Saat ini pendidikan dokter
membutuhkan waktu 3,5 tahun untuk menyelesaikan gelar Sarjana Kedokteran,
dilanjutkan 1,5 tahun pendidikan co-ass, kemudian mengikuti ujian kompetensi
dokter baru mendapatkan STR (Surat Tanda Regristrasi) untuk mengurus izin praktik.
Kalau seandainya internship
diberlakukan, maka bertambah waktu 1 tahun penantian untuk baru bisa dianggap
sebagai dokter “beneran”. Perjuangan menjadi dokter mulai dari mendapatkan
gelar dokter umum dan melanjutkan pendidikan spesialisasi merupakan perjuangan
dengan tantangan yang berliku, butuh kesabaran, tahan banting yang tinggi,
serta membutuhkan stamina mental, fisik dan keuangan yang tangguh.
Ternyata perjuangan setelah lulus
baik dokter umum maupun dokter spesialis bukan pekerjaan mudah seperti yang
dikatakan kebanyakan orang semudah membalikkan telapak tangan. Artinya menjadi
dokter bukanlah sesuatu pekerjaan yang dilingkupi dengan kemudahan, kelancaran
dan ditunjang fasilitas membuat kehidupan dokter menjadi lebih nyaman.
Kenyataannya perjuangan agar “survive”
tidak jatuh pada kelompok pengangguran intelektual setelah lulus, tidak lebih
berat daripada perjuangan untuk mendapatkan gelar dokter umum atau dokter
spesialis.
Dua belas tahun yang lalu ketika
saya dan istri sama-sama memulai karier sebagai dokter umum, ternyata
menegakkan fondasi finansial harus diperjuangkan secara habis-habisan. Orang
tua saya adalah seorang petani, tidak mempunyai satu pun relasi dokter yang bisa
memberikan rekomendasi untuk masuk di klinik X atau Y. Tidak pula orang tua
saya memiliki harta yang berlebih, sehingga saya pada waktu itu ikut saja
program PTT selama tiga tahun di daerah terpencil untuk menghemat waktu tunggu
agar bisa masuk mendaftar spesialisasi, dengan segala konsekuensi biaya yang
harus ditanggung. Sehingga mau tidak mau harus berjuang mati-matian untuk
mendapatkan kursi jaga di poliklinik. Waktu itu sudah menjadi keputusan kami
berdua [saya dan istri] tidak pergi merantau ke Jakarta, dan memutuskan
bagaimana caranya harus bisa bertahan di Solo. Yang kami lakukan adalah
mendatangi setiap klinik, rumah sakit, dokter-dokter dosen yang kami anggap
dekat dengan mahasiswa, siapa tahu masih ada kebutuhan untuk diisi dokter umum.
Kami datangi pula sekolah-sekolah tinggi ilmu kesehatan, akademi perawat,
akademi kebidanan, dan sebangsanya, dengan harapan siapa tahu juga saya atau
istri bisa mengajar di sana. Perusahaan-perusahaan yang mempunyai karyawan juga
kami coba tembusi, sekolah-sekolah pun tidak ketinggalan. Bahkan ketika sedang hunting di sekolah, istri saya sempat
mendengar celetukan guru yang berkata “sekarang jadi dokter mulai susah ya
mencari kerja”.
Akhirnya dalam satu tahun
penantian menunggu turunnya SK penempatan PTT, saya bekerja di klinik 24 jam di
Palur Surakarta dengan gaji uang duduk Rp. 5000,- per 8 jam dan tambahan Rp.
1000,- per pasien (tarif ini pada tahun 1999 – 2000). Beberapa bulan berikutnya
alhamdulillah, dari teman sejawat
yang kerja di klinik tersebut ada informasi lowongan dokter di PKU Jatinom
Klaten. Jam kerja di PKU Jatinom Klaten waktu itu terbilang unik, mulai jaga
hari Jum’at jam 07.00 WIB berakhir sampai hari Senin jam 07.00 WIB. Untuk
klinik 24 jam di Palur Surakarta dalam satu bulan mendapatkan gaji sekitar Rp.
200.000 [jam kerja seminggu sekitar 3 – 4 hari per minggu, 8 jam per harinya],
untuk yang dari PKU Jatinom lumayan mendapatkan gaji Rp. 400.000,- sebulannya.
Sebagai gambaran perbandingan gaji dokter PTT dari pemerintah pusat waktu itu
sebesar Rp. 500.000,- per bulan [gaji karyawan pabrik 450.000,- per bulan]. Selanjutnya,
dari teman juga, ada lowongan dokter jaga UGD di RSJ Surakarta dengan gaji Rp.
50.000,- per shift jaga di luar jam
kerja pagi [shift jaga per bulan
kurang lebih sekitar 3 – 6 kali]. Beberapa waktu kemudian ada tawaran menjadi
dokter UKP [Usaha Kesehatan Pondok] di Pondok Pesantren Modern Islam [PPMI] Assalaam
Surkarata dengan gaji Rp. 500.000,- perbulan. Saya melepas jaga saya di PKU
Jatinom Klaten, karena jarak terlalu jauh [kurang lebih 30 km dari Solo]. Pada
saat SK PTT turun satu tahun berikutnya, kami memutuskan mencari kontrakan yang
dekat pondok Assalaam. Beberapa pertimbangan mencari kontrakan di daerah dekat
pondok Assalaam pertama; sebagian besar karyawan pondok Assalaam [total
karyawan pondok Assalaam sekitar 500 orang, saya memperkirakan dua pertiganya
tinggal di desa dekat kontrakan kami], kedua; sebagian besar karyawan pondok
Assalaam sudah dekat secara pribadi dengan saya, termasuk sudah merasakan
kualitas pelayanan dokter yang saya berikan, ketiga; kami memilih lingkungan yang
kondusif untuk pendidikan anak-anak kami [kami memilih dekat dengan masjid],
keempat; di desa tersebut [desa Gonilan kecamatan Kartasura Sukoharjo Jawa
Tengah] belum ada dokter praktik, kelima; desa Gonilan adalah desa agraris, saya
memprediksi ada potensi daya beli untuk layanan dokter umum [untuk tarif Rp.
20.000,- per pasien sudah termasuk obat; karena menggunakan sistem dispensing]. Permasalahannya adalah
harga kontrakan rumah waktu itu [tahun 2000] Rp. 3.000.000,- per tahun. Pada
saat yang sama kami belum banyak mempunyai uang cash. Akhirnya kami memutuskan pinjam uang di BMT Amanah Umat
sebesar Rp. 5.000.000,- [terima kasih pak Faisal yang hingga kini masih
menjabat sebagai direktur utamanya] dengan perhitungan cicilan pokok diambilkan
dari gaji selama kerja di pondok Assalaam, karena kerja mulai 13.00 WIB sampai
jam 17.00 WIB [karena gaji PTT baru turun 6 bulan berikutnya; belakangan baru
ketahuan ternyata gaji tersebut masuk ke rekening liar dulu selama 6 bulan
sebelum didistribusikan ke rekening dokter dan bidan PTT, waktu itu sempat
melakukan demo]. Pengalaman menarik ketika pinjam uang sebesar Rp. 5.000.000,-
karena tidak mempunyai jaminan, [sepeda motor yang dipakai istri adalah milik
mertua BPKB juga atas nama mertua dan disimpan oleh mertua, kami sepakat tidak
akan memakainya untuk jaminan], kami melakukan negosiasi dan akhirnya pihak BMT
setuju, jaminannya adalah ijazah dokter saya.
Selesai PTT, alhamdulillah utang mulai lunas. Setelah selesai PTT, ternyata
perjuangan kemandirian belum berakhir, berarti kehilangan pendapatan rutin
sebesar Rp. 1.000.000,- [gaji PTT naik kira-kira setelah setahun menjalani masa
PTT]. Karena itu saya dan istri mulai lebih intensif hunting peluang dokter di UKS sekolah. Saya dan istri akhirnya bisa
mendapatkan sekitar 7 sekolah, dengan pendapatan bulanan Rp. 200.000,- per
bulan per sekolah, sehingga lumayan bisa menggantikan pendapatan yang diperoleh
selama PTT. Pencarian klinik 24 jam pun masih terus kami lakukan, akhirnya
mendapatkan tempat di Kartasura, waktu itu adalah poliklinik satelit Rumah
Sakit YARSIS yang bermitra dengan bidan senior di wilayah itu. Bila mendapatkan
shift sore, maka istri yang menjadi
dokter pemeriksa di rumah. Kebanyakan shift
yang saya terima adalah shift pagi. Pada saat yang bersamaan, dengan pengalaman
selama PTT makin bertambah kenalan dengan orang dan pasien dari Puskesmas
tempat PTT, membuat kunjungan pasien di tempat praktik makin banyak. Pada tahun
ketiga [bertepatan dengan selesainya PTT] jumlah pasien rutin per hari sudah
mencapai 10 – 15 pasien. Terhadap pasien tidak mampu tetap berlaku aturan
gratis, dan jumlahnya pun kurang dari 5 %.
Selama praktik, saya termasuk
tertib dalam pencatatan rekam medis pasien, rekap nama pasien, obat yang
diberikan dan tarifnya, termasuk pasien yang gratis juga ada pencatatannya. Belakangan
baru kami rasakan manfaatnya ketika akan pinjam uang di bank, sebagai bukti track record kinerja keuangan tempat
praktik, bahwa kita bisa dipercaya diberikan pinjaman. Akhir tahun 2003 kami
memutuskan membangun rumah tempat tinggal sendiri sekaligus tempat praktik,
karena kenaikan harga kontrakan rumah lebih dari 30 % per tahun. Bila
dihitung-hitung antara biaya membayar kontrakan dengan pola kenaikan 30 % per
tahun dan mencicil utang KPR [kredit pemilikan rumah] selama sepuluh tahun
jatuhnya sama. Setidaknya ada tiga permasalahan yang harus bisa kami pecahkan
untuk mendapatkan utang KPR. Pertama, mencari bank yang mau mengucurkan kredit
kepada kita [ini bukan pekerjaan mudah, ternyata harus bermuka tebal mendatangi
account officer bank satu per satu,
ada lebih dari 6 bank yang kami datangi dan yang mempercayai HANYA SATU. Posisi
mendatangi bank bukanlah posisi strategis, kita dalam posisi “dicurigai”.
Permasalahan mencari mitra pemborong, karena saya dan istri sama sekali tidak
paham mengenai masalah per-bangunan. Untungnya, alhamdulillah, karyawati bank
yang mempercayai kami, memberikan solusi mitra pemborong. Karena bank butuh
jaminan bahwa uang yang dikucurkan benar-benar untuk membangun rumah [baru kami
sadari permasalahan bank harus selektif dan bergerak dalam posisi aman karena
harga tanah dan bangunan harus setidaknya 30 % lebih tinggi dari uang yang
dipinjamkan]. Permasalahan ketiga [terakhir tetapi menentukan] kami mengalami
kebingungan untuk mencari uang cash
30 juta yang akan digunakan untuk modal awal membeli tanah dan membangun
pondasi awal. Uang cash yang kami
miliki waktu itu hanya 10 juta, itu pun sudah disiapkan untuk biaya provisi,
asuransi kebakaran dan asuransi jiwa yang harus dibayar di muka. Karena pihak
bank mensyaratkan bahwa 30 % biaya rumah itu harus ditanggung oleh peminjam
KPR. Diskusi demi diskusi terus kami lakukan siang malam, akhirnya memutuskan strategi
mendapatkannya dengan mencari pinjaman cash
dari sanak keluarga maupun teman-teman, masing-masing orang kami batasi 5 juta
rupiah. Alhamdulillah, Allah SWT
memberikan jalan keluar, lewat teman dekat [satu perawat dan satu detailler] mendapat pinjaman
masing-masing Rp. 5.000.000,-. Dari mantan kepala puskesmas saya, mendapat
pinjaman juga sama 5 juta rupiah. Kemudian dari bidan yang bermitra dengan
YARSIS tempat saya bekerja juga mendapatkan pinjaman 5 juta rupiah, dari teman
ta’mir masjid dekat tempat praktik 5 juta rupiah, terakhir dari pemborongnya
sendiri saya dapat dispensasi bisa dicicil 10 juta rupiah sisanya. Orang-orang
yang meminjami kami, alhamdulillah, kami senantiasa tetap menjaga silaturahim
hingga saat ini dan insya Allah ke depannya [kami mengharuskan diri untuk
menjadwalkan silaturahim secara khsusus ketika lebaran kepada 5 orang spesial
bagi kehidupan kami tersebut]. Alhamdulillah,
Allah SWT memberikan kemudahan, utang-utang di luar bank bisa kami lunasi 6
bulan hingga 1 tahun berikutnya, sembari membayar cicilan utang per bulannya
hingga sepuluh tahun mendatang.
Gambar 6.
Fase-fase perjalanan karier saya sebagai dokter umum; tahun-tahun awal
perjuangan habis-habisan untuk mendapatkan stabilitas pendapatan keluarga, fase
kedua perjuangan untuk lolos dari jebakan tarif sewa rumah/praktik yang tinggi
laju kenaikannya [>
30% per tahun], fase ketiga saya terjebak dalam liabilitas hingga tahun 2025
[insya Allah tidak sampai, sedang mengusahakan perolehan aset]
Demikianlah, saya sengaja
bercerita agak panjang lebar dan detil mengenai sebagian perjuangan kami untuk
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga mulai pendapatan yang
memadai untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, transportasi, membeli buku
[saya termasuk orang yang rakus membaca buku di luar kedokteran], hingga
perjuangan keras dan cerdas untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Maksud
dan tujuannya adalah ingin mendiskripsikan beban dan tantangan yang harus
dihadapi oleh dokter-dokter yang hidup di era reformasi [pasca 1998]. Saya
yakin banyak kisah-kisah lain yang bisa jadi lebih dramatis oleh teman-teman
dokter yang seusia dengan saya daripada cerita yang saya kisahkan. Pada waktu saya
baru lulus menjadi dokter umum, jumlah fakultas kedokteran masih berkisar 40an
dan pertumbuhan dokter baru berkisar di pusaran angka 4000 – 5000 dokter per
tahunnya. Saya membayangkan betapa lebih hebat lagi tantangan dokter produk
lulusan 5 tahun terakhir [terutama yang memilih tetap bertahan di Jawa dan
daerah dekat perkotaan], dimana pertumbuhan jumlah institusi fakultas
kedokteran sudah mencapai 75 fakultas kedokteran [negeri maupun swasta], dengan
jumlah lulusan 7000 – 10.000 dokter baru yang terus merangsek dalam kehidupan
masyarakat setiap tahunnya. Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan
informasi ketika ngobrol dengan adik kelas yang diterima sebagai PNS dokter
umum di kabupaten Klaten Jawa Tengah. Saya bertanya kepadanya, “kemarin yang
mendaftar dan ikut seleksi masuk PNS, berapa dokter umum yang hadir dalam ujian
itu?” “Ada 38 dokter umum Mas” jawabnya. Kemudian saya bertanya lagi, “yang
diterima berapa dokter umum?” “4 dokter umum yang diterima Mas, termasuk saya”
jawabnya. Saya berkesimpulan dalam hati, jadi PNS BUKANLAH PELUANG YANG BISA
DIHARAPKAN bagi dokter umum yang baru lulus. DOKTER UMUM BARU LULUS HARUS
MENCARI PELUANG LAIN SELAIN PNS! Dokter spesialis yang baru lulus pun mempunyai
tantangan yang tidak jauh beda. Fokus pencarian kerja bagi dokter spesialis
adalah rumah sakit, rujukan sekunder sampai rujukan tersier. Teman saya yang
telah lulus menjadi dokter spesialis bedah, harus hunting lintas kabupaten sebelum akhirnya mendapatkan tempat.
Meskipun demikian, kita tetap harus
selalu optimis dan berpikir positif. Saya mengamati perkembangan di sekitar
rumah tinggal kami, pertumbuhan jumlah perumahan yang terus membengkak di sana
sini. Ada permasalahan baru berkaitan dengan perumahan-perumahan baru yang
terus bertambah dari tahun ke tahun, setidaknya masalah sampah, saluran air
limbah, dan peluang banjir yang jauh lebih besar. Walaupun begitu, tetap saja
ada peluang bagi dokter umum yang baru lulus. Apa itu?
Kadang saya berkelakar dengan
istri dan staf yang membantu saya dalam satu kesempatan ketika bersama dalam satu
mobil dan melewati perumahan baru dengan mengatakan “ini nih.... calon
pasien-pasien kita!” ha ha ha. Saya sedikit menganalisa dalam radius 3 – 5
kilometer dari tempat praktik saya, masih layak untuk ditambahi 2 – 3 dokter
praktik pribadi seperti saya dengan melihat pertumbuhan perumahan yang mulai
merangsek secara pasti menutupi tanah-tanah persawahan di sekitar kami.
7 comments:
kunjungan balik sob :)
maturnuwun atas kunjungannya
berarti lulusan kedokteran belum tentu terjamin kesuksesannya? :(
sob... jangan salah, dokter pns tu juga "ngenes"... hehe.. rumput tetangga lebih hijau
Sgt inspiratif sekali dok.. Memacu sy (alumni fk ums 06) utk trs berusaha meniti karir kami. Btw, dlu ptt dmn njih dok?
semangat dok, semoga diberi kemudahan, sdh gabung DIB?
Sangat inPiratip dok, (Mul, 2008 fk ums)
Post a Comment