Disukai atau tidak, dianggap
benar atau salah, bahkan dianggap haram pun, demokrasi dengan proses pemilihan
umum di dalamnya, telah menjadi bagian yang “mengikat” bagi seluruh warga
negara Indonesia. Mengikat di sini adalah pemerintahan yang dihasilkan “wajib”
ditaati dengan seluruh aspek administratifnya seperti izin usaha, izin
mendirikan sekolah, “wajib” bayar pajak secara suka rela maupun terpaksa (orang
sakit pun “wajib” membayar pajak, karena pajak yang dibebankan sudah menjadi
satu paket harga keseluruhan obat yang dikonsumsi, pajak kendaraan bermotor
baik baru maupun yang setiap tahunnya; tanpa kita sadari hampir setiap saat
kita membayar pajak untuk dikelola pemerintah). Aspek “mengikat” selanjutnya
adalah pemerintah yang sah dari hasil pemilihan umum tersebut mempunyai
wewenang penuh menggunakan kekuasaan dan mengelola uang yang dikumpulkan dari
pajak yang jumlahnya cukup untuk digunakan memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital
seluruh warganya.
Permasalahan besar dan mendasar
adalah rentang kekuasaan dan wewenang pemerintah yang sah (tidak pandang bulu
berapa pun partisipasi warga dalam pemilu) meliputi semua aspek kehidupan
warganya hingga praktek keagamaan yang seringkali dipropagandakan sebagai
wilayah pribadi. Permasalahan turunannya adalah bila kepribadian, pemahaman
agama, serta karakter-karakter akhlaknya tidak sesuai dengan idealisme Islam
yang menjadi keyakinan utama sebagian besar warga negara Indonesia. Lebih jauh
lagi, pemerintah yang sah ini mempunyai kekuasaan dan wewenang penuh
menggunakan kekuatan militer untuk “mengamankan” kepentingan idealisme
pemerintah, bahkan sekalipun itu “membantai” warganya karena dinilai
“merugikan” idealisme pemerintah yang berkuasa.
Dalam konteks demokrasi,
pemerintah yang sah adalah dipilih oleh warganya. Untuk alasan keadilan (fairness) maka untuk mengakomodasi
idealisme yang berkembang dalam masyarakat, dibentuklah lembaga-lembaga yang
merupakan representasi idealisme yang dianut oleh warganya, walaupun tidak
sepenuhnya bisa terwakili secara utuh, tetapi inilah yang diyakini sebagai
pendekatan yang paling rasional dan efisien. Selanjutnya, lembaga-lembaga
representasi idealisme yang berkembang dalam masyarakat diberikan nama
partai-partai politik. Lebih lanjut, partai-partai politik mengemas
idealismenya dengan cara semenarik dan sesederhana mungkin untuk mendapatkan
simpati seluas-luasnya dari masyarakat, dengan indikator sederhananya perolehan
suara yang diperoleh dalam pemilihan umum. Partai politik ini adalah produsen
“pemimpin” yang mereka “jual” sebagai kontestan calon legislatif (caleg), calon
bupati, calon walikota, calon gubernur, hingga calon presiden sebagai bahan
pilihan masyarakat siapa saja yang menjadi pemimpin-pemimpin mereka di setiap
tingkat pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum.
Secara logis, maka masyarakat
akhirnya bisa menilai partai-partai politik mana yang merupakan “menghasilkan”
pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan partai-partai politik mana yang
berkinerja buruk dalam “memproduksi” pemimpin yang baik. Ada faktor lain yang
mempengaruhi pilihan atau penilaian masyarakat terhadap kinerja partai politik
dan pemimpin-pemimpin yang mereka hasilkan yaitu media dan berbagaimacam
bentuknya baik cetak maupun elektronik hingga audiovisual. Ternyata, media ini
bukanlah alat yang netral, karena selalu ada keberpihakan media terhadap partai
politik yang sesuai dengan idealisme dan kepentingannya. Maka disinilah letak
rumitnya permasalahan masyarakat dalam menghasilkan pemimpin-pemimpin
berkualitas yang mengatur hajat hidup mereka sendiri. Sehingga seringkali
masyarakat atau rakyat menjadi barang eksploitasi untuk mendapatkan simpati
sekaligus “mengekalkan” kepentingan penguasa walaupun itu menyulitkan rakyatnya
sendiri, melalui peran media yang mengalami distorsi.
Maka menyikapi berbagai
permasalahan yang akhirnya menghalangi masyarakat dalam hal ini umat Islam
untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin/penguasa yang berkualitas, beberapa hal
berikut hendaklah menjadi perhatian utama masyarakat:
1.
Tetap berpartisipasi dalam pemilu walaupun
mungkin tidak setuju dengan sistem demokrasi secara umum (aturan demokrasi,
berapa pun partisipasi pemilih, pemerintah tetap sah, dan mempunyai wewenang
serta kekuasaan penuh dalam mengelola sumber daya yang sebenarnya adalah hak
kaum muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia, sekalipun itu
merugikan). Dengan berpartisipasi dalam pemilu, setidaknya kita mempunyai andil
dalam mengerem kekuatan-kekuatan yang merugikan kepentingan umat Islam, karena
kita memilih calon-calon legislatif yang kita nilai secara lahir mempunyai
komitmen dan keberpihakan pada nilai-nilai Islam. Coba Anda bayangkan,
ketidak-ikutan Anda, menyebabkan orang “baik” tidak dapat menjadi anggota
legislatif atau pemimpin yang lain dan menjadikan orang “jelek” menjadi
pemimpin yang kebijakan strategisnya membuat sebagian warga keluar dari
agamanya atau membuat praktek-praktek syirik berkembang pesat?
2.
Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan dalam
menilai (dari kecenderungan lahiriyah) calon anggota legislatif :
a. Bagi
calon tersebut, memandang jabatan (dimana pun tingkatannya) sebagai wasilah
(sarana) untuk beramar ma’ruf nahi munkar bukan ghoyah (tujuan utama, jabatan adalah segala-galanya)
b. Calon
tersebut mempunyai potensi atau kecenderungan produk-produk yang dihasilkan
(undang-undang, peraturan daerah, kebijakan-kebijakan strategis berkaitan
dengan jabatannya) berorientasi pada maqosid syariah.
c. Lebih
rinci maqosid syariah :
1)
Hifdh ad-Diin, kebijakan strategis terkait
jabatan haruslah menjaga aqidah warga yang dipimpinnya. Contohnya mencegah
upaya “menghidupkan” ritual syirik, bid’ah, khurafat, dan takhayul, walaupun
dengan alasan meningkatkan pendapatan asli daerah.
2)
Hifdh an-Nafs, kebijakan strategis terkait
jabatan haruslah menjaga harga diri, kehormatan dan martabat warga, bangsa,
negara dan umat Islam pada umumnya. Contohnya mengupayakan pemberdayaan
masyarakat agar berdikari, sehingga tidak mudah diremehkan oleh pihak-pihak
lain satu paket dengan kepentingan mereka.
3)
Hifdh an-Nasl, kebijakan strategis terkait
jabatan haruslah menjaga garis keturunan biologis warganya. Contohnya
mengupayakan kebijakan pengaturan yang mencegah warga mendekati perbuatan zina.
Contoh lain, mengupayakan perbaikan kualitas keturunan anak bangsa, melalui
perbaikan kualitas kesehatan anak-anak.
4)
Hifdh al-Aql, kebijakan strategis terkait
jabatan, haruslah menjaga kualitas akal sehat warganya. Mencegah upaya-upaya
baik dari luar maupun dari dalam yang merusak kualitas akal sehat seperti
pembatasan distribusi minuman keras, Narkoba, dan perjudian.
5)
Hifdh al-Maal, kebijakan strategis terkait
jabatan, haruslah meminimalkan uang yang terkumpul lewat pajak serta uang
rakyat apa pun bentuknya terbuang sia-sia. Prinsipnya tidak boleh ada satu
rupiah pun uang rakyat yang keluar tidak ada gunanya.
3.
Bertawakkal kepada Allah SWT sebelum dan sesudah
menentukan pilihan.
Semoga Allah SWT melindungi kita
umat Islam dan bangsa Indonesia, dengan menghadiahi kita pemimpin-pemimpin yang
mencintai dan dicintai rakyatnya. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment