Apoptosis adalah sebuah istilah
untuk menggambarkan proses kematian sel yang terprogram dan terencana. Anda
mungkin heran, kok bisa di dalam tubuh kita ada proses kematian sel yang
terprogram dan terencana? Kematian sel secara umum di dalam tubuh kita terbagi
dua macam, yaitu kematian tak terencana dan kematian yang terencana. Kematian
tak terencana biasanya merupakan proses “serangan” dari luar seperti serangan
mikroorganisme yang menjadi penyakit atau trauma yang merusakkan sel-sel tubuh.
kematian terencana terjadi pada sel-sel yang sudah “selesai” menjalankan
misinya karena dibatasi oleh waktu seperti sel-sel darah merah yang masa
kerjanya 120 hari, sel kulit yang masa kerjanya 21 hari dan sel pencernaan yang
masa kerjanya 6 hari.
Apakah ada perbedaan dampak bagi
tubuh antara kematian sel yang terencana dengan kematian sel yang tak
terencana? Kematian sel yang terencana atau APOPTOSIS SAMA SEKALI tidak
menimbulkan efek samping pada keberlangsungan hidup sel-sel yang ada di
sekitarnya, sementara kematian sel tak terencana menghamburkan isi “perut” sel
keluar mengundang sel-sel yang berperan sebagai tentara untuk memberikan
isyarat bahwa peperangan akan segera dimulai. Bila berlanjut “peperangan”
tersebut membuat seluruh tubuh merasa tidak nyaman hingga yang sering kita
rasakan adalah tubuh demam, menggigil, tulang linu-linu dan otot-oto tubuh
merasa pegal-pegal. Itulah sebagian kehidupan dunia dalam sel-sel penyusun
tubuh kita.
Dalam tulisan ini, saya akan
mengajak Anda untuk melihat proses kematian terencana atau APOPTOSIS pada proses
pembentukan tubuh kita saat kita berada di dalam kandungan ibu kita ketika
hamil. Di bagian sebelumnya telah saya uraikan bahwa kita dulunya adalah
pertemuan antara sel sperma dari ayah dan sel telur dari ibu. Kemudian
pertemuan sel ini menghasilkan leburan satu sel yang disebut dengan istilah zigot.
Zigot satu sel ini kemudian membelah menjadi dua sel, selanjutnya empat sel,
delapan sel, enam belas sel, tiga puluh dua sel, enampuluh empat sel terus dan
terus hingga tersusun sempurnalah bagian-bagian tubuh kita yang rumit, saling
terkoneksi, saling tergantung satu sama lain, terhubung dalam sistem yang
kompleks. Ternyata dalam proses pertambahan berat dan volume ini, juga diikuti
pula proses pengurangan sel yang dilalui dengan jalan APOPTOSIS. Berarti selama
proses pembentukan jaringan dan organ-organ itu ada sebagian sel-sel yang
mematikan dirinya dan terencana? Heran ya? Ketika membaca frase paragraf
seperti itu saya juga heran sekaligus takjub akan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT
yang menciptakan kita. Dengan proses kematian terencana atau APOPTOSIS itulah
membuat celah-celah di antara ruas-ruas jari kita. Dengan kematian terencana
itulah membuat telinga kita bisa berlubang dan daunnya bisa “terukir” demikian
indah dan sempurna bentuknya. Dengan APOPTOSIS itu pulalah kita mempunyai
lubang hidung, sinus-sinus (rongga-rongga tengkorak di pipi, dahi dan belakang
kelopak mata) dan berbagai “ukiran-ukiran” yang demikian indah dan sempurna
bentuk tubuh kita. Subhanallah!
Dalam kehidupan masyarakat juga
terdapat APOPTOSIS, bahkan setiap diri kita nanti akan mengalami APOPTOSIS
ketika jatah umur kita sudah habis. Kematian kita sudah terprogram oleh Allah
Swt.
Moral lesson
Tubuh kita yang sempurna ini seolah
hendak mengajarkan kepada kita, agar organisasi masyarakat kita bisa lestari
dari waktu ke waktu butuh proses “APOPTOSIS” sekaligus regenerasi. Coba Anda
bayangkan kalau di masyarakat kita para pemimpin tidak merelakan dirinya untuk
mundur sampai mati dan tidak menyiapkan penggantinya bagaimana nasib generasi
sesudah kita. Beberapa hal penting pelajaran yang diajarkan tubuh kita
berkaitan dengan APOPTOSIS ini adalah:
1.
Ada masa kerja dalam suatu misi; sel darah merah
mempunyai masa kerja dalam menjalankan misinya selama 120 hari, selama itu pula
sumsum tulang sudah menyiapkan calon-calon pengganti demikian juga dengan
sel-sel yang lain. Masa kerja ini punya dua dampak : pertama, membuat si pelaku
menjadi “bersemangat” atau excited karena ada target waktu, kedua, memberikan
batasan waktu, selain sebagai target, juga sebagai pengingat, sehingga
seseorang tidak terlena dan bekerja lebih fokus pada permasalahan yang harus diselesaikan.
2.
Sel-sel yang misinya sudah berakhir maka dengan
“rendah hati” merelakan dirinya menjalani program APOPTOSIS (melepas
jabatannya) tanpa ada rasa kehilangan atau dalam bahasa Jawa “eman-eman” [tidak
rela] ketika posisinya sudah ada generasi penerus yang sudah siap untuk
menggantikan.
Seringkali yang dilupakan orang dalam sebuah organisasi,
bahwa umur organisasi atau waktu capaian untuk sebuah visi besar tidak dibatasi
oleh umur individu seseorang. Sebagai contoh misalnya visi besar umat Islam tentang
pembebasan Konstantinopel ternyata baru tercapai 7 – 8 abad setelah sabda
Rasulullah SAW, ”telah terbebaskan Konstantinopel (Qusthanthiniyyah), sebaik-baik panglima adalah panglimanya dan
sebaik-baik pasukan adalah pasukannya”. Muhammad Al Fatih sendiri adalah
generasi ke tujuh dari kekhalifahan Utsmaniyah. Yang menarik di sini adalah
proses pergantian kepemimpinan. Pemimpin yang akan uzur (APOPTOSIS), jauh-jauh
hari sebelumnya sudah membuat “kawah candradimuka” atau “pabrik” penghasil
pemimpin-pemimpin pengganti. Muhammad Al Fatih, seorang hafidh Al-Qur’an dan
Hadits, menguasai ilmu kedokteran, ilmu militer, ilmu politik dan
kemasyarakatan dan seorang muda yang berkarakter kuat, sholat malam tidak
pernah lepas dari hari-harinya walaupun di medan perang. Muhammad Al Fatih
menjadi khalifah pada saat berusia 17 tahun dan memimpin pembebasan
Konstantinopel dengan lebih dari 35 ribu pasukan dengan berbagai inovasi militer
tercanggih di zamannya pada usia 22 tahun! Luar biasa!
3.
Sel-sel yang menjalani APOPTOSIS menyadari bahwa
“masyarakat” membutuhkan dirinya untuk mundur dari posisi yang ditempati karena
jabatan yang ditempati itu sudah tidak diperlukan lagi, karena situasi zaman
dan tuntutan keadaan yang berubah sama sekali.
Pergantian generasi, tentu diikuti pula banyak sekali
perubahan-perubahan. Era tahun 1900an dan sebelumnya sistem yang meresap di
masyarakat waktu itu adalah sistem feodal, seseorang dikatakan kaya dan
berpengaruh apabila memiliki tanah pertanian yang luas. Semakin luas tanah
pertanian yang dikuasai semakin berpengaruh dan berkuasa lah seseorang itu. Tetapi
di era tahun 60 – 70 an terjadi perubahan pola perdagangan dan era tahun 1990 sampai
2000 ke atas era dunia kreatif. Masing-masing era pasti membutuhkan kompetensi-kompetensi
yang harus dipenuhi agar bisa survive. Karena itu karakteristik pejabat, pemimpin,
birokrat dan manajer haruslah sesuai tuntutan zaman. Ketika zaman telah berubah,
maka para leader di masing-masing bidang harus rela lengser (APOPTOSIS) karena komptensi
yang dimiliki barangkali sudah tidak up to date lagi.
Wallahua’lam