Suatu ketika, saya ngobrol dengan bidan yang mempunyai anak kuliah
di fakultas kedokteran tempat saya bekerja. Beliau berkata kepada saya,
“Dok..minta tolong agar fakultas [FKUMS] bisa membantu anak saya agar bisa
penempatan di Puskesmas, sehingga anak saya masih ada peluang untuk bisa PNS”.
Dalam hati saya berkata,”mengapa orang masih mempunyai harapan begitu besar
pada peluang yang demikian kecil; bahkan dalam tiga tahun dari penulisan naskah
ini pemerintah mengeluarkan moratorium tidak akan mengangkat PNS baru?”
Tapi saya segera sadar, bahwa orang butuh keamanan bekerja,
gaji yang stabil [walaupun relatif kecil dibanding kerja di perusahaan swasta
yang ternama], ada pensiun serta ada asuransi kesehatan terutama saat hari tua
[saya membuktikan sekali terutama bapak mertua saya yang PNS, berkali-kali
masuk rumah sakit, kami putra-putrinya sangat terbantu adanya asuransi
kesehatan yang beliau miliki].
Sebaliknya, tidak sedikit orang yang memilih jalur wirausaha
yang jatuh dan meninggalkan banyak tunggakan utang. Hidup berliku-liku harus
menghadapi beban yang demikian berat, seperti saat menghadapi tingkat penjualan
atau pemasukan yang menurun dan sebagainya. Artinya memilih menjadi
wiraswastawan/wati bukanlah pilihan yang menyenangkan sebagaimana yang sering
dijanjikan oleh berbagai kursus kewirausahaan mempunyai mobil mewah [pernah
dikatakan mobil wiraswastawan/wati tidak bermerek nama hewan-hewan seperti
kijang atau penther; disebut dengan nada sinis], tetapi merupakan perubahan
mental dari kenyamanan dan kepastian menuju waspada, perhitungan terhadap
risiko, sabar dan konsisten mewujudkan kinerja orang-orang di sekitar, dan
tahan banting. Bukan sekedar perubahan kecil, melainkan perubahan besar-besaran
dalam banyak aspek mental, kepribadian, cara pandang hidup, standar hidup dan
pendidikan keluarga.
Permasalahan selanjutnya, bila
kita keukeuh memilih PNS menjadi
pilihan karier kita. Saya ajak Anda untuk sedikit melihat atau berkaca mengenai
perjalanan karier atau “nasib dokter” di Indonesia. Kalau Anda cermati, mulai era
tahun 1990-an, karier dokter di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan.
Sebelum era itu, setiap dokter yang lulus, hampir pasti akan menjadi pegawai
negeri sipil (PNS). Sejak era 1990-an, dokter hanya “disusui” oleh pemerintah
selama tiga tahun sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT), setelah itu dia
harus mandiri. Di era reformasi sesudahnya, tuntutan kemandirian dokter lebih
kuat lagi, bahkan pada banyak kasus, tidak pernah “disusui” oleh pemerintah
sebagai dokter PTT. Penyebab tuntutan kemandirian itu meliputi, desakan
penghapusan subsidi pemerintah pada sektor yang lebih luas karena gangguan
stabilitas ekonomi nasional serta ketidakmerataan distribusi dokter yang
terpusat di kota besar dan pulau Jawa (walaupun jumlah dokter mulai melimpah).
Secara nasional, walaupun rasio dokter umum dibanding jumlah penduduk masih di
bawah negara-negara lain (Indonesia 1/10.000; Malaysia 7/10.000; Iraq 5/10.000;
Cuba 64/10.000; China 14/10.000; Kamboja 2/10.000)[1], tetapi
karena dua faktor tersebut sebelumnya, para dokter baru harus realistis dalam
memikirkan nasibnya sendiri. Kenyataan di berbagai daerah terutama Jawa, rasio
jumlah formasi tenaga dokter PNS yang dibutuhkan banding pendaftar yang ada,
lebih banyak pendaftarnya (masih ingat cerita teman saya di kabupaten Klaten
bahwa 1 lowongan PNS dokter diperebutkan 4 – 6 dokter), mempertegas pernyataan
bahwa dokter lulusan baru harus benar-benar mandiri agar tidak menjadi
pengangguran intelektual. Tuntutan kemandirian ini juga relevan dengan
kebutuhan pemulihan perekonomian nasional Indonesia akan bertambahnya proporsi
jumlah entrepreneur dalam masyarakat.
Saat ini proporsi entrepreneur
(wirausahawan/wati) di Indonesia sebesar 0,38% dari total populasi
(dibandingkan Malaysia 3% dan Singapura 7%). Proporsi ideal jumlah wirausaha di
Indonesia adalah 2 % dari populasi[2].
Dengan melihat berbagai kondisi tersebut, maka kompetensi entrepreneurship bagi dokter adalah
suatu kebutuhan mendesak. Alasan kemendesakan ini meliputi:
1)
tuntutan kemandirian dokter itu sendiri agar
tidak jatuh ke jurang pengangguran intelektual
2)
menyediakan lapangan kerja baik untuk dokter
sendiri, profesional kesehatan lainnya dan sumber daya manusia lainnya
3)
keperansertaan dokter dalam usaha pemulihan
perekonomian nasional Indonesia.
No comments:
Post a Comment