my map

https://www.google.co.id/maps/@-7.5532988,110.7662994,189m/data=!3m1!1e3!4m2!5m1!1b1?hl=id

Tuesday, June 10, 2014

Menyikapi secara proporsional Pemilihan Umum Legislatif



Disukai atau tidak, dianggap benar atau salah, bahkan dianggap haram pun, demokrasi dengan proses pemilihan umum di dalamnya, telah menjadi bagian yang “mengikat” bagi seluruh warga negara Indonesia. Mengikat di sini adalah pemerintahan yang dihasilkan “wajib” ditaati dengan seluruh aspek administratifnya seperti izin usaha, izin mendirikan sekolah, “wajib” bayar pajak secara suka rela maupun terpaksa (orang sakit pun “wajib” membayar pajak, karena pajak yang dibebankan sudah menjadi satu paket harga keseluruhan obat yang dikonsumsi, pajak kendaraan bermotor baik baru maupun yang setiap tahunnya; tanpa kita sadari hampir setiap saat kita membayar pajak untuk dikelola pemerintah). Aspek “mengikat” selanjutnya adalah pemerintah yang sah dari hasil pemilihan umum tersebut mempunyai wewenang penuh menggunakan kekuasaan dan mengelola uang yang dikumpulkan dari pajak yang jumlahnya cukup untuk digunakan memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital seluruh warganya.
Permasalahan besar dan mendasar adalah rentang kekuasaan dan wewenang pemerintah yang sah (tidak pandang bulu berapa pun partisipasi warga dalam pemilu) meliputi semua aspek kehidupan warganya hingga praktek keagamaan yang seringkali dipropagandakan sebagai wilayah pribadi. Permasalahan turunannya adalah bila kepribadian, pemahaman agama, serta karakter-karakter akhlaknya tidak sesuai dengan idealisme Islam yang menjadi keyakinan utama sebagian besar warga negara Indonesia. Lebih jauh lagi, pemerintah yang sah ini mempunyai kekuasaan dan wewenang penuh menggunakan kekuatan militer untuk “mengamankan” kepentingan idealisme pemerintah, bahkan sekalipun itu “membantai” warganya karena dinilai “merugikan” idealisme pemerintah yang berkuasa.
Dalam konteks demokrasi, pemerintah yang sah adalah dipilih oleh warganya. Untuk alasan keadilan (fairness) maka untuk mengakomodasi idealisme yang berkembang dalam masyarakat, dibentuklah lembaga-lembaga yang merupakan representasi idealisme yang dianut oleh warganya, walaupun tidak sepenuhnya bisa terwakili secara utuh, tetapi inilah yang diyakini sebagai pendekatan yang paling rasional dan efisien. Selanjutnya, lembaga-lembaga representasi idealisme yang berkembang dalam masyarakat diberikan nama partai-partai politik. Lebih lanjut, partai-partai politik mengemas idealismenya dengan cara semenarik dan sesederhana mungkin untuk mendapatkan simpati seluas-luasnya dari masyarakat, dengan indikator sederhananya perolehan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum. Partai politik ini adalah produsen “pemimpin” yang mereka “jual” sebagai kontestan calon legislatif (caleg), calon bupati, calon walikota, calon gubernur, hingga calon presiden sebagai bahan pilihan masyarakat siapa saja yang menjadi pemimpin-pemimpin mereka di setiap tingkat pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum.
Secara logis, maka masyarakat akhirnya bisa menilai partai-partai politik mana yang merupakan “menghasilkan” pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan partai-partai politik mana yang berkinerja buruk dalam “memproduksi” pemimpin yang baik. Ada faktor lain yang mempengaruhi pilihan atau penilaian masyarakat terhadap kinerja partai politik dan pemimpin-pemimpin yang mereka hasilkan yaitu media dan berbagaimacam bentuknya baik cetak maupun elektronik hingga audiovisual. Ternyata, media ini bukanlah alat yang netral, karena selalu ada keberpihakan media terhadap partai politik yang sesuai dengan idealisme dan kepentingannya. Maka disinilah letak rumitnya permasalahan masyarakat dalam menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang mengatur hajat hidup mereka sendiri. Sehingga seringkali masyarakat atau rakyat menjadi barang eksploitasi untuk mendapatkan simpati sekaligus “mengekalkan” kepentingan penguasa walaupun itu menyulitkan rakyatnya sendiri, melalui peran media yang mengalami distorsi.
Maka menyikapi berbagai permasalahan yang akhirnya menghalangi masyarakat dalam hal ini umat Islam untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin/penguasa yang berkualitas, beberapa hal berikut hendaklah menjadi perhatian utama masyarakat:
1.       Tetap berpartisipasi dalam pemilu walaupun mungkin tidak setuju dengan sistem demokrasi secara umum (aturan demokrasi, berapa pun partisipasi pemilih, pemerintah tetap sah, dan mempunyai wewenang serta kekuasaan penuh dalam mengelola sumber daya yang sebenarnya adalah hak kaum muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia, sekalipun itu merugikan). Dengan berpartisipasi dalam pemilu, setidaknya kita mempunyai andil dalam mengerem kekuatan-kekuatan yang merugikan kepentingan umat Islam, karena kita memilih calon-calon legislatif yang kita nilai secara lahir mempunyai komitmen dan keberpihakan pada nilai-nilai Islam. Coba Anda bayangkan, ketidak-ikutan Anda, menyebabkan orang “baik” tidak dapat menjadi anggota legislatif atau pemimpin yang lain dan menjadikan orang “jelek” menjadi pemimpin yang kebijakan strategisnya membuat sebagian warga keluar dari agamanya atau membuat praktek-praktek syirik berkembang pesat?
2.       Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan dalam menilai (dari kecenderungan lahiriyah) calon anggota legislatif :
a.       Bagi calon tersebut, memandang jabatan (dimana pun tingkatannya) sebagai wasilah (sarana) untuk beramar ma’ruf nahi munkar bukan ghoyah (tujuan utama, jabatan adalah segala-galanya)
b.      Calon tersebut mempunyai potensi atau kecenderungan produk-produk yang dihasilkan (undang-undang, peraturan daerah, kebijakan-kebijakan strategis berkaitan dengan jabatannya) berorientasi pada maqosid syariah.
c.       Lebih rinci maqosid syariah :
1)      Hifdh ad-Diin, kebijakan strategis terkait jabatan haruslah menjaga aqidah warga yang dipimpinnya. Contohnya mencegah upaya “menghidupkan” ritual syirik, bid’ah, khurafat, dan takhayul, walaupun dengan alasan meningkatkan pendapatan asli daerah.
2)      Hifdh an-Nafs, kebijakan strategis terkait jabatan haruslah menjaga harga diri, kehormatan dan martabat warga, bangsa, negara dan umat Islam pada umumnya. Contohnya mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar berdikari, sehingga tidak mudah diremehkan oleh pihak-pihak lain satu paket dengan kepentingan mereka.
3)      Hifdh an-Nasl, kebijakan strategis terkait jabatan haruslah menjaga garis keturunan biologis warganya. Contohnya mengupayakan kebijakan pengaturan yang mencegah warga mendekati perbuatan zina. Contoh lain, mengupayakan perbaikan kualitas keturunan anak bangsa, melalui perbaikan kualitas kesehatan anak-anak.
4)      Hifdh al-Aql, kebijakan strategis terkait jabatan, haruslah menjaga kualitas akal sehat warganya. Mencegah upaya-upaya baik dari luar maupun dari dalam yang merusak kualitas akal sehat seperti pembatasan distribusi minuman keras, Narkoba, dan perjudian.
5)      Hifdh al-Maal, kebijakan strategis terkait jabatan, haruslah meminimalkan uang yang terkumpul lewat pajak serta uang rakyat apa pun bentuknya terbuang sia-sia. Prinsipnya tidak boleh ada satu rupiah pun uang rakyat yang keluar tidak ada gunanya.
3.       Bertawakkal kepada Allah SWT sebelum dan sesudah menentukan pilihan.
Semoga Allah SWT melindungi kita umat Islam dan bangsa Indonesia, dengan menghadiahi kita pemimpin-pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Wallahua’lam.


No comments:

Kebersamaan yang Indah Kita

Daisypath Anniversary Years Ticker

hanya bisa mengucapkan...

zwani.com myspace graphic comments