my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Sunday, December 28, 2008

Ga tahu ya saya bukan orang sini

Saat bulan purnama dalam bentuk yang sempurna, dua orang pemabuk berat sedang seru-serunya memperdebatkan bagaiamana sih bentuk bulan yang mereka lihat...

“Kamu tahu ga, bulan itu bentuknya lonjong. Tuh lihat lonjong kan” kata salah satu pemabuk

“Kamu keliru! Yang benar itu bujur sangkar! Tuh lihat kotak bujur sangkar kan!” kata pemabuk yang lain

“Salah! Yang benar lonjong!”

“Kamu salah besar! Yang benar kotak!”

Beberapa saat setelah terjadi perdebatan seru muncul orang lain yang sedang lewat

“Eh Sadar ga sih kalo kita ini sama-sama mabuk, sebaiknya kita tanya ke orang yang lewat itu”

“Ya baiknya memang begitu”

Orang lewat tadi dipanggil dan ternyata dia menghampiri kedua pemabuk itu

“Eh Mas, kita kan sedang kebingungan, bulan itu bentuknya apa sih, lonjong atau bujur sangkar. Mas bisa memberitahu kami?”

“Wah kalau itu ga tahu ya, saya bukan orang sini pak!”

Ternyata … sama-sama orang mabuknya?!#




Industri di sektor layanan jasa, seperti layanan kesehatan, pengetahuan adalah salah satu komponen yang prima. Setiap fitur yang ditawarkan organisasi layanan kesehatan harus benar-benar terdistribusi ke seluruh karyawan baik dokter umum, dokter spesialis maupun perawat, fisioterapis, nutrisionis, bahkan sampai tukang parkir idealnya harus mengetahuinya.

Para pelanggan, biasanya akan menanyakan kepada siapa saja yang mudah untuk ditemui. Ketika kebingungan, bisa jadi dia akan menanyakannya kepada petugas parkir ketika habis memarkirkan kendaraannya. Atau menanyakannya kepada perawat, dan ini adalah hal yang lumrah dilakukan. Atau bisa jadi dia menanyakan kepada dokter umum yang kebetulan sedang menulis di status penderita. Atau dia menanyakan ke dokter spesialis yang kebetulan sedang lewat.

Nah kalau jawaban dari staf rumah sakit ini adalah “wah ga tahu ya” kan hampir mirip dengan “wah kalau itu ga tahu ya, saya bukan orang sini pak!”

Glodak!

Thursday, December 18, 2008

Tantangan "Marketing" Akibat Hadirnya Mahasiswa Kedokteran Asing di Fakultas Kedokteran di Indonesia

Saat ini fakultas-fakultas kedokteran negeri ternama banyak diramaikan mahasiswa asing yang ikut dalam kelas-kelas internasional. Kelas-kelas itu penuh mahasiswa asing dan yang menggembirakan adalah semakin tebalnya pundi-pundi keuangan institusi yang menyelenggarakannya. Betapa tidak, SPP per mahasiswa setiap semester saja sudah mencapai 20 juta lebih. Belum lagi dana pengembangan. Maka tidak mengherankan sebuah fakultas kedokteran memiliki pendapatan per tahun bisa mencapai puluhan miliar per tahun.
Bagi para praktisi kedokteran atau dokter praktik baik yang solo maupun berkelompok, melihat fenomena seperti dalam jangka panjang sebenarnya adalah sebuah ancaman bagi kelangsungan strategis “bisnis” profesinya. Mengapa ancaman?

Kalau pembaca pernah membaca buku saya “Doctors Market Yourselves” ada sebuah kutipan dari sebuah majalah nasional, yang menyebutkan ada 16 juta warga Indonesia yang mempunyai kemampuan belanja kesehatan yang setara dengan papan atas warga Singapura. Sebuah pasar yang fantastis untuk “bisnis” layanan kesehatan kan. Terbayang berapa miliar atau bahkan triliun rupiah per bulan yang bisa mengalir ke pundi-pundi kas negara Singapura ataupun Malaysia. Betapa makmurnya dokter-dokter yang ada di sana.
Sekarang coba Anda bayangkan sepuluh tahun lagi. Para mahasiswa asing yang sebagian besarnya berasal dari Malaysia itu. Berarti saat itu mereka sudah menjadi dokter bahkan menjadi dokter spesialis produk fakultas-fakultas kedokteran ternama dalam negeri. Mereka bisa praktik dan mempunyai hak yang sama dengan para dokter yang menjadi rekannya selama kuliah. Secara kompetensi dan kewenangan mereka mempunyai hak yang sama melakukan praktik di negeri Indonesia. Nah, coba Anda bayangkan lagi, seandainya rumah-rumah sakit Malaysia mendirikan cabangnya di Indonesia dalam usaha menjangkau “pasar” 16 juta (tentu saja akan bertambah jumlahnya) itu. Apa yang bisa didapat oleh dokter-dokter dalam negeri. Mungkin hanya sebagai penonton di negeri sendiri.
Ini dari sudut pandang dokter. Dari sudut pandang pasien, apa yang bisa pasien peroleh? Mereka adalah “laboratorium” besar pasien untuk latihan. Apakah uang dikeluarkan oleh mahasiswa asing itu bisa mereka rasakan untuk mendapatkan status kesehatan yang layak?
Inilah tantangan kita. Para dokter. Para pendidik fakultas kedokteran. Para praktisi dokter yang memberikan pelayanan di rumah sakit pendidikan yang menjadi ajang “latihan” bagi mahasiswa-mahasiswa asing tersebut.

Tuesday, December 9, 2008

Kekuatan Tim Dalam Praktik Dokter


Dalam hal praktik pribadi atau sering disebut solo practice, saya termasuk pelaku dan menyadari kesalahan saya tersebut. Praktik pribadi tunggal memang memiliki beberapa keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah kita adalah penentu tunggal kebijakan dalam segala hal yang berkaitan dengan operasionalisasi praktik. Mau buka praktik kapan, mau narik tariff berapa, mau menentukan target berapa pasien yang kita layani dan standar pelayanan semuanya terserah pada kita. Tetapi kekurangannya juga tidak kalah banyak. Saat terakhir ini saya menyadari sekali kekurangan itu. Ketika pasien-pasien sudah “maniak” dengan pelayanan kita, tetapi pada saat yang sama, kesibukan kita di luar praktik seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan banyaknya relasi dan semakin padatnya waktu sehingga jatah waktu keluarga semakin berkurang, maka praktik tunggal semakin menunjukkan kekurangannya. Bila kita berpikir lebih jauh lagi, apakah karier kita sebagai dokter hanya berhenti sampai disini, sebagai praktik tunggal seumur hidup. Demikian juga yang tidak kalah penting adalah kualitas layanan pada pasien yang kita berikan tentu akan sangat jauh berbeda dengan ketika melakukan praktik tunggal pertama kali.

Saat pertama kali buka praktik tunggal tentu akan memberikan perhatian sangat penuh. Masih merintis praktik, membangun “nama” atau orang pemasaran bilang sebagai “merek pribadi” dan tentu saja kesibukan masih relatif kurang, sehingga peran sebagai dokter keluarga yang memperhatikan pasien dari seluruh aspek hidupnya dapat diberikan secara utuh. Dokter muda tadi masih sempat melakukan kunjungan rumah, atau mendatangi rumah pasien manakala pasien tidak dapat datang ke tempat praktik.

Tetapi dengan berjalannya waktu, jumlah pasien makin banyak, bahkan ada beberapa teman sejawat dalam satu sesi praktik (jam 5 sore sampai jam 11 malam baru selesai) pasiennya bisa mencapai 100 pasien. Perhatiannya tidak sebanding saat pertama kali merintis praktik. Jangankan memperhatikan aspek keluarga pasien maupun keadaan rumah pasien, memperhatikan keluarga dan rumah sendiri saja sudah tidak ada waktu lagi. Dokter yang seperti ini secara psikologis tentu akan mudah jatuh pada kejenuhan. Sangat manusiawi kalau ia mudah jenuh, dan berada dalam posisi yang rawan mengalami kesalahan laten dalam pelayanan medis, berujung pada meningkatnya kejadian malpraktik. Seluruh waktunya hamper habis untuk praktik, praktik dan praktik. Maka tidak jarang keluarga dokter yang broken home, anak kurang perhatian, mudah jatuh pada pengguna obat dan sebagainya dan sebagainya.

Lain halnya bila sejak semula dokter berkolaborasi dengan teman-teman sejawatnya, mendirikan praktik bersama. Mereka saling share sumberdaya. Sumberdaya manusia ahli (dokter) mereka sendiri, share sumberdaya modal untuk dibelanjakan untuk sewa atau membeli tempat, membeli peralatan-peralatan diagnostik seperti rontgen sederhana, USG dan reagen-reagen laboratorium klinik serta kelengkapan administrasi yang sederhana sampai canggih seperti komputer beserta software pendukungnya. Dengan ketersedian berbagai sumber daya tersebut, pelayanan yang dihasilkan lebih komprehensif, lebih lama waktu pelayanannya karena dokter-dokter pendirinya bisa share waktu pelayanan, bisa 24 jam dan masing-masing dokter tidak akan kecapaian seperti yang saya alami akhir-akhir ini. Perhatian dokter dalam melayani pasien akan lebih utuh. Waktu dokter lebih luang demikian juga perhatian pelayanan yang customize pada pasien lebih bisa diberikan ketimbang dokter praktik tunggal. Maksud pelayanan yang customize adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan individu setiap pasien. Saya ada contoh dari kolega dan dosen saya yang pernah kuliah di Filipina. Di sana jarang dijumpai dokter praktik tunggal, sebagian besarnya adalah praktik bersama. Seorang pasien yang beliau wawancarai bercerita, kalau dia periksa ke tempat praktik bersama, pasti pagi hari esoknya selalu ada telefon dari klinik tempat dia periksa. Dalam telefon itu ditanyai bagaimana kabar anaknya yang sakit, apakah sudah membaik atau belum, ditanya obatnya sudah diminum atau belum, dan bila belum membaik akan diingatkan agar kontrol lagi. Demikian juga dengan jadwal imunisasi untuk anak-anaknya selalu ada telefon dari klinik praktik dokter bersama yang mengingatkan, sehingga tidak ada jadwal imunisasi yang terlupakan. Semua ini bisa terlaksana dengan dukungan software komputer yang mendukung dan staf administrasi dan perawat yang mendukung pelayanan di klinik praktik dokter bersama itu.

Beberapa hal yang berbeda adalah leader dalam perawatan medis adalah dokter keluarga. Dokter spesialis berada dalam posisi sebagai dokter konsulen. Ketika ada konsul dari dokter keluarga, dokter spesialis dan dokter keluarga memeriksa bersama-sama pasien tersebut, mendiskusikan kondisi pasien, pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang telah diberikan dan memberikan advisnya. Dengan visite dan diskusi bersama ini, tidak akan dijumpai pengobatan atau pemeriksaan ganda pada pasien, sehingga perawatan medis benar-benar efisien.

Melihat contoh di Filipina tersebut, ternyata praktik dokter bersama memberikan keuntungan yang luar biasa bagi dokter. Dokter lebih professional bekerja dan waktu luang dokter untuk keluarga lebih banyak dan dokter lebih banyak mengalokasikan waktu untuk perkembangan karier pribadinya. Cuma ada hal mendasar yang harus diperhatikan ketika pertama kali mendirikan praktik dokter bersama, yaitu kesepakatan yang jelas di awal pendirian klinik tersebut, seperti kepemilikan, pembagian keuntungan serta pembagian wewenang, hak dan tanggung jawab masing-masing pendiri. Kesepakatan yang jelas hingga ke unsur-unsur detil arus benar-benar disepakati dan tertulis hitam putihnya di depan otoritas hukum seperti notaris untuk mencegah konflik kepentingan di kemudian hari. Kan dokter juga manusia.

Wallaahua’lam

Tuesday, November 18, 2008

Wisata Bahari Lamongan Jawa Timur

Beberapa waktu yang lalu sekeluarga
merilekskan pikiran ketegangan emosi mencari suasana santai
dan...
yang jadi sasarannya adalah Lamongan
tepatnya Wisata Bahari Lamongan
Inih ni hasil bidikannya



Sebenarnya adalah apa yang sebelumnya dikenal sebagai Tanjung Kodok
tuh ada tulisan kodoknya...


Nah yang ini pura-puranya berdiri di atas kapal....



Kalo yang ini umi sedang mejeng makan di tepi laut...



Serangga ini yang bikin kulit merah-merah... karena menyentuh getah tubuhnya
ini ditemukan saat makan di pinggir jalan saat maghrib



di menara inilah tempat meneropong munculnya bulan untuk menentukan sudah masuk atau belum bulan romadhon, bulan syawal atau bulan dzulhijah


Tuh kan bentuknya kayak kodok...



tidak lupa yang ini NARSISS


si Yunior juga ga lupa narsisnya...
he he he

Monday, November 17, 2008

Mawar Berduri

Aku sama sekali tidak pernah menyesali kalau diriku terlahir untuk menjalani kehidupan sebagai dokter. Dan sudah memang seharusnya aku bersyukur atas keadaanku saat ini. Bersyukur itulah yang membuat hidup kita jadi bahagia dan bermakna. Karena bersyukur itu pula lah yang membuat kita mencintai apa saja yang kita miliki, dan menyadari kalau itu adalah karunia dari Sang Maha Pemberi Karunia.

Ketika aku tanyakan kepada satu persatu teman-temanku dokter yang lain apakah mereka pernah menyesali kalau mereka ditakdirkan menjadi dokter? Mereka semua menjawab tidak. Walaupun ada yang menjalaninya dengan kondisi pas-pasan untuk ukuran dokter. Ada dokter umum yang bepergian kemana-mana naik sepeda motor. Kalau yang ini udah biasa. Jangan heran lho ada temanku yang spesialis dokter bedah tidak punya mobil, kemana-mana naik sepeda motor. Ada juga dokter spesialis penyakit dalam mobilnya toyota kijang kotak dan cat mobilnya mulai memudar. Beliau ini lebih banyak naik sepeda motornya ketimbang naik mobil. Ada pula spesialis Jiwa yang kemana-mana naik kendaraan umum. Ada pula yang spesialis anestesi yang juga sama dengan spesialis Jiwa tadi. Tapi tidak sedikit pula spesialis yang mobilnya selalu generasi terbaru dan jumlahnya lebih dari satu.

Mengapa aku harus bertanya apakah menyesal telah menjalani kehidupan menjadi dokter?

Sering orang mengatakan betapa indah menjadi dokter, banyak amalnya, banyak harta, setidaknya sangat jarang dijumpai adanya dokter yang miskin. Kata mulia dan banyak gambaran-gambaran indah lainnya sering dikaitkan dengan sebuah kata untuk menggambarkan profesi pengusaha penyembuhan, dokter.

Sering orang bermimpi punya suami atau istri dokter, punya anak dokter, punya menantu dokter, dan tidak sedikit pula yang bermimpi menjadi dokter. Puluhan hingga ratusan ribu lulusan SMA yang tidak lulus seleksi masuk fakultas kedokteran setiap tahunnya.

Tetapi menjadi dokter, mempunyai beban tanggung jawab yang luar biasa berat. Tuntutan profesinya demikian menghunjam dan mengusik kenyamanan diri. Dan yang tidak kalah hebat adalah resiko pekerjaan yang bisa mengancam kesehatan bahkan nyawa. Bila tidak dengan dasar kematangan emosional yang baik, menjalani profesi dokter mudah mengalami kejenuhan yang sangat dahsyat. Akibatnya tidak sedikit dokter yang sakit jiwa, menjadi pecandu obat dan beberapa diantaranya ada yang bunuh diri dan gila.

Perkembangan terakhir HIV AIDS juga infeksi Hepatitis B, membuat profesi dokter menjadi profesi yang sangat beresiko tertular kedua penyakit yang mematikan itu. Dokter tertusuk jarum yang telah dipakai oleh pasien merupakan kecelakaan yang “biasa” dijumpai pada dokter atau perawat. Teman dokter bedah menceritakan kejadian tertusuk jarum, dia alami dua kali dalam satu tahun terakhir. Kejadian tertusuk jarum yang digunakan melakukan penjahitan luka operasi kemungkinannya semakin besar manakala dia berdinas di rumah sakit pemerintah. Biasa katanya, jarumnya sering mulai tumpul, sudah hal yang lumrah prosedur birokrasi pengajuan jarum baru harus melalui rangkaian birokrasi yang menjengkelkan rumitnya. Jadi dokter bedah atau dokter umum atau perawat yang bertugas di rumah sakit mempunyai resiko kena infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat sistem kerja di rumah sakit) sangat tinggi. Dibandingkan populasi umum, dokter bedah dan krunya berada di posisi tertinggi mendapatkan resiko dari jalur ini. Memang seringkali dokter dan krunya dibuat menjadi sama sekali tidak berdaya oleh sistem. Saya sendiri, mengalami tertusuk jarum yang digunakan pasien selama delapan tahun praktik dua kali. Lumayan lebih kecil ketimbang sejawat saya yang dokter bedah. Sebuah penelitian di rumah sakit swasta di Jogja, melaporkan tiga kejadian infeksi nosokomial pada dokter yang bekerja di rumah sakit swasta tersebut selama tiga tahun terakhir. Ketiganya menderita penyakit hepatitis B.

Dokter bedah teman saya ini, setelah saya beritahukan hasil penelitian itu, mengatakan, “Kalau kita menjalani profesi ini karena tidak didasari ibadah, tentu akan berpikir takut dan serba was-was. Saya katakan itulah resiko pekerjaan sebagai dokter bedah. Saya pun tidak bisa menjamin apakah saya bebas hepatitis B atau HIV, na’udzubillah. Itulah resiko dari pekerjaan saya. Sama seperti pekerjaan lain yang mempunyai resiko”

Beberapa waktu yang lalu, seorang sejawat dokter penyakit dalam bercerita kepada saya. Dia pernah merawat seseorang yang dia diagnosis menderita demam tyfoid. Pasien ini sangat spesial, lumayan lama dirawat di rumah sakit hingga dua minggu. Setelah beberapa kali kontrol dan merasa dekat dengan teman sejawat dokter penyakit dalam tadi, pasien mulai mengatakan hal yang sesungguhnya, bahwa dia menderita HIV positif. Mendapatkan kabar seperti itu, teman sejawat dokter penyakit dalam ini memberikan informasi tersebut kepada kolega perawat yang ikut merawat pasien ini. Hampir semuanya panik dan was was, kalau-kalau ada kontak darah, atau semacam jarum tertusuk yang seperti dialami teman sejawat dokter bedah atau saya sendiri. Mereka semua mencoba meyakinkan bahwa tidak ada kecelakaan selama menangani pasien ini. Mengingat dua minggu adalah waktu yang terlalu lama untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan, karena sebelumnya tidak ada “warning”.

Kakak perempuan saya yang telah lulus dokter spesialis paru, mengatakan setiap dia jaga di bagian paru saat sekolah spesialis di RS dr Soetomo, hampir selalu menjumpai pasien dengan HIV positif. Bahkan saat ada dokter muda yang ujian, oleh perawatnya tidak diberitahu kalau pasien yang dia tangani saat ujian adalah penderita HIV positif. Pada saat melakukan pengambilan darah, dokter muda yang berjilbab ini mengalami kecelakaan pekerjaan dokter. Dia tertusuk jarum yang digunakan untuk mengambil darah pasien HIV positif ini. Setelah ujian selesai, hari berikutnya dia baru diberitahu kalau pasien ini ternyata HIV positif. Dokter muda ini langsung syok mendengar kabar ini.

Yah itulah, seperti yang dikatakan teman sejawat saya dokter bedah, resiko pekerjaan. Memang profesi dokter itu seperti bunga mawar yang tampak indah. Tetapi dibalik keindahan itu ternyata banyak duri yang siap sedia untuk menusuk siapa saja yang tidak hati-hati ketika menyentuhnya.

Wallahua’lam

Surakarta 17 November 2008

Sunday, November 2, 2008

Just Image















Kultur Revolusi Seksual

Saat sedang santai baca buku setelah urusan praktik selesai, penyeranta handphone saya berbunyi…. ternyata ada SMS.

dari 08564xxxxx

dok, ini Evi mhn maaf mo nanya gynecosid itu obat apa sih, efek smpingnya apa? kalo beli mmang hrs pake resep?

Saya menjawab

081225xxxxxx

Itu obat hormon kewanitaan, hrs dengan resep dokter. Lha ada apa mbak?

Beberapa menit kemudian

Dari 08564xxxxx

Saya sdh ga mens 2 bln ini, kata tmn2 gynecosid itu bisa membuat mens. Kalo boleh sy mnta respnya ya dok.. boleh ya

Saya membalas kembali

081225xxxxxx

Wah mbak kalo nulis resep apalagi obt hrs ada alasannya. Ga bs lgsng tembak. Sy sarankan mbak perxa lab dulu, mmastikan itu bukan kehamilan..

Kembali ada balasan

Dari 08564xxxxx

Trs terang kayaknya hamil, sy sdang skripsi, sy anak sulung, si cowok cuek… sy didiemin aja

Saya balas sms-nya

081225xxxxx

Mbak Evi yg b4ik, sy ada pasien anak, dia cacat, matanya suka nglirik ke atas, air ludahnya suka nyrocos terus… ortunya sm2 mhsiswa. Mncoba menggugurkan, dng obt mcm2 tms obt kimia & trdisionl. Ternyt anaknya ttap bertahan smpe lahr. Skrng ke2 ortunya ga tahu dimana. Anak itu dirwt pa becak.. maaf mbak kalo sy mngcewakn..

………………………………………………………

Penasaran ya kelanjutan ceritanya...

saya terus terang ga bisa ngasih advis apa-apa for this girl...

Eh ngomong-ngomong kasihan ya anak yang bola matanya suka ngelirik ke atas, ludahnya suka nyrocos keluar, korban ortunya yang sama-sama tidak menghendaki kelahirannya, karena ketergesaan cinta dan berusaha membunuhnya, tetapi gagal, akhirnya lahir cacat seperti yang saya ceritakan di sms.

Puisi sang anak malang

Ooh sungguh malang diriku

Akulah noda dari cinta yang bergairah

Akulah aib dari cinta yang merekah

Akulah satu bintang yang coba dihapus dari malam

Akulah kota yang coba dihapus dari peta

Tetapi mereka tidak mampu mengubah takdir

Aku tetap terlahir

Aku tetap ada

Semua perasaan yang seharusnya ada untukku, tetapi dia dicampakkan jauh-jauh

Aku dianggap tidak ada

Aku tak diacuhkan sama sekali

Aku lahir dengan ketidaksiapan cinta

Aku lahir tak diharapkan

Aku lahir tuk dikorbankan

Aku lahir tuk dikalahkan oleh harga diri

Aku lahir tuk dicampakkan agar mereka tetap terhormat di depan manusia

Dengan cacat yang tlah mereka lakukan padaku

Cacat yang harus aku tanggung sendiri sampai tutup usiaku menjelang

Penderitaan yang aku jalani tanpa penerimaan

Tanpa dukungan

Bahkan oleh bapak ibu biologisku sendiri

Kasus Evi dan anak cacat yang gagal diabortus ortunya adalah masalah yang sering dijumpai di era “kebebasan seksual” dewasa ini. Abortus arti katanya usaha menggagalkan kehamilan, bisa pula diartikan usaha “membunuh” janin. Kriteria usia “membunuh” masih menjadi kontroversi di kalangan medis di berbagai belahan dunia. Istilah abortus dimunculkan untuk lebih membuat “nyaman” ketika melakukan tindakan “membunuh” janin. Apalagi kalau dilakukan secara sengaja dan bukan karena indikasi medis. Kejadian abortus yang berhasil (contoh di atas adalah kasus abortus yang tidak berhasil) mempunyai catatan statistik yang luar biasa. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian[1] :

1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura

antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia

antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina

antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand

Resiko tindakan abortus banyak ditanggung oleh wanita. Kita lihat dari data yang dihimpun oleh WHO semuanya ditanggung wanita.

Selama saya melakukan praktik dalam delapan tahun terakhir, saya menjumpai lebih dari sepuluh kasus penyakit menular seksual seperti gonorhoea (dibaca gonore), atau orang biasa menyebut dengan kencing nanah. Karena yang sering dikeluhkan pada muara penisnya merembes carian putih kental bercampur nanah, menjadi flek-flek kekuningan di celana dalamnya. Dan yang lebih memrihatinkan adalah kesemuanya adalah mahasiswa. Kalau kita merujuk pada kepustakaan, seseorang yang telah menderita gonorhoea didapatkan telah melakukan hubungan seksual rata-rata dengan 4 pasangan seksual. Penderita sifilis melakukan hubungan seks dengan rata-rata 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya.

Jadi 10 mahasiswa yang datang di tempat praktik saya dalam 8 tahun terakhir, mencerminkan sudah punya resiko menularkan dan ditularkan penyakitnya kepada 40 pasangan seksual mereka. Bahkan ada dua orang dari mereka datang ke tempat praktik karena kambuh lebih dari empat kali dalam periode waktu yang berbeda.

saya bingung harus bagaimana? tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?

[1] Azhari, 2002, masalah abortus dan kesehatan reproduksi perempuan dalam Seminar Kelahiran Tidak diinginkan (aborsi) Dalam Kesejahteraan Reproduksi Remaja, Palembang 25 Juni 2002

Saturday, November 1, 2008

Mengapa Pasien Berobat ke Dokter

Menurut Grossman (1972), masing-masing individu melakukan produksi, menggunakan aneka input di “pasar”, untuk melipatgandakan stok kesehatan dalam tubuhnya sehingga jumlah hari-hari sehatnya (healthy days) bertambah, sekaligus “mengisi ulang” stok kesehatan yang berkurang (depleted, depreciated) akibat proses penuaan, iklim, penyakit, polusi, bencana alam, dan sebagainya. Aneka input kesehatan tersebut mencakup pelayanan kesehatan, makanan bergizi, gaya hidup, lingkungan pemukiman yang baik, dan sebagainya. Makin banyak jumlah makanan bergizi yang dikonsumsi, makin sehat individu. Makin baik pemukiman individu, makin tinggi derajat kesehatan individu. Demikian juga, makin banyak kuantitas pelayanan kesehatan yang dikonsumsi individu, makin tinggi status kesehatan individu.[1] [2]

Dengan melihat definisi Grossman di atas, maka pasien datang berobat ke dokter motivasi terbesarnya adalah ingin mengembalikan atau mendapatkan kembali hari-hari sehatnya yang hilang. Jadi pergi ke dokter hanyalah turunan dari kebutuhan utamanya memproduksi hari-hari sehatnya. Atau dapat pula dikatakan dokter hanyalah sebuah agen bagi pasien untuk memperoleh hari-hari sehatnya kembali. Dalam taraf ideal, mendapatkan kesehatan adalah hak setiap orang. Karena itu mendapatkan kesehatan adalah termasuk salah satu hak azasi manusia. Atau dapat dikategorikan mendapatkan pelayanan kesehatan adalah barang publik. Artinya setiap orang tanpa ada diskriminasi berhak memperolehnya secara gratis. Akan tetapi, sistem kesehatan yang dianut di negara kita, tidaklah demikian. Karena keterbatasan sumber daya pemerintah, sehingga sebagian, bahkan sebagian besar kebutuhan layanan kesehatan ini diserahkan kepada pihak swasta (70 – 80 % layanan kesehatan yang dikonsumsi masyarakat di Indonesia saat ini adalah layanan kesehatan swasta)[3].

Inilah tantangan dokter, bagaimana mengusahakan layanan kesehatan dari dokter baik pribadi maupun institusi layanan kesehatan pemerintah maupun swasta menjadi barang publik. Memenuhi hak setiap orang memperoleh kesehatannya. Mengusahakan layanan kesehatan menjadi public good (barang publik) akan menurunkan biaya kesehatan yang merupakan salah satu unsur biaya produksi. Bila biaya produksi turun, maka akan meningkatkan daya saing manusia Indonesia, karena rendahnya biaya produksi yang merupakan salah satu andil dari biaya kesehatan. Sebuah idealisme, yang menantang kita untuk mewujudkannya. Kenyataan memang banyak bukti yang menunjukkan bahwa kesehatan “hanya hak orang kaya dan punya uang” seperti ungkapan-ungkapan berikut :

……….Istriku bukan keluarga pasien, tapi ketika masuk ke sana si perawat bertanya, "Anda keluarga pasien? Sudah ada uang buat biaya pengobatan?"

………………………..

dulu aku pernah nolongin anak SMP korban tabrak lari pas sedang dlm perjalanan ke kantor. Aku minta tolong sama RS terdekat (kebetulan kejadiannya jg pas di depan RS itu), eh kata satpamnya,”wah susah mbak kalo nggak ada penjaminnya..”[4]

Jadi Mengapa Pasien Datang Berobat ke Dokter?

Alasan utamanya mereka sakit ingin sembuh. Ketika memilih tidak serta merta langsung membuat keputusan ada dokter yang tinggalnya dekat dengan rumahnya langsung berobat. Tidak! Dia butuh belajar dulu, apakah dokter yang berada di dekat tempat tinggalnya itu bisa dipercaya atau tidak. Tidak dipercaya? Ya. Mereka butuh bukti-bukti yang bisa mereka persepsi bahwa dokter yang praktik dekat tempat tinggalnya itu benar-benar bisa dipercaya dan kredibel. Hanya sedikit orang yang mau menjadi “kelinci percobaan” dan beranggapan semua dokter mempunyai kualitas yang sama dan terstandarisasi. Setelah melihat banyak orang yang sakit dan berobat ke dokter tadi bisa sembuh dan tertangani keluhan maupun penyakitnya maka, barulah ia memberanikan diri mempercayai dokter tadi. Butuh proses.

Kata kuncinya adalah kepercayaan. Dalam kehidupan sehari-hari ketika kita makan di warung Tegal, penjual makanan tidak akan memelototi Anda kan ketika Anda makan dengan santai mengambil lauk atau makanan ringan yang dihidangkan. Mereka tidak akan terus-menerus memelototi gerakan tangan Anda sembari menghitung-hitung berapa jumlah makanan yang Anda ambil. Mereka sepenuhnya percaya kepada kejujuran Anda berapa lauk yang Anda ambil untuk dihitung berapa rupiah yang harus Anda bayar kepada sang penjual. Lain halnya kalau penjual tidak percaya, Anda makan tidak akan nyaman. Terus dipelototin. Demikian juga di tempat-tempat lain.

Jadi inti pesan yang ingin saya sampaikan adalah adanya kepercayaan di antara kita sesama manusia akan membuat hidup ini begitu nyaman dan sangat murah. Sangat murah? Kalau penjual warung tegal itu tidak percaya dengan setiap orang yang makan di warungnya, tentu dia akan membayar lebih banyak pekerja yang berfungsi sebagai tukang “mata-mata” untuk menghitung berapa makanan tambahan yang Anda ambil. Berarti ada tambahan biaya yaitu menggaji tukang “mata-mata”. Dan hasil akhirnya tarif makan di warung Tegal akan sangat mahal. Demikian juga dengan berbelanja di toko, berbelanja menjadi tidak aman, sedang biaya untuk menjalankan operasional toko juga bertambah mahal karena adanya pengawasan “ekstra” terhadap pengunjung oleh karyawan tambahan.

Praktik dokter dalam suasana yang tidak ada budaya trust juga akan berbiaya mahal. Dokter akan mengeluarkan uang untuk asuransi “tuntutan” malpraktik, untuk jaga-jaga sewaktu-waktu ada tuntutan malpraktik dari pasiennya. Selain biaya asuransi, juga menganggarkan cadangan dana untuk menutup biaya dari jasa pengacara. Sebagai hasil akhirnya jasa praktik dokter menjadi bertambah mahal.

Dalam perspektif yang lebih luas, Francis Fukuyama, dalam bukunya Trust [5] menyebutkan bahwa mangkirnya kepercayaan dalam suatu masyarakat menyebabkan kinerja ekonomi yang buruk beserta implikasi-implikasi sosial yang menyertainya. Selanjutnya, Francis menyebutkan sebuah kasus berikut :

Di sebuah kota kecil di Italia selatan selama tahun 1950-an, Edward Banfield mencatat banyaknya warga negara kaya yang enggan untuk bersama-sama mendirikan sekolah atau rumah sakit, padahal kedua fasilitas umum ini sangat dibutuhkan oleh penduduk kota itu. Mereka juga emoh untuk membangun perusahaan, meskipun mereka meiliki kelimpahan modal dan buruh. Alasannya sederhana, mereka menganggap bahwa membangun fasilitas umum adalah kewajiban negara, bukan mereka.

Di bagian lain, mencontohkan, betapa negara sedemokratis Amerika terpaksa mengeluarkan lebih banyak anggaran negaranya ketimbang negara-negara industri lain untuk menahan lebih dari satu persen penduduknya di penjara dan mendanai program perlindungan polisi. Secara substansial, Amerika Serikat juga terpaksa membayar lebih banyak ketimbang yang dibayarkan Eropa atau Jepang untuk membayar pengacaranya, sehingga para warga negaranya bisa saling tuntut satu sama lain.

Trust atau kepercayaan yang tidak terbina dengan baik, juga memperburuk kinerja perusahaan atau suatu institusi. Hal ini dibenarkan oleh W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, dalam buku best seller-nya Blue Ocean Strategy [6], mencontohkan sebuah pabrik yang melanggar prinsip proses yang adil 3 E Engangement, Explanations, Expectation clarity. Engagement berarti melibatkan individu-individu dalam keputusan-keputusan strategis, explanation berarti bahwa setiap orang yang terlibat harus memahami kenapa keputusan strategis dibuat, dan expectation clarity bahwa pegawai harus tahu sedari awal standar apa yang akan digunakan untuk menilai mereka dan sanksi apa yang dijatuhkan untuk kegagalan. Pelanggaran yang dilakukan pabrik tadi adalah tidak melibatkan pegawai dalam keputusan-keputusan strategis yang secara langsung mempengaruhi mereka, mendatangkan konsultan asing yang tidak saja sekedar berbeda busananya, tetapi juga berbisik-bisik dan kasak-kusuk sesama mereka, ditambah sang manajer jarang hadir. Akibatnya muncul ketidak percayaan, walaupun strategi yang dihasilkan bagus, tetapi gagal dalam implementasi hanya karena ada prasangka yang seharusnya bisa diantisipasi sejak awal.

Dikatakan pula dalam buku yang sama bahwa individu mencari pengakuan terhadap nilai mereka, bukan sebagai “buruh”, “personalia”, atau “sumber daya manusia”, melainkan sebagai manusia yang diperlakukan dengan rasa hormat. Menurut kedua penulis ini pula, proses yang adil akan mendatangkan suatu rangkaian komitmen, kepercayaan dan kerja sama sukarela bukan sekadar sikap atau perilaku tetapi merupakan modal intangible (tidak berwujud fisik).

Hubungan yang dilandasi saling percaya

Idealnya hubungan dokter dan pasien dilandasi oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Pasien yang membutuhkan penyembuhan atas sakit yang diderita, sedangkan dokter adalah pihak lain yang sangat tahu mengenai kondisi sakit pasien. Keduanya sebagaimana diketahui terdapat kesenjangan pengetahuan yang sangat lebar. Karena itu butuh sesuatu untuk menjembatani jurang itu, yaitu adanya rasa percaya diantara kedua belah pihak. Pasien mempercayai bahwa dokter tidak mempermainkan dirinya, tidak berorientasi mengambil sebanyak keuntungan dari uang yang dikeluarkan pasien, tidak menjadi obyek penelitian yang tidak jelas resikonya, dan tidak melakukan pemeriksaan dan pemberian tindakan ataupun terapi secara sembrono, sudah dipertimbangkan secara matang, sesuai kompetensi yang dimiliki oleh dokter. Yang sangat ditekankan adalah bahwa dokter dan pasien secara prinsip secara bersama-sama berikhtiar dalam kepemimpinan sang dokter berusaha mencari kesembuhan atau berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien.


[1] Bhisma Murti, Laksono Trisnantori, Ari Probandari, Atik Heru Maryanti, Deni Hardianto, Mubasysyir Hasanbasri, Titik Wisnuputri; 2006, Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota, Gajah Mada University Press.

[2] Goodman, AC; Stano, M; Tilford, JM, 1998, Houshold Production of Health Investment*analysis and Aplications, MG_DOC June 17, 1998

[3] Wawancara pribadi dengan Bhisma Murti, September 2007

[5] Francis Fukuyama, 1995, Trust, The Social Vitues and the Creation of Prosperity, Edisi Indonesia, Trust; Kebajikan Sosial dan Pencipataan Kemakmuran, Penerbit Qalam, Nopember 2002

[6] W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School Publishing Corporation, Boston; Edisi terjemahan Indonesia, Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru), Penerjemah Satrio Wahono, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, Januari 2006

Monday, October 20, 2008

Sang petani cinta

Ketika sang waktu mengantarkan kita

Pada keresahan jiwa yang meledakkan nurani

Mencari bagiannya yang hilang

Ketika sang waktu mempertemukan kita

Terasa lautan cinta yang maha luas itu dicicipkan pada kita

Menggenangi hati kita yang gersang

Jiwa telah tenang menemukan dirinya kembali

Menemukan kembali kekuatannya

Kita menjadi petani cinta

Mencangkul tanah jiwa dan cinta kita yang masih meradang kering

Siang malam kita siapkan dia

Tuk menerima benih cinta yang diamanahkanNya pada kita

Tanah gersang itu telah berubah

Benih cinta itu tlah tumbuh dan terus tumbuh

Menjadi tanaman cinta kita

Merawatnya dari segala marabahaya..

Pada saat yang sama

Kita terus gemburkan tanah cinta kita..

Agar akar tanaman cinta itu terus tumbuh menghunjam ke dasar sana

Agar ia kokoh

Agar ia banyak mengambil sari-sari cinta dari tanah cinta kita

Kita terus bersama dalam keindahan tanah dan tanaman cinta kita….

Itulah sepuluh tahun terakhir yang kita lakukan..

Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke sepuluh

19 Oktober 1998 – 19 Oktober 2008

Maksud kami “Asyhaduanna…..”

Suparjo, sore itu sudah mandi membersihkan badan dari kotoran lumpur sawah. Sebagaimana tradisi di daerahnya, adzan untuk sholat ashar dikumandangkan pada jam setengah lima sore. Sudah lima tahun ini Parjo, menjadi muadzin desa, untuk lima waktu sholat. Pergi ke masjid yang sudah menjadi tambatan hatinya, Parjo menyalakan sound system, dan mulailah mengumandangkan adzan…

“Allahu akbar.. Allahu akbar”

…………………………………………………….

“Allahu akbar…Allaahu akbar”

…………………………………………………………

“Asyhadu allaa ilaaha illaallaaah”

……………………………………………………………..

“Asyhadu allaa ilaaahaa illaallaaaah”

………………………………………………………………..

“Asyhadu anna muhammaadarrasulullaah”

……………………………………………………………………..

“Hayya’alashsholaah”

…………eh….keliru….

Maksud kami

“Asyhadu anna muhammadarrasulullaah”

………………hingga selesai

Walaupun Parjo sudah lima tahun ini menjadi muadzin, ternyata kepleset juga. Seperti kata pepatah “sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga”. Apa yang dialami Parjo, hampir semua diantara kita pernah mengalaminya. Orang sering bilang “aku sedang blank” atau ungkapan lain “aku sedang hang” mengungkapkan keadaan dalam pikiran kita bahwa saat ini sedang mengalami keletihan pikiran, sehingga terasa mengambang dan tidak bisa konsentrasi. Faktor utamanya adalah karena kita sedang kelelahan. Dokter juga manusia, pernah bahkan sering mengalami masa blank atau eror, secara statistik diperkirakan 3 % dalam masa jam praktiknya dokter mengalami fase seperti itu. Karena itu pembatasan tempat praktik maksimal 3 tempat praktik adalah salah satu usaha untuk meminimalkan jumlah fase blank ini.

Sunday, October 5, 2008

Taqobbalallaahu minna wa minkum Taqobbal yaa kariim Minal aidzin wal faidzin selamat hari raya Idul fitri 1429 H



Dari lubuk hati yang kecil dan paling dalam




Kami sekeluarga mengucapkan:
Selamat Idul Fitri 1429 H, minal aidzin wal faidzin, taqobbalallaahu minna waminkum taqobbal yaa Kariim Amiin. Mohon maaf lahir dan batin




semoga kelapangan hati untuk menyegerakan berbuat kebaikan, memberi maaf, selalu menyertai kehidupan kita dalam menyusuri sisa umur kita.

semoga kelapangan barokah selalu menyelimuti kehidupan kita membuat kita lebih mudah menemukan makna kehidupan
amin

Friday, September 26, 2008

Sebuah E-Mail dari Adik

Subuh ini membuka surat-surat e-mail, ternyata banyak surat dan salah satunya dari adik. hasil forward dari banyak alamat.... terus saya merasa ini layak untuk kita renungkan bersama... saya ingin berbagi e-mail itu di sini




SEMENIT SAJA

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000,- apabila dibawa ke
masjid
untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk
dibelanjakan!

Betapa lamanya melayani Allah SWT selama lima belas menit namun
betapa singkatnya kalau kita melihat film.

Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun
betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman
tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya a pabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra
namun
Kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur'an tapi
betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser
namun
Lebih senang berada di shaf paling belakang ketika berada di Masjid

Betapa mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata,
namun
Alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.
Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun
betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada
saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam al qur'an;
namun
Betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun
Betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.

Betapa Takutnya kita apabila dipanggil Boss dan cepat-cepat menghadapnya
namun
Betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat kumandang azan
menggema.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya
atau
Berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.
Betapa kita dapat menyebarkan seribu

Lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api;
namun
Kalau ada mail yang isinya tentang Keagungan Allah SWT betapa seringnya
kita ragu-ragu,
enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon
DELETE.

ANDA TERTAWA ...? atau ANDA BERPIKIR-PIKIR. .?
Sebar luaskanlah Sabda-Nya, bersyukurlah
kepada ALLAH SWT, YANG MAHA MENGETAHUI, MENDENGAR, PENGASIH DAN PENYAYANG.
Apakah tidak lucu apabila anda tidak memFORWARD pesan ini. Betapa banyak
orang tidak akan menerima pesan ini, karena anda tidak yakin bahwa mereka
masih percaya akan sesuatu. . . . . .

Tuesday, September 16, 2008

Renungan Romadhon 1429 H bagian ke 2

Menuju puncak sembilan detik yang sempurna

“Door” suara pistol juri melengking tinggi di angkasa Beijing tempat olimpiade dunia. Para pelari unggul dari berbagai dunia memacu otot-otot paha, tungkai bawah dan kakinya untuk menunjukkan siapa yang bakal mendapatkan gelar manusia tercepat di dunia di awal abad milenium ketiga.

Dan sang juara telah mencapai finish. Seratus meter ditempuh dalam sembilan koma tujuh detik, Bolt pelari dari negeri Jamaika, telah melakukannya. Dialah manusia tercepat di bumi saat ini. Bagaimana rahasia Bolt bisa menghasilkan prestasi yang luar biasa ini. Ternyata setelah dirunut ke belakang, si Bolt kecil yang berusia empat tahun itu telah dilatih ayahnya untuk menggenjot latihan sebagai sprinter. Luar biasa.

Ternyata Bolt yang memulai latihan olah raga yang menjadi spesialisasinya tidak sendiri. Atlet lain seperti David Beckham di dunia sepak bola juga telah digembleng ayahnya sejak usia empat tahunan. Kenyataan ini telah didukung penelitian ekstensif yang meneliti orang-orang yang berprestasi luar biasa seperti para olah ragawan juara dunia. Yang luar biasa adalah hasil penelitian itu mendapatkan hasil yang serupa. Mereka yang prestasinya tingkat dunia, mulai intensif melatih diri sejak usia dini di bawah enam tahun. Mereka yang prestasinya sampai di tingkat nasional memulai latihan intensif di usia yang lebih tua, demikian juga yang berprestasi di tingkat bawahnya pun juga memulai latihan intensif dalam usia yang lebih tua lagi.

Ulama besar kita seperti Imam Syafii, tidak saja disiplin belajarnya yang tinggi, tetapi juga memulai belajar sejak usia dini. Beliau hafidz (hafal di luar kepala) Al-qur’an pada usia yang sangat dini di usia tujuh tahun. Bahkan karakter ulama telah terbentuk jauh sebelum Imam Syafii lahir. Karakter kesholihan orang tua sang Imam unggul dari kebanyakan orang. Dikisahkan, ayah Imam Syafii, sedang lapar dan haus setelah menempuh perjalanan, di suatu sungai beliau menemukan sebiji buah apel. Karena hanya apel yang hanyut di sungai, langsung saja beliau makan apel itu. Baru separuh beliau makan, beliau memandang dari jauh tampak kebun apel dan sebuah rumah. Beliau menghentikan makan buah apel itu, serta merta berjalan menuju rumah dengan kebun apel, dimana sungai yang berjalan dari rumah dan kebun apel itu dengan sungai tempat beliau menemukan buah apel itu, masih sungai yang sama. Setelah bertemu dengan si pemilik rumah dan kebun apel, ayah Imam Syafii ini meminta maaf karena memakan buah apel tidak meminta izin kepada yang memiliki. Mengetahui ada seorang pemuda yang jujur seperti itu, segera si pemilik menikahkannya dengan anak gadisnya. Dan dari pernikahan itu lahirlah Imam Syafii.

Pembaca yang budiman, memperoleh puncak kesempurnaan ibadah di bulan Romadhon yang hanya di sepuluh hari terakhir, sama dengan prestasi Bolt maupun atlet atau orang-orang bertalenta kualitas dunia, dia butuh proses dan kedisiplinan yang sama. Sama pula dengan proses terbentuknya karakter luhur dari sang Imam Syafii. Puncak sepuluh hari terakhir adalah buah perjuangan spiritual beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelumnya. Hari ini masih belum terlambat. Masih ada banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Meningkatkan kualitas ruhiyah kita. Menuju sepuluh hari yang bernilai, melebihi panjangnya usia biologis kita.

Terima kasih jazakumullah khoiron katsiiro pada Ukhti Lya, instruktur olah raga yang bercerita tentang Bolt, sang Juara dunia lari seratus meter pria.

Wallaahua’lam

Sunday, September 7, 2008

Renungan Romadhon 1429 H

Lima belas menit yang bermakna

Daniel Goleman di bukunya Emotional Intelligence yang fenomenal itu, memaparkan sebuah penelitian pada sekelompok anak-anak usia pra sekolah. Kepada sekelompok anak-anak ini, peneliti membagikan satu biji makanan kecil semacam gula-gula, sembari mengatakan, “kalian boleh memakan gula-gula ini, tapi kalian hanya mendapatkan satu ini saja. Tetapi kalau kalian bisa bersabar, menunggu saya, kalian memperoleh tambahan satu gula-gula lagi”.

Ternyata respons anak-anak itu terbagi menjadi dua, pertama, ada yang langsung saja memakan satu gula-gula itu, dengan konsekuensi tidak mendapatkan gula-gula selanjutnya. Yang kedua, ada yang bersabar menunggu datangnya sang peneliti, dan mendapatkan dua gula-gula. Sekedar diketahui, jeda waktu antara peneliti pergi meninggalkan sekelompok anak ini, hingga datang lagi, hanya berjarak lima belas menit.

Yang mengejutkan adalah, bukan lamanya waktu lima belas menit itu, tetapi, setelah diikuti selama lebih dari lima belas sampai dua puluh tahun sesudahnya, terdapat perbedaan menyolok pada kedua kelompok anak tadi. Kelompok anak yang bersabar menunggu lima belas menit untuk mendapatkan tambahan satu gula-gula ternyata, prestasi akademis, perolehan karier, kebahagiaan dalam kehidupan dan rumah tangganya, lebih baik dan lebih bahagia ketimbang kelompok anak-anak yang tidak bersabar menunggu lima belas menit tadi.

Pembaca yang budiman, sebagai muslim/muslimah kita ditarbiyah oleh Allah SWT di bulan mulia ini, dengan bercermin dari hasil penelitian di atas, sangat dan sangatlah kita bersyukur diberikan sarana tarbiyah dengan puasa. Selama berpuasa, kita tidak saja menunggu dan bersabar selama lima belas menit, tetapi lebih dari itu. Masalah waktu jelas lebih lama, mulai subuh hingga maghrib menghabiskan waktu lebih dari dua belas jam menahan rasa lapar dan rasa haus. Untuk mendapatkan kesempurnaan, tidak saja rasa lapar dan rasa haus serta syahwat yang ditahan, tetapi emosi-emosi ringan dan halus, seperti jengkel, keinginan menggunjing, keinginan merendahkan orang, keinginan membicarakan kejelekan orang, hingga menahan amarah bahkan ketika posisi kita dalam keadaan benar pun, tetap harus bersabar.

Mestinya dengan dihadirkannya puasa satu bulan setiap tahunnya, membuat para muslimin dan muslimat jauh lebih berhasil dalam prestasi akademis, prestasi dalam karier, dan jauh lebih bahagia dalam menikmati kehidupan kita saat ini bagaimanapun kondisinya. Lebih mengerti dan memaafkan kelemahan dan kekurangan pasangan kita masing-masing, anak-anak kita, pembantu kita, staf yang menjadi bawahan kita, dan siapa saja yang berinteraksi dengan kita. Dan yang lebih penting lagi membuat kita lebih mempunyai daya tahan banting yang kuat menghadapi tantangan hidup menuju keberhasilan di dunia dan kehidupan abadi di akhirat kelak

Wallahua’lam

Thursday, August 14, 2008

Minta doanya Umi bisa selesai S2nya

Saat ini umi ngambil S2 Ekonomi Kesehatan...

sebenarnya umi dah lama ngerjain thesisnya... tapi yaah ketumbuk sama pekerjaan jadi sering kurang fokus... jadi agak molor.. padahal tinggal ngolahin data..



Ini umi sedang ngasih penyuluhan kesehatan pada ibu-ibu hamil yang dijadikan responden untuk penelitian thesisnya....


total Umi ngumpulin 120 ibu hamil! di tiga kecamatan yang berbeda...
Ibu-ibu hamil tadi tidak hanya dikasih pertanyaan... tapi juga diberikan supplemen gizi
Nih tim assisten yang ngebantuin umi mewancarai ibu-ibu hamil... sedang bagi-bagi suplemen gizi yang mo dibagikan



Lha yang ini armada pengangkut tim pewawancara...



1 unit mobil Avanza


dan 1 unit mobil Terios...

truz habis itu makan-makan...




Minta doanya... agar Umi bisa secepatnya bisa menyelesaikan thesisnya...
amin amin amin yaa robbalalamin

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments