my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Thursday, January 18, 2007

Doctors, Market Yourselves Atau Praktik Anda Tidak Laku?


Doctors, Market Yourselves atau Praktik Anda Tidak Laku?

Doctors, Market Yourselves atau Praktik Anda Tidak Laku? / Yusuf Alam Romadhon; editor, Atik, Fida. – Cet.1. – Solo: Tiga Serangkai, 2006. – xvi, 180 P.: Tab., Ilus.; 21 Cm.Rp. 38.100,-


Kenalin nih... buku saya... berikut cuplikan isinya

Dokter sekaligus berperan sebagai marketer, sebuah gagasan yang aneh terdengar dan langka. Hal ini dikarenakan dalam tataran norma di masyarakat, dokter sangat diterima agar fokus pada aktivitas sosial, sedangkan marketer lebih merupakan bagian dari aktivitas bisnis, yang murni menghasilkan uang. Ada benturan nilai yang berlaku jika dipaksakan dokter sekaligus sebagai marketer. Terlepas dari keterikatan norma masih tetap menyisakan masalah tersendiri. Dokter sebuah profesi yang sarat dengan masalah teknis yang kompleks dan hanya dipahami sendiri oleh dokter di satu sisi. Di sisi lain adanya kesenjangan informasi dan pengetahuan apabila seorang pemasar yang tidak memiliki latar belakang medis memahami masalah-masalah teknis medis, kompleks dan sophisticated. Di samping itu, sebagian besar dokter saat ini masih berpikiran “tinggal pasang plakat saja, pasien sudah berdatangan. Ngapain harus dipasar-pasarkan segala”.

Keadaan telah berubah, sejak negara tidak mampu lagi menanggung beban biaya kesehatan. Hal ini terbukti semua dokter yang semula bisa diangkat menjadi pegawai negeri, kemudian sesuai dengan kebijakan dokter PTT (pegawai tidak tetap) dan masalah karier dokter semuanya diserahkan kepada dokter sendiri setelah lulus. Ini akibat jumlah dokter yang dihasilkan oleh institusi penyelenggara pendidikan dokter makin lama makin bertambah banyak seiring bertambahnya jumlah institusi tersebut.

Secara kuantitas, proporsi jumlah dokter dibanding jumlah penduduk masih terhitung sangat kurang. Apalagi di daerah Indonesia timur tenaga medis dokter sangat langka. Namun, dengan terkonsentrasinya jumlah dokter di daerah perkotaan dan suburban serta sebagian besar penduduk terkonsentrasi di sana, persoalan menjadi lain. Banyak dokter tidak mendapatkan “jatah kue” secara memadai jika mengandalkan sebagian besar pendapatannya berasal dari praktik pribadi yang diselenggarakan. Ini dilihat dari satu sisi kepentingan kelangsungan hidup dokter.

Jika dilihat dari sudut kepentingan pasien, pasien masih tampak mendapatkan pelayanan kesehatan di bawah standar. Ketika Anda bertanya kepada orang yang berobat di puskesmas atau rumah sakit pemerintah “kalau pendapatan mereka naik dan mampu, apakah mereka tetap memilih puskesmas sebagai tempat utama untuk berobat?” Saya yakin sebagian besar akan menjawab, “tidak”.

Tayangan infotaintment yang memberitakan para selebritis berobat di rumah sakit terkenal di Singapura, Malaysia, dan Australia, membuat para dokter produk dalam negeri seperti tidak ada apa-apanya. Pesan yang disampaikan adalah “Kalau Anda punya uang banyak, berperilakulah seperti para selebritis itu, ke sanalah tempat paling ideal untuk check up kesehatan dan berobat!” Ironisnya, para penyampai pesan itu adalah para tren setter, biangnya mode perilaku tertentu, yaitu artis dan selebritis. Tanpa mereka suruh, masyarakat atau yang menjadi konstituen mereka akan melakukan seperti yang mereka kerjakan.

Lalu apa yang perlu dokter perbuat?

Jawabannya adalah pasarkan diri. Lalu apakah dengan kualitas yang rendah dokter mempromosikan besar-besaran kepada masyarakat pelayanannya bagus? Tidak! Masyarakat kita makin pandai, kaya informasi, tercerahkan, bahkan jauh lebih tahu ketimbang dokternya, tempat-tempat praktik kedokteran terbaik dunia. Mereka sudah terbiasa mengakses situs-situs semacam mayo clinic, rumah sakit Gleneagles, rumah sakit Rafles dan juga mengakses sumber-sumber informasi penyakit-penyakit yang mereka derita. Pernah ada pengalaman seorang dokter THT mendapatkan pasien anak-anak, ibunya meminta dokter tersebut membersihkan serumen yang ada di dalam lubang telinga anak. Setelah dokter THT itu selesai membersihkan serumen, ibu anak tadi mengeluarkan otoskop memeriksa sendiri lubang telinga anak. Lalu memberitahu dokter bahwa masih kurang bersih, terutama pada posisi tertentu dengan mengistilahkan “pada jam 5 dok, masih ada serumennya”. Ibu pasien, bukan dokter, perawat, dan orang yang sama sekali mengenyam pendidikan medis, tetapi mempunyai pengetahuan lebih mengenai otoskop dan penggunaannya. Inilah contoh betapa pasien sekarang lebih cerdas, tercerahkan dan lebih menuntut.

Kondisi lain yang membutuhkan pemikiran strategis adalah hadirnya pemain-pemain asing yang mulai merangsek masuk di lingkungan strategis praktik dokter-dokter dalam negeri. Di Solo sebuah kota yang berpenduduk asli setengah juta ditambah penduduk pekerja siang hari yang mencapai dua juta orang saat ini, menurut Walikota Solo Joko Widodo, sudah ada 3 rumah sakit internasional yang memproses izinnya untuk meramaikan industri rumah sakit di kota ini. Sebelumnya beberapa rumah sakit dari Singapura, Malaysia, dan rumah sakit internasional lainnya sudah menjalin kolaborasi dengan rumah sakit rumah sakit lokal dalam hal sistem rujukan dan kunjungan dokter-dokter spesialis asing di rumah-rumah sakit lokal. Produk-produk farmasi, alat-alat kedokteran hingga furnitur yang berkaitan dengan alat-alat kedokteran serta bahan-bahan habis pakai untuk laboratorium dapat dikatakan hampir semuanya adalah impor. Yang membuat keadaan lebih “genting” adalah masuknya asing di sektor pelayanan medis. Inilah yang merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dokter-dokter dalam negeri. Masuknya produk asing adalah sesuatu yang logis dan mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Dari data tahun 2004, diperkirakan ada 16 juta penduduk Indonesia yang kemampuan daya beli belanja kesehatannya sama dengan warga papan atas penduduk Singapura. Tidak heran jika kedua negara tetangga kita Singapura dan Malaysia terlihat sangat agresif dalam menjemput bola calon-calon pasien-pasien yang ada di tanah air. Kedua negara itu bekerja sama dengan departemen Pariwisata menggelar program medical tourism, siapa lagi yang dibidik kalau bukan 16 juta penduduk Indonesia tersebut. Kue yang sangat menggiurkan untuk dilewatkan begitu saja.

Di negara yang agak jauh, misalnya, India keadaan lebih mengkhawatirkan posisi dokter-dokter atau penyedia layanan kesehatan yang ada di dalam negeri. Institusi-institusi layanan kesehatan seperti Aravind Eye Center, Jaipur Foot dan spesialisasi-spesialisasi lainnya telah berhasil menunjukkan kinerja yang efisien dengan kualitas yang tidak kalah dengan institusi-institusi layanan kesehatan di negara-negara maju seperti Inggris. Bahkan, produk-produk teknologi kesehatan canggihnya seperti lensa-lensa mata buatan unit dari Aravind Eye Center telah mampu menembus pasar Amerika dan Eropa. Demikian juga dengan Jaipur Foot yang bekerja sama dengan lembaga antariksa India hampir mendapatkan produk-produk kaki palsu yang mempunyai kualitas sama dengan produk negara maju dengan harga 1/300 lebih murah. Ada yang khusus dalam industri kesehatan India, lembaga-lembaga seperti Aravind Eye Center dan Jaipur foot berkembang menasional tidak digerakkan oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi digerakkan oleh misi yang benar-benar jauh dari materi. Mereka ini adalah lembaga nonprofit. Pasien-pasien yang berobat di Aravind Eye Center yang terdiri atas 60 persen gratis dan 40 persen bayar dapat menghasilkan inovasi-inovasi yang luar biasa. Tidak menuntut kemungkinan organisasi-organisasi dari India ini melebarkan sayapnya di Indonesia. Mereka kemungkinan akan mengisi di segmen lapis kedua atau bahkan bersaing dalam segmen pertama seperti Singapura dan Malaysia. Jika mereka mengembangkan sistem seperti yang dilakukan di India, tamatlah riwayat dokter-dokter di Indonesia untuk tegak berdiri sebagai tuan rumah di negeri sendiri walaupun dokter-dokter yang bekerja di institusi-institusi tersebut adalah dokter-dokter dalam negeri.

Lalu apa yang dapat kita perbuat?

Perlu pemikiran strategis. Buku ini mencoba memberikan alternatif pemikiran strategis tersebut. Melalui respons yang konstruktif dibangun di atas kekayaan jiwa dokter yang menyangga empat pilar, yaitu pemahaman rantai nilai, pemasaran strategis, dukungan network dan kekuatan nama baik. Ujung senjata dalam respons konstruktif adalah evaluasi kinerja. Repons konstruktif hanya dapat berjalan jika dilakukan oleh dokter-dokter yang berjiwa kaya. Dokter berjiwa kaya adalah dokter yang kaya akan alternatif cara untuk menciptakan kebahagiaan bagi diri dan keluarganya, pasien dan keluarganya, sesama kolega dan pandai mewujudkan kebahagiaan yang bisa dirasakan bersama-sama. Dokter berjiwa kaya ini akan menunjukkan akhlakul karimah yang tinggi kepada semua orang yang berinteraksi dengannya. Dalam penulisan ini diawali dengan pemahaman dasar moral, yaitu kekayaan jiwa dan akhlakul karimah. Jika penguasaan strategi yang canggih tanpa moral yang bagus, akan mempercanggih kejahatan yang dilakukan. Namun, jika didasari dengan akhlak yang baik, penguasaan strategi akan melipatgandakan dampak dari produk kesalehan amal yang dihasilkan.

Di bagian kedua, akan dibahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam milleu tempat dokter-dokter di Indonesia. Keadaan di Indonesia terjadi paradoks antara kemiskinan dan keterbatasan untuk mengakses layanan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi lain terdapat golongan masyarakat yang tidak sedikit potensi pasarnya untuk digarap secara serius agar dapat menghemat devisa negara. Mereka ini berjumlah 16 juta dengan kekuatan belanja kesehatan yang setara dengan kekuatan belanja papan atas penduduk Singapura. Inilah segmen yang menggiurkan bagi pemain-pemain asing untuk memperebutkan kue dari pasar kesehatan.

Pemahaman penting setelah dasar akhlak yang baik dan pemahaman perubahan serta pergeseran yang terjadi adalah pemahaman mengenai rantai nilai yang diterima pasien ketika melalui “ban berjalan” produk-produk jasa layanan kesehatan yang ditawarkan. Dengan memahami rantai nilai, akan membuat perhitungan strategis menjadi lebih terarah dan sistematis. Demikian pula ketika membandingkan rantai nilai serupa yang ditawarkan oleh pesaing. Jadi, memahami rantai nilai yang ditawarkan dengan baik, akan lebih mudah mengukur, menilai bagaimana pasien atau pelanggan mengapresiasikannya, dan dapat dijadikan sebagai keunggulan bersaing.

Respons konstruktif selanjutnya adalah pemahaman mengenai pemasaran. Pemahaman pemasaran akan lebih memerinci bauran pemasaran (marketing mix) yang digunakan untuk mengoptimalkan nilai yang ditawarkan dan relevan dengan yang dianggap pasien atau pelanggan sebagai sesuatu yang bernilai.

Kekuatan respons konstruktif yang tidak dapat diabaikan perannya adalah dukungan jaringan (network). Jaringan ini mempunyai kekuatan magnifikansi (memperbesar) penyebaran informasi, tren, serta perilaku baru yang menguntungkan, bagi institusi layanan kesehatan maupun suatu promosi perilaku sehat. Dalam hal ini, jaringan yang dimaksud adalah jaringan yang dimiliki oleh pelanggan. Jaringan lain yang tidak dapat diabaikan adalah jaringan “bisnis” rujukan vertikal (dokter umum – spesialis). Jaringan ini mempunyai peran meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang diberikan oleh suatu “tim jaringan” sehingga dapat menurunkan penanganan kasus yang buruk di tingkat pertama dan keterlambatan rujukan yang seharusnya dapat dihindari. Secara tidak langsung akan meningkatkan merek atau nama baik dokter spesialis yang menjadi “leader” dalam jaringan tersebut.

Di puncak usaha respons konstruktif adalah kekuatan nama baik. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan dokter-dokter untuk mewujudkan suatu pelayanan yang bermutu secara kontinu (istiqomah) agar tertanam dalam benak konsumen, bahwa dokter atau institusi layanan kesehatan mempunyai jaminan atau nama baik dalam kualitas pelayanannya.

Di ujung pembahasan mengenai respons yang konstruktif adalah evaluasi kinerja yang telah dihasilkan selama ini. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai teknik-teknik evaluasi, penentuan bidang-bidang apa saja yang menjadi bahasan evaluasi kinerja, serta membuat relevansinya dengan nilai yang dibutuhkan oleh pelanggan atau konsumen.

Semoga buku ini memberikan inspirasi bagi teman sejawat dokter maupun profesional kesehatan lain dalam melihat dan merespons perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam lingkungan strategis industri kesehatan di dalam negeri. Penulis menyadari kata pepatah “tak ada gading yang tak retak” karena itu bagi pembaca yang ingin memberikan umpan balik terhadap buku ini dapat disampaikan di alamat e-mail penulis yusuf_pluss@yahoo.com atau ke alamat penerbit Tiga Serangkai Surakarta.


5 comments:

Anonymous said...

cerita yang di bengkulu itu bagus!! membuat kt sadar supaya ga terlena ama janji-janji palsu dr pemerintah... kasian bener nasib dokter... dari dulu mnjadi sasaran empuk utk diapusi

Anjar Priandoyo said...

halu pak yusuf, salam kenal :) wah ternyata anda rajin menulis juga nih. Keren-keren, saya request artikel2 yang sering masyarakat awam salah kaprah. Macem DBD itu saya baru tahu kalau ternyata penyakit viral itu ga ada obatnya :D -awam bgt ya pak

Astri said...

Mas Yusuf,
aku dah nyari bukunya di Surabaya,tapi kok masih belum nemu ya...
Kira2 bisa minta tolong dikirimkan ke t4 saya nggak? Atau kali ada info saya harus nyari ke mana..
Trims

Yusuf Alam Romadhon said...

buat tri NS
iya... kayaknya banyak cerita lagi yang lebih heboh... pengalaman2 di daerah terpencil..
Buat Anjar..
terima kasih..
Buat Astri
mohon di imelkan ke yusuf_pluss@yahoo.com insya Allah ada di Gramedia.. di search lewat komputer toko bukunya aja.. kategori bukunya buku manajemen dan bisnis

jolly said...

Mas Yusuf, saya sangat tertarik tuk memiliki buku "Doctor, Market Yourselves Atau Praktik Anda Tidak Laku". Saya telah mencarinya di beberapa toko buku di yogya namun lom ketemu. Mohon informasi dimana saya bisa mencari dan membelinya.
trimn banget ya mas atas bantuannya

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments