang tinggal di rumah bisa mati tertimpa rumah yang runtuh lantaran gempa, tertimpa pesawat jatuh.... hiii ngeri... lalu mau ke mana lagi?

Ini juga konsekuensi dari kita punya perasaan dan emosi. Rasa takut, sisi positifnya adalah kita lebih waspada dan berhati-hati. Tetapi kalau kita lihat sisi negatifnya ya...akan menjadi penyakit yang biasa dikenal dengan gangguan kecemasan. Serba tersiksa karena takut yang terus-menerus memenjara pikiran dan hatinya. Seorang teman spesialis bedah pernah bercerita, beliau bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut penuturan beliau, “kalau bekerja di rumah sakit pemerintah, pengadaan jarum baru biasanya agak susah, sehingga seringkali mendapati jarum untuk menjahit sudah agak tumpul. Akibatnya agak susah saat menjahit, tetapi untungnya pasien dalam keadaan tidak sadar. Permasalahannya terletak pada keselamatan bekerja dokter. Setidaknya dokter yang melakukan operasi tertusuk jarum macam begitu enam bulan sekali.” Saya bertanya pada beliau “apa tidak takut tertular HIV atau hepatitis dan semacamnya dok?” Beliau dengan santai dan tenang menjawab, “Ya ini risiko pekerjaan. Kalau kita memikirkan dampak negatif kita tidak bekerja. Plus kita berdoa semoga Allah SWT selalu memberikan keselamatan dan kesehatan dan selalu berkhusnudzan.”

Karena itu, kalau sudah mantap dengan pilihan dokter sebagai profesi, hendaklah bekerja dengan hati-hati, dan penuh dengan keseriusan. Berbuat sebanyak mungkin kebaikan dengan ketulusan mengharap ridho Allah SWT melalui profesi yang telah dipilih dan ditekuni, semoga dengan itu Allah SWT memberikan keberuntungan dan kemuliaan. Karena tidak ada Zat yang bisa memberikan kemuliaan, mencabut kemuliaan dan menggantinya dengan kehinaan kecuali Allah SWT. Tidak ada niat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kemuliaan selain berharap mendapatkan ridho-Nya.

Wallahua’lam

Perbanyak orang sehat sedikitkan orang sakit

“Program kesehatan” antar orang berbeda-beda

Pada tahun 1990-an, tiga kota di Inggris Hertfordshire, Preston dan Sheffield menjadi kota yang penting dan mengundang minat yang luar biasa dari para ahli gizi sedunia. Profesor Barker yang mengungkapkan hasil pengamatan penting tersebut dan mengungkapkan sebuah konsep teori penting fetal programe.[1] Inti dari teori ini adalah apa yang terjadi pada anak selama dalam kandungan sangat menentukan “nasib” kesehatannya di kemudian hari.

Hertfordshire, Preston dan Sheffield adalah tiga kota terparah korban pemboman sekutu Nazi dalam perang dunia di Inggris. Akibatnya infrastruktur kota hancur dan rusak parah. Dampak dari rusaknya infrastruktur kota adalah suplai bahan makanan terhambat. Selanjutnya banyak ibu-ibu hamil yang kekurangan makanan, yang berakibat bayi yang dikandung mengalami kekurangan nutrisi selama kehamilan. Pada saat pemboman itu ada ibu hamil masih dalam usia kehamilan trimester pertama, ada yang trimester kedua dan dan ada pula yang trimester ketiga (3 bulan pertama, 3 bulan kedua, dan 3 bulan ketiga). Jadi dapat dikatakan, bersamaan dengan pemulihan distribusi yang memakan waktu sekitar tiga bulan, peristiwa itu berdampak kekurangan gizi pada tiga kelompok; yaitu kekurangan gizi saat hamil trimester pertama, kekurangan gizi pada trimester kedua dan kekurangan gizi pada trimester ketiga.

Yang menarik di Inggris Raya, ternyata walaupun diguncang peperangan, tetapi catatan medis tetap tersimpan dengan sangat baik dan rapi. Sehingga berapa berat badan ibu tiap kontrol mulai hamil hingga melahirkan, berat badan dan panjang badan bayi baru lahir, saat batita, saat balita, masuk TK, masuk SD setiap tahunnya hingga dewasa dan penyakit apa saja yang diderita selama waktu itu terdokumentasi dengan baik sehingga memudahkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Barker.

Secara umum hal luar biasa yang terungkap dari penelitian ini adalah, anak-anak yang dalam kandungan ibunya dalam keadaan kekurangan nutrisi, berakibat ukuran tubuhnya kecil dan berat badan kurang saat lahir, lebih pendek saat pertumbuhan sampai dewasa, setelah dewasa ternyata mengalami penyakit degeneratif seperti stroke, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, dan penyakit kolesterol lebih dini usianya ketimbang anak-anak yang kecukupan nutrisi saat di dalam perut ibu. Jadi, dapat dikatakan umumnya penyakit degeneratif tadi muncul saat memasuki usia 50 tahun lebih, pada kelompok bayi yang dalam kandungannya menderita kekurangan gizi menderita penyakit dalam usia lebih muda lagi yaitu di usia 40 tahun ke bawah. Lebih lanjut bila dirinci, (dapat dilihat pada gambar)

Trimester kehamilan saat kekurangan nutrisi




Berat lahir

Proporsi tubuh


Berat saat satu tahun


Usia dewasa


Kematian

Trimester pertama

->

Stel ulang pertumbuhan


Kurang

Proporsional kecil

->

Kurang

->

Hipertensi

->

Stroke perdarahan

Trimester kedua

->

Defisiensi insulin

->

Kurang

Kurus

->

Normal

->

Hipertensi

Diabetes melitus

->

Penyakit Jantung Koroner

Trimester ketiga

->

Defisiensi hormon pertumbuhan

->

Normal

Pendek

->

Kurang

->

Hipertensi

Kolesterol LDL naik

Fibrinogen naik

->

Penyakit Jantung koroner

Stroke sumbatan

Gambar . Kekurangan nutrisi saat kehamilan menentukan, bentuk dan ukuran tubuh, pola penyakit saat dewasa dan penyebab kematiannya

Dari gambar di atas, kekurangan nutrisi berakibat tubuh melakukan penyesuaian-penyesuaian, tetapi bersifat permanen dan dibawa terus sampai dewasa dan hingga akhir kehidupannya. Penyesuaian yang permanen ini dalam bentuk ukuran-ukuran jaringan yang lebih kecil, jumlah reseptor hormon insulin lebih sedikit, umpan balik fisiologis yang disesuaikan dengan kondisi kekurangan nutrisi saat dalam kandungan.

Kalau dibuat perumpamaan, seperti pabrik mobil. Pabrik mobil “yang nutrisinya cukup” akan menghasilkan mobil dalam ukuran besar, sampai komponen-komponennya seperti silinder, karburasi, voltage yang dibutuhkan, kapasitas tanki, kapasitas mesin dalam membakar bensin dan sebagainya sesuai “ukuran kebutuhan” bentuk fisiknya yang besar. Kondisi ini akan berbeda dengan pabrik mobil “yang nutrisinya kecil” menghasilkan mobil dengan satu set ukurannya yang berukuran kecil.

Bisa menangkap kan maksud perumpamaan ini?

Yang jadi masalah adalah, ketika mobil yang berukuran kecil ini dalam perjalanan selanjutnya dipaksakan menerima “nutrisi” mobil yang berukuran besar, mobil berukuran kecil ini akan “tenggelam” dalam kelebihan bensin dan oli, sehingga mesin mobil kecil ini jadi cepat rusak.

Kondisi inilah yang mirip terjadi dengan bayi-bayi yang mengalami kekurangan nutrisi dalam kandungan, tetapi dalam perjalanan hidup selanjutnya mengalami kemakmuran. Tubuhnya akan “tenggelam” dalam kelebihan nutrisi, jauh melebihi kapasitas kemampuan kerja sel tubuh untuk merubah nutrisi menjadi kerja dan membuat tubuh mengalami pertumbuhan dan perkembangan serta penggantian sel-sel yang rusak. Akibatnya masa kemunduran (degenerasi) berjalan lebih cepat.

Karena itu dalam konteks Indonesia, mereka yang dalam kandungan ibu mengalami kekurangan nutrisi serius, seperti dijumpai pada orang-orang yang lahir pada zaman revolusi kemerdekaan (1945 – 1948) atau zaman pemberontakan G 30 S PKI (1965) dan zaman reformasi (1997/1998), dijumpai saat lahir kecil dan kurus maka akan rentan mengalami penyakit degeneratif dini yaitu pada usia 40 – 50 tahun. Pencegahannya adalah mengusahakan agar pola nutrisi mendekati seperti dalam kandungan ibu, karena mereka sel-sel tubuh beserta fungsinya di-stel untuk keadaan kekurangan nutrisi. Jauh lebih hati-hati mereka yang lahir dengan ukuran dan berat kecil dalam pengelolaan dietnya ketimbang mereka yang lahir dengan ukuran dan berat badan yang normal.

Jadi untuk kepentingan perencanaan kesehatan, salah satu faktor yang harus menjadi dasar pertimbangan adalah melihat kembali bagaimana ukuran tubuh kita saat lahir dulu yang mencerminkan “progam kesehatan” yang ditakdirkan untuk kita di kemudian hari. Baiknya kita menanya-nanya bagaimana kondisi kesehatan ibu kita saat mengandung diri kita. Dari sana, kita menata ulang pola makan dan kerja kita sebisa mungkin kita tata mendekati pola kondisi saat kita dalam kandungan dulu.

Perbanyak orang sehat sedikitkan orang sakit hanya bisa dihasilkan secara berjamaah

Memperbanyak orang sehat dan menyedikitkan orang sakit tidak bisa ditangani sendiri oleh dokter beserta kru profesional kesehatan lainnya. Sebagai contoh, teman saya seorang dokter kepala puskesmas di daerah perkebunan teh. Beliau bercerita kepada saya, banyak pekerja teh yang mengalami patah tulang karena kecelakaan saat menuruni tanah yang terjal dan licin. Dapat dikatakan bahwa pekerjaan pemetik daun teh mempunyai risiko patah tulang. “Lalu adakah cara untuk menguranginya?” tanya saya padanya. “Sebenarnya ada, membuat undak-undakan yang landai pada daerah-daerah strategis yang sering terjadi kecelakaan” jawab beliau. “Apakah puskesmas bisa membuat itu bu?” tanya saya padanya. “Tentu tidak” jawabnya spontan. “Lalu?” saya bertanya. “Bisanya kita hanya ‘memprovokasi’ camat, lurah dan warga untuk mewujudkannya” jelas beliau.

Sementara itu di puskesmas lainnya yang agak perkotaan, dimana angka kejadian demam berdarah di tempatnya termasuk tinggi. Demam berdarah memang bukan penyakit asli orang Indonesia. Ia diimpor bersama nyamuk pembawa (vektor) dari Afrika tepatnya daerah sekitar Mesir. Nama ilmiah nyamuk vektor Aedes Aegypti mencerminkan nama aslinya Egypt = mesir. Terbawa ke Indonesia bersama dengan kapal-kapal yang singgah di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Kejadian demam berdarah pertama kali muncul di kota pelabuhan itu. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, kebersihan antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang disiplin dalam membersihkan dan merapikan rumahnya, sementara itu sebagian yang lain malas dalam bersih-bersih terutama daerah kos-kosan. Karenanya sering dijumpai obat panu dari berbagai merek di kamar-kamar kos tersebut. Akibatnya, walaupun sebagian orang sudah berusaha dengan maksimal pemukimannya bersih dari sarang nyamuk, terbukti dari pemantauan jentik dinyatakan bebas jentik, tetapi tetangga sebelahnya yang jorok adalah produsen terbesar nyamuk aedes aegypti. Selanjutnya virus dengue sebagai penyebab demam berdarah dan virus Chikungunya yang bersarang di dalam tubuh nyamuk itu dengan leluasa berterbangan “menebar pesona” yang menakutkan bagi kesehatan dan keselamatan jiwa warga dalam satu blok pemukiman yang masih dalam jangkauan terbang sang nyamuk ini. Jadi mewujudkan lingkungan yang sehat adalah tanggung jawab setiap orang, bukan orang lain.

Seorang dokter umum, teman sejawat yang juga berprofesi sebagai dosen, pernah bercerita bahwa dalam penelitiannya, pekerja yang bekerja di bagian mesin ternyata lebih berisiko menderita gangguan tuli dan angka perceraiannya relatif lebih tinggi ketimbang bagian lainnya seperti administrasi maupun customer service. Usut punya usut ternyata tingkat kebisingan di bagian mesin ini melebihi 80 dB. Sambil bercanda, beliau mengatakan “kayaknya penyebab perceraian adalah dampak suara bising dalam jangka panjang mengakibatkan impotensi disamping ketulian yang permanen”. Lagi-lagi menunjukkan fakta kepada kita bahwa banyak panyakit yang sebenarnya banyak dihindari. Pada kasus tuli permanen ini, sebenarnya pengusaha tidak saja mementingkan uang yang dihasilkan dari pabriknya, tetapi juga memikirkan kesehatan dan kesejahteraan batin para pekerja, dengan menganggarkan peredam suara mesin, sehingga orang bisa bekerja dengan nyaman dan dalam jangka panjang memberikan kesehatan yang optimal.

Satu lagi contoh bahwa banyak penyakit sebenarnya bisa dicegah dan tidak bisa diselesaikan oleh dokter dan kru profesional kesehatan saja, tetapi butuh melibatkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah tersebut. Suatu ketika dalam waktu satu minggu di dalam waktu yang berbeda, saya kedatangan lima orang dengan penyakit yang sama yaitu sakit panu atau dalam bahasa medis tinea versicolor. Satu pertanyaan saya yang jawaban mereka sama, padahal mereka tidak bersamaan memeriksakan penyakitnya kepada saya, “bapak kerja di tempat yang panas hingga berkeringat banyak?” jawab mereka “ya, tempat kerja kami tidak ada ventilasi, atap dan dinding bagian atas dari seng”. Saya mengatakan kepada mereka dengan kalimat yang sama, tetapi waktu dan orang berbeda, “mohon bapak agar meminta kepada pemilik bengkel tempat bapak bekerja agar menyediakan, angin-angin, sehingga panas bisa mengalir bersama mengalirnya udara lewat angin-angin tersebut. Penyebab penyakit bapak adalah karena ventilasi di tempat kerja bapak kurang baik. Keringat berlebihan merupakan faktor yang disukai oleh jamur penyebab penyakit yang diderita bapak. Tidak ada sebab yang lain”.

Beberapa bulan sesudahnya, salah seorang diantara mereka memeriksakan lagi ke tempat praktik saya dengan penyakit yang lain. Saya bertanya, “gimana pak sakit kulitnya sudah sembuh?” “Sudah dok, setelah ventilasi diperbaiki, penyakit jamur kulit yang kami derita itu tidak kambuh lagi”

Alhamdulillah, penyakit sembuh karena kita semua secara berjamaah yang mengatasinya.



[1] Barker, D. J. P.and Clark, P. M.: 1997; Fetal undernutrition and disease in later life; Reviews of Reproduction (1997) 2, 105–112

Dalam sejarah pernah ada suatu masa, dimana dokter tidak laku!

Suatu ketika Rasulullah SAW, pernah dihadiahi seorang dokter oleh gubernur Romawi yang berkuasa di Mesir. Seminggu pertama telah berjalan, dokter ini tidak mempunyai pasien. Dalam benak sang dokter ini, dia menduga mungkin dirinya belum di kenal secara luas di masyarakat Madinah waktu itu. Dia bersabar menunggu waktu barang satu bulan. Ternyata keadaannya sama, hampir dikatakan tidak ada pasien yang datang berobat kepadanya. Sang dokter ini mencoba bersabar lagi siapa tahu setelah satu bulan hingga menginjak bulan ke dua juga menjumpai banyak pasien sebagaimana yang dia alami di daerah-daerah lain sebelumnya ketika melakukan praktik kedokteran. Ternyata juga mengejutkan hampir dikatakan tidak ada pasien yang berobat padanya. Tiga bulan sudah, sang dokter harus banyak menganggur karena tidak ada pekerjaan yang berarti yang dapat dia lakukan sebagai seorang dokter. Bahkan Rasulullah SAW, seorang pemimpin negara Madinah, orang yang beliau “kawal” kesehatannya pun tidak sakit sama sekali dalam masa tiga bulan, waktu yang dibutuhkan sang dokter untuk merasa tersiksa karena mendapatkan “status pengangguran intelektual”.

Apa Rahasianya hingga dokter “tidak laku”?

Mempunyai Perilaku Diet yang Sehat

Hal ini sudah terjawab di akhir masa tugas sang dokter yang bertanya kepada Rasulullah SAW “apa rahasia yang menyebabkan kalian ini suatu kaum yang hampir dikatakan tidak pernah sakit?” kemudian Rasulullah SAW menjawab “kami adalah suatu kaum yang tidak makan sebelum kami lapar dan berhenti makan sebelum kami kenyang”.

Peluang olah raga terbuka sangat lebar bagi setiap orang

Pada waktu itu teknologi transportasi belum secanggih sekarang. Transportasi saat itu yang utama adalah kuda dan unta. Dapat dikatakan dengan keadaan seperti itu kecelakaan relatif sedikit dan tidak sehebat dampaknya seperti yang dialami sekarang. Karena transportasi yang “tidak nyaman” seperti kuda, membuat si pengendara harus “ikut menaik dan menurunkan” badan agar bagian vitalnya tidak “terbentur-bentur” punggung kuda. Berarti orang yang menunggang kuda termasuk berolah-raga. Seperti yang pernah diceritakan seorang teman kepada saya. Kata beliau, menunggang kuda selama satu jam itu sama capeknya dengan olah raga jogging selama satu jam. Dapat dikatakan dengan kondisi masyarakat seperti itu, cukup waktu dan dosis olah raga yang membuat seseorang menjadi bugar dan lebih tanggap dalam menyelesaikan tugas-tugas harian dalam pekerjaan.

Modal sosial yang luar biasa hebatnya.

Cerita berikut menunjukkan betapa modal sosial masyarakat waktu itu demikian spektakuler.

Suatu ketika Ubaidah bin Shamit menerima hadiah, dan beliau memiliki keluarga sebanyak 12 orang. Kemudian sahabat Ubaidah berkata, pergilah kalian dengan hadiah ini kepada keluarga fulan, karena mereka lebih membutuhkan hadiah ini daripada saya. Kemudian Wahid bin Ubadah membawa hadiah ini kepada keluarga lain. Akan tetapi, ketika ia telah sampai pada keluarga tersebut, mereka mengatakan hal yang sama. Begitu seterusnya, akhirnya hadiah itu kembali pada keluarga Ubadah sebelum waktu subuh. Dalam riwayat lain, khalifah Umar ra, pernah mendapatkan hadiah dari gubernur di Azerbaijan, Utbah bin Farqad. Kemudian utusan itu ditanya oleh khalifah: ”Apakah semua masyarakat di sana menikmati makanan ini?” Utusan itu menjawab : ”Tidak wahai Amirul Mukminin, ini adalah makanan khusus”. Khalifah berkata: ”Bawalah hadiah ini, kembalikan kepada pemiliknya, dan katakan padanya, ’Bertakwalah kepada Allah, kenyangkanlah kaum Muslimin dengan makanan yang engkau makan hingga kenyang.”[1]

Apa kaitannya modal sosial dengan kesehatan?

Sejenak kita buka sebentar teori mengenai apa modal sosial itu. Intinya modal sosial tersusun atas tiga atribut modal sosial yaitu, elemen kepercayaan (trust), kemudian jejaring (network) dan yang ketiga adalah norma sosial pertukaran (reciprocity). Rasa percaya (trust) didasari pada sebuah rasa keyakinan bahwa orang lain akan memberikan respons seperti yang diharapkan dan akan bekerja dalam cara yang saling mendukung dan menguntungkan (reciprocity), atau sedikitnya tidak akan berniat membahayakan orang lain. Untuk networking bisa bersifat berbentuk social organization misalnya dalam bentuk kegiatan posyandu, PKK, pengajian dan social network dengan bentuk rumit hubungan antar orang dalam sebuah komunitas. Rumit mencerna ya? Lebih mudahnya saya tampilkan ilustrasi berikut

Sebuah komunitas di Amerika Serikat sebagaimana diceritakan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier[2] bisa menggambarkan bagaimana modal sosial itu berfungsi. Komunitas yang diceritakan oleh Gladwell ini adalah sebuah kota kecil Roseto yang hampir sebagian besar warganya berasal dari Italia terletak di sebuah perbukitan Pensylvania. Yang menarik mengenai kota Roseto dibandingkan komunitas-komunitas kota lain di Amerika adalah angka kejadian penyakit jantung koroner sangat rendah. Padahal menurut pengamatan Wolf, dokter ahli digestif yang diceritakan Gladwell, perilaku yang ditunjukkan warga Roseto sama dengan perilaku warga kota-kota lain. Proporsi obesitas, perokok berat dan makan dengan komposisi lemak tidak ideal lebih sering dijumpai di kota Roseto ini. Wolf, heran dengan fenomena yang dia amati. Apa yang membedakan Roseto dengan komunitas kota-kota lain di Amerika yang menyebabkan kejadian penyakit jantung koroner sangat rendah?

Rahasianya ada di dalam kota Roseto sendiri! Yaitu modal sosial yang tinggi. Warga Roseto saling berkunjung satu sama lain, berhenti mengobrol dalam bahasa Italia di jalan atau memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya. Wolf lebih lanjut mengamati, banyak rumah yang ditinggali tiga generasi keluarga dan sangat hormat kepada para kakek dan nenek. Kota Roseto ini sangat religius, bagaimana gereja benar-benar menjadi pemersatu yang luar biasa. Kota pada tahun pengamatan Wolf ini berpenduduk dua ribu orang mempunyai 22 organisasi sosial. Budaya egaliter sangat mewarnai interaksi sosial antar warga, sehingga orang kaya tidak bernafsu untuk memamerkan kekayaannya bahkan lebih berambisi menolong orang-orang yang tidak mampu. Saat pertama kali melihat komunitas ini, Wolf melihat makanan dimakan orang-orang sebanyak tiga generasi di sebuah rumah, dijumpai berbagai toko kue dan roti, orang berjalan-jalan, duduk di beranda dan bercakap-cakap antara satu dengan yang lain, pabrik pakaian tempat para wanita bekerja sementara para lelaki bekerja di pabrik batu sabak.

Ternyata secara sosial komunitas di zaman Rasulullah SAW di Madinah tidak berbeda jauh dengan apa yang diceritakan Malcolm Gladwell, bahkan itsar (altruisme) yaitu mementingkan orang lain walaupun seseorang ini sangat membutuhkan menjadi hal yang lazim di komunitas kota Madinah. Bila memasak dan aroma masakan tercium sampai tetangga, mereka memperbanyak kuah agar bisa dibagikan. Saling berbagi hadiah dengan tetangga adalah hal lumrah, bahkan sehari lima kali para warga saling bersosialisasi lewat sholat lima waktu. Dapat dikatakan masyarakat Madinah mempunyai modal sosial yang sangat tinggi. Sehingga dapat dikatakan ada dua profesi yang bakal “bangkrut” pada komunitas seperti Madinah, yaitu profesi dokter dan pengacara. Karena “tidak ada” orang yang sakit dan “tidak ada” orang yang saling tuntut, karena masing-masing saling menghargai dan saling mengerti hak dan kewajiban.

Kondisi spiritual yang prima

Tidak dapat dibantah lagi, kondisi spiritual para sahabat dan warga Madinah umumnya saat itu berada dalam kondisi yang sangat prima. Dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri setiap hari selalu melakukan sholat tahajud di luar sholat wajib lima waktu. Banyak berpuasa, banyak berdzikir, dan tawakal mengikuti setiap urusan yang sudah diusakan secara maksimal. Dan saat ini telah terkumpul banyak bukti yang menghubungkan komitmen pada nilai-nilai spiritual dengan baiknya status kesehatan.



[1] Diambil dari Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 1996, Al-Idaarah fil Al-Islam; Edisi Indonesia, Manajemen Syariah, 2006, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta

[2] Malcolm Gladwell; 2009; Outliers The Story of Success; edisi Indonesia Outliers Rahasia di Balik Sukses, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments