Dokter adalah profesi yang prestisius, sehingga mudah bagi dokter untuk
menarik pelanggan
Sekarang dokter bukanlah profesi yang prestisius. Bahkan ada
kecenderungan praktik dokter merupakan sasaran empuk untuk dijadikan ajang
tuntutan malpraktik. Seorang teman bercerita di sebuah rumah sakit di Jakarta,
pengacara dan timnya berburu kasus malpraktik dengan menunggui kedatangan pasien
yang meninggal di ruang mayat. Di situ mereka menanyai kapan meninggalnya, apa
sebab meninggal, apakah ada andil kelalaian dokter, dan tentu saja tidak lupa
mengucapkan belasungkawa. Bila menemukan dugaan kelalaian dokter, mereka
memprovokasi keluarganya untuk menuntut dokter atau rumah sakit dan tidak
ketinggalan menawarkan diri sebagai profesional bantuan hukum.
Anda memiliki gelar dokter, tidak serta merta Anda bisa
dipercaya untuk menyembuhkan permasalahan kesehatan oleh pasien bahkan termasuk
tetangga sebelah rumah Anda. Membangun praktik bukanlah pekerjaan semalam dua
malam, butuh waktu tahunan untuk bisa menanamkan persepsi kepada pelanggan atau
pasien bahwa kita itu kredibel.
Dokter harus menjadi
PNS
Sudah tidak terhitung berapa kali teman sejawat saya yang
mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, keluar
karena diterima sebagai pegawai negeri sipil [PNS]. Tidak sedikit pula diantara
pilihan untuk masuk sebagap PNS karena advis dari orang tua.
Keuntungan-keuntungan menjadi PNS adalah kontinuitas penghasilan dalam jumlah
lumayan serta mempunyai tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan. Suatu
kelebihan yang tidak banyak dimiliki apabila bekerja di instansi swasta,
termasuk wiraswastawan/wati.
Tetapi bila melihat perkembangan terakhir jumlah kursi
lowongan PNS bila dibandingkan dengan jumlah dokter yang ada, bukanlah proporsi
rasio yang menguntungkan. Di Jawa, satu kursi lowongan PNS dokter umum
diperebutkan oleh 4 – 7 dokter umum. Jadi agar tidak terlalu ‘sakit hati’ plus
kecewa dan menyalahkan diri sendiri, saya menyarankan “anggaplah moratorium
tidak ada pengangkatan PNS [dalam tiga tahun itu] berlaku selamanya”. Jadi kita
tidak pernah berpikir bahkan terbesit pun tidak ada untuk menjadi dokter PNS.
Dokter harus kerja di
klinik
Dokter memang seharusnya bekerja di klinik. Aplikasi ilmu
kedokteran yang diperoleh selama kuliah dan menjalani pendidikan kepaniteraan
klinik ya.. hanyak bekerja di klinik. Tidak ada klinik ya tidak kerja. Termasuk
pula bagi dokter spesialis, harus ada rumah sakit tempat ia mengaktualisasikan
ilmu, keterampilan dan leadershipnya.
Permasalahannya, walaupun tidak separah rasio lowongan kursi
PNS dengan pendaftar, tetap saja butuh waktu kadang-kadang relatif lama untuk
mendapatkan kursi kosong untuk dokter di klinik. Berpikir mencari kerja di
klinik OK tetap harus jalan. Tetapi tetap pula mencari jalur lain non klinik yang
juga jalan bersama. Pengalaman saya, dua belas tahun yang lalu, kemudahan masuk
suatu klinik berbanding terbalik dengan jumlah kunjungan pasien. Semakin banyak
pasien suatu klinik, semakin sulit untuk masuknya [harus benar-benar kenal
dengan pemilik atau teman dokter di tempat itu dan pas ada yang kosong]. Tetapi
sebaliknya klinik yang sepi pengunjung biasanya relatif mudah dan frekuensi
peluang kosongnya lebih besar. Disamping hubungan terbalik itu, berkaitan
dengan honorarium yang diterima terdapat hubungan linear antara klinik ramai
dan klinik sepi. Klinik ramai tentu saja mendapatkan honorarium lebih besar
daripada klinik yang sepi.
Karena itu, bagi yang baru lulus dan tidak ada jalur koneksi
sama sekali, saya sarankan selain mencari lowongan klinik, juga mencari
lowongan non klinik seperti dokter di sekolah [tentu saja membuat proposal
penawaran yang berisi jumlah kunjungan kita, obat-obat dasar yang harus
dibelanjakan oleh sekolah, program yang akan kita kerjakan, dan tidak lupa
honorarium kita sendiri], dokter di perusahaan, pengajar di sekolah-sekolah
tinggi keperawatan, kebidanan, fisioterapi dan semacamnya.
Jadi intinya, tidak menggantungkan sepenuhnya pada usaha
mendapatkan klinik sebagai andalan tempat kerja kita. Kabar baiknya untuk para
pencari klinik, biasanya angka perpindahan dokter di klinik sangat tinggi. Saya
pernah ngobrol dengan salah satu pengelola klinik 24 jam milik lembaga sosial di
sebuah kecamatan di kabupaten Klaten provinsi Jawa Tengah, beliau mengatakan,
“Selama lima tahun mengelola klinik tersebut, sudah terhitung ada 25an dokter
yang datang dan pergi di klinik ini”. Berarti rata-rata satu tahun terjadi
mutasi 5 dokter. Angka yang fantastis, sekaligus peluang bagi dokter baru lulus
untuk mendapatkan, mohon maaf [bukan perkataan yang jahat; karena mungkin ini
menyakitkan bagi pemilik dan pengelola klinik] batu loncatan sementara sebelum
memperoleh tempat yang bagus.
Rugi tidak pinjam
bank, karena dokter mendapat fasilitas pinjaman
Sekitar awal tahun 2010, ketika saya dan istri sedang hunting untuk mendapatkan pinjaman di
suatu bank guna pembiayaan rumah tinggal, saya ngobrol-ngobrol dengan customer service bank tersebut. Ada
pernyataan menarik dari petugas customer
service tersebut, ”dokter itu mudah mencari utang, tetapi kredit macet
termasuk tinggi, malah saya lebih respect
sama bidan, tertib membayar cicilan dan kredit macet nyaris nol persen”.
Kalau Anda yang pernah utang di bank seperti saya [ada lima
bank yang pernah kami berinteraksi dengannya, baik yang sudah lunas, take over dan masih berlangsung utangnya
sampai tulisan ini disusun], maka akan familier dengan aplikasi hutang khusus
dokter. Salah satu klausul persyaratan yang khas dokter adalah surat izin
praktik! Jadi secara sistematik, dokter merupakan target pemasaran untuk
pengucuran hutang yang kebanyakan konsumtif bagi industri perbankan.
Yang jadi pertanyaan saya adalah, mengapa kok sampai dokter
tidak jarang terlibat dengan kredit macet? Saya yakin bahwa dokter bukanlah
orang macam koruptor atau pengemplang uang kelas kakap di negeri ini yang
membuat penderitaan banyak orang. Tetapi, saya yakin penyebabnya adalah salah
manajemen keuangan. Seringkali dokter tidak menyadari [termasuk saya yang sadar
belakangan setelah bertemu dengan dokter Rosyid Ridho] bahwa pembelian properti
atau mobil adalah barang konsumtif dan liabilitif. Artinya barang tersebut
hanya untuk dikonsumsi, tidak mendatangkan pendapatan tambahan dan merupakan
beban keuangan karena menggerogoti pendapatan kita di masa yang akan datang.
OK! Rumah bila dijual lagi harganya bisa lebih tinggi, tetapi bukanlah harta
yang likuid [bisa cair sewaktu-waktu, dan sulit mendapatkan pembelian rumah
yang sudah jadi], demikian pula mobil mungkin relatif likuid [mudah dijual]
tetapi nilainya pasti turun.
Sementara bergelimang dengan harta konsumtif [bukan aset
yang mendatangkan pendapatan baru] dan berbeban, si dokter berada dalam siklus
keluarga dimana kebutuhan biaya pendidikan anak-anak dan kesehatan dirinya
makin membengkak. Jadi secara keuangan dokter berada dalam keadaan beban
berbeban tambahan. Sehingga wajar, tidak jarang dokter terlibat kredit macet.
Karena itu, dalam hal kinerja finansial, dokter hendaklah
berorientasi pada penambahan aset dan pendapatan pasif, bukan penambahan beban
barang konsumtif dan liabilitif.
Dokter perempuan mana
mungkin bisa kerja di rumah
Beberapa waktu ini ketika menghadiri pelantikan dokter baru periode
ke tiga di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya
dibisiki bapak dekan (Prof Subagyo SpA[K]), beliau berkata,”tampaknya kita
perlu mengganti nama Fakultas Kedokteran kita, tidak FK Universitas
Muhammadiyah Surakarta, tetapi FK Universitas Aisiyah Surakarta”. “Maksudnya
Prof?” tanya saya pada beliau. “Lha itu banyak ceweknya daripada cowoknya”.
“Ooooo... he he he” kami tertawa bersama.
Yah, fakultas kedokteran saat ini, tampaknya ini berlaku di
semua tempat, mulai didominasi oleh cewek. Prosentasenya bahkan hingga mencapai
70 % cewek. Termasuk prestasinya, rentang ranking 1 – 4 sampai 1 – 8 didominasi
oleh cewek, baru ranking sesudahnya ada cowok. Tampaknya ini juga berlaku di
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi yang lain.
Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Tetapi yang ingin
saya kemukakan di sini adalah memang benar secara akademik perempuan
mendominasi ketika kuliah. Keadaan ini berlawanan dengan ketika para dokter
perempuan ini meniti karier, mengembangkan wirausaha, hingga mengikuti jenjang
pendidikan spesialisasi selanjutnya. Memasuki jenjang pendidikan spesialisasi
hingga sub spesialisasi proporsi wanita mulai menurun bahkan beberapa
spesialisasi tertentu seperti bedah lebih didominasi pria. Beberapa alasan
seperti keterikatan dengan keluarga dan kodrat sebagai wanita seperti hamil,
melahirkan, merawat dan membesarkan serta keterlibatan penuh dengan pengasuhan
anak merupakan penghambat utama dokter wanita untuk gigih dan fight
sebagaimana teman sejawatnya yang berjenis kelamin pria.
Dalam
hal mengembangkan aktivitas kewirausahaan, sebenarnya ini adalah lahan yang
paling sesuai bagi para dokter wanita yang sebagian suaminya tidak membolehkan
beraktivitas di luar rumah, atau ada keterikatan dengan kodratnya hamil,
melahirkan serta merawat dan memberikan pengasuhan yang “sempurna” kepada
anak-anak. Di dekat tempat praktik dan tempat tinggal saya, ada contoh sempurna
untuk dokter wanita yang mengembangkan wirausaha bidang kedokteran, peran ibu
rumah tangga masih bisa dia lakukan, karena klinik 24 jam yang beliau rintis
berinduk dari rumah tinggalnya. Nama beliau adalah dokter Isti Widodo, yang
juga menjadi nama klinik beliau “klinik 24 jam Isti Widodo”. Tidak hanya klinik
24 jam, ada apotik, ada praktik fisioterapi, dan dia mempekerjakan
dokter-dokter pria [termasuk mantan murid saya yang telah lulus menjadi dokter].
Berarti beliau juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi dokter, profesi
kesehatan lainnya, karyawan non kesehatan dan kesejahteraan pemasok beserta
seluruh karyawannya. Luar biasa! Terima kasih dokter Isti....
No comments:
Post a Comment