Wajahnya, kecantikannya, rambutnya yang panjang mengombak, aroma tubuhnya, perasaanmu yang terguncang tak menentu, saat kalian sedang naik bis berdua, berjalan berdua di sepanjang jalan yang engkau coba cari tetapi tidak ketemu. Masih ingat seolah-olah engkau menghirup harum melon yang keluar dari wangi hand body yang ia kenakan, saat engkau bersamanya. Semua tergambar jelas ketika engkau menyusuri jalan itu. Rasa berbunga-bunga, mengingatkanmu pada saat-saat pertama berjumpa dengannya. Saat-saat engkau memasuki dunia yang penuh dengan masalah, yaitu jatuh cinta. Tidak ada tempat dimana pun tanpa teringat akan keindahan tentang dirinya. Selalu, selalu, dan selalu terbayang. Bayangan itu sebenarnya membuatmu jengkel, namun dia tidak mau enyah. Engkau menjadi pengidap gangguan konsentrasi. Engkau membaca buku, tetapi halaman itu tidak segera berpindah ke halaman selanjutnya, padahal sudah tiga jam engkau duduk menatap buku itu. Itulah yang membuatmu menjadi mahasiswa fakultas kedokteran yang tulalit. Engkau menjadi pengikut fanatik nasakom atau nasib satu koma. Engkau masuk ke dalam di, tri, tetra atau bahkan pentalema, antara mempertahankan cintamu atau engkau melepaskannya mengejar ketertinggalanmu atau melepaskannya untuk mencari ridho orang tua karena orang tua sangat menentangmu atau hati nuranimu mengatakan bahwa meneruskan hubungan sama dengan menambah rasa berdosa atas kemaksiatan yang engkau lakukan; pilihan-pilihan yang menguras tenaga emosional. Yang lebih membuat engkau terpuruk adalah ketidak sukaan orang tuamu pada dirinya. Akhirnya engkau putuskan cintanya. Engkau buang harapanmu untuk membina kasih dengan dirinya. Hatimu terluka. Engkau merasa sedih. Engkau merasa nyeri, seperti luka segar menganga yang diberi cuka, pedih, perih dan ngilu. Luka yang tak akan pernah tersembuhkan.
Engkau usir dia dari ruang di hatimu. Ruang itu tetap kosong. Tidak terisi. Ruang kosong tak terisi. Engkau tutup rapat-rapat pintu ruang itu. Tidak engkau perkenankan seorang pun untuk memasukinya. Engkau mencoba melupakan keberadaannya. Engkau benam dalam-dalam segala sesuatu tentangnya hingga ia tidak muncul dalam pikiran sadarmu. Engkau berusaha keras untuk menderita amnesia yang sangat, khusus mengenai segala hal tentang dirinya. Engkau benar-benar lupa. Ia tiba-tiba menjadi asing bagimu, hingga engkau bertanya-tanya. Berusaha keras menebak siapa dirinya, dari mana dia berasal, siapa bapak ibunya, dan yang penting apa hubunganmu dengan dirinya. Engkau menjadi pengidap jamais vu tulen. Engkau tenggelamkan dirimu dalam ketekunan memahami ilmu kedokteranmu. Engkau benamkan dirimu dalam dunia yang engkau sendiri tidak memahaminya.
Namun otak emosi mempunyai jalan pikirannya sendiri. Melewati jalanan itu. Tiba-tiba saja engkau merasa sedih. Tiba-tiba saja engkau merasa kehilangan. Tiba-tiba saja engkau merasakan kembali kehadirannya. Tanpa kau sadari kristal-kristal putih bening yang hangat menetes keluar dari kelopak mata membasahi pipimu. Engkau merasakan hangatnya benda-benda hangat itu mengalir di kedua pipimu. Engkau menangis tersedu-sedu. Tersengguk-sengguk. Tidak engkau pedulikan orang yang lalu lalang di depanmu. Toh mereka tidak akan tahu, karena engkau tertutup oleh kaca helm yang gelap menutupi wajahmu. Engkau terus melaju bersama sepeda motormu yang engkau pacu gasnya. Terus melaju.
Engkau sadari kembali adanya ruang kosong tak terisi di hatimu. Walaupun suatu ketika ada istri bukan dirinya. Ruang itu tetap kosong tak terisi. Bila pun ada istri yang benar-benar engkau cintai dan melahirkan anak-anakmu, menempati ruang di hatimu. Dia tidak di ruang itu. Dia benar-benar ada dalam hatimu. Dan engkau benar-benar merasa kehilangan. Kehilangan yang menyakitkan. Kehilangan yang membuatmu merasa terluka.
Engkau sadari, dirimu adalah makhluk laki-laki. Sosok makhluk yang rasional dan tegar. Namun engkau patahkan mitos itu. Engkau sadari dirimu yang sensitif, halus dan lembut. Mudah tersentuh oleh emosi-emosi yang mengalir demikian lembut. Engkau mengikutinya. Engkau merasakannya. Dan engkau menikmati pedihnya hati yang terluka.
Engkau tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Apalagi terhadap Tuhan. Dia pasti mempunyai rencana-Nya. Tentu rencana Dia selalu yang terbaik untuk dirimu. Pikiran rasionalmu berkata demikian. Namun sejenak engkau biarkan otak emosionalmu bekerja. Engkau hayati gelombang-gelombang rasa itu. Engkau ingin sekedar menuruti egomu walaupun sesaat.
1 comment:
weh makin mantap aja nulisnya. wes bosen dadi dokter mas? :D
Post a Comment